Demokrasi dan Terorisme, Berkaitan (?)
Dalam tulisan
ini, penulis akan menyoroti dua negara yang sama-sama demokrasi tapi terdapat
fenomena yang berbeda. Dimana negara pertama mempunyai masalah terorisme yang
serius, sedangkan negara kedua jarang memiliki masalah dengan terorisme.
Sebelum
membahas hubungan antara demokrasi dan terorisme, sebaiknya pembaca dan penulis
menyelaraskan persepsi melalui definisi dulu. Karena kemungkinan beda pendapat
pasti ada dan jika persepsinya saja berbeda, kemungkinan celah perdebatan akan
semakin lebar.
Demokrasi
yang dimaksud dalam tulisan ini adalah sistem pemerintahan yang dianut suatu
negara dimana kekuasaan tertinggi ada di tangan rakyat. Aspirasi rakyat dan
kebebasan berpendapat diakomodir dengan baik oleh negara serta hak asasi
manusia setiap warga negara dijamin. Sedangkan definisi terorisme yang
digunakan dalam tulisan ini adalah terorisme sebagai suatu sikap (attitude)
bukan sebagai pemahaman (political phyloshopy) seperti yang telah terkonstruksi
pada jaman sekarang ini seperti terorisme atas nama agama. Secara harfiyah
(bahasa), terorisme berasal dari Terrere (red:latin) dan isme yang berarti
sikap yang menyebabkan terror atau gemetar karena rasa takut. Dalam pengertian
ini, terorisme bisa digambarkan dengan sikap yang berujung pada
tindakan-tindakan separatis dan menentang pemerintah.
Merujuk
pada definisi di atas, di negara demokrasi, dimana negara (dalam hal ini
pemerintah) melayani rakyat dengan mengakui kebebebasan pendapat dan menyerap
aspirasi dari rakyatnya, ini akan menjadi pisau bermata dua. Satu sisi, rakyat
akan merasa puas dengan negaranya dan akan loyal pada negaranya. Rakyat akan
bahu-membahu berkontribusi membantu pemerintah membangun dan menjaga
kekondusivan negara. Namun di lain sisi, ada kemungkinan negara akan kewalahan
(Red: Javanese) dalam menuruti apa yang diminta rakyatnya dan bahkan tidak
bisa memenuhi permintaan. Akhirnya, rakyat akan semakin marah dan tiba pada
akhirnya gerakan separatis akan semakin meluas dan kekuatan (power)
negara akan melemah. Jika ini terjadi, sikap antipasti terhadap pemerintah akan
memicu tindakan-tindakan menentang pemerintah berupa terror-teror kepada
negara.
Negara
yang dipilih penulis dalam tulisan ini adalah Republik Mali dan Indonesia. Kedua
negara tersebut merupakan sama-sama negara yang menerapkan sistem demokrasi dan
sama-sama negara berkembang secara ekonomi dan politik. Republik Mali pernah
dianggap sebagai negara paling demokratis di Afrika. Semenjak bebas dari
jajahan Perancis, dalam beberapa puluh tahun saja Mali berkembang menjadi
negara demokrasi, lengkap dengan konstitusi, parlemen dan pemilihan multi
partai.[1]
Namun sekarang, tak banyak yang tersisa dari demokrasi itu. Pada tahun Maret
2012, kudeta militer yang menggulingkan Presiden Amadou Toumani Touré yang
dipilih secara demokratis (Peter: 2012).[2]
Alasannya: Touré tak mampu mengatasi krisis dan pemberontakan kaum Tuareg di
utara negeri.
Kami
tidak akan membahas Republik Mali pasca kudeta, karena (menurut penulis) bukan
demokrasi -murni- lagi namanya. Mali sebelum kudeta, terdapat kaum Tuareg,
Jaringan Al-Qaeda di Islam Maghribi (AQIM) dan Kelompok Ansar Dine yang bisa
dikatakan teroris sesuai definisi di atas. Hampir sama dengan kondisi
Indonesia. Di Indonesia pernah muncul beberapa gerakan separatisme seperti
Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Republik Maluku Selatan (RMS), Organisasi Pupua
Merdeka (OPM), dan lain sebagianya. Namun bedanya pemberontakan di Republik
Mali berhasil mengacaukan negara sedangkan pemberontakan di Indonesia tidak
bisa (atau belum) mengacaukan Indonesia.
Jika
melihat fenomena ini, ada salah kunci penting yang menyebabkan perbedaan ini,
yakni opini publik atau kepercayaan warga negara terhadap negara atau
pemerintah. Dalam kasus di Republik Mali, rakyat tidak yakin terhadap apa yang
dilakukan pemerintah dalam menghadapi gerakan separatis ini. Bahkan ketidakpercayaan
ini juga merambah pada kesatuan militer dan membuat kesatuan militer
terpecah-belah.[3]
Ini membuat upaya yang dilakukan pemerintah (dalam hal ini presiden) menjadi
tidak efektif dan gagal.
Sedangkan
di Indonesia, opini publik yang dibantu oleh media massa menyatakan sikap
percaya kepada tindakan pemerintah. Sedangkan pemerintah melakukan upaya
penanganan dengan pendekatan damai. Muncul dan berkembangnya bibit separatisme
tidak terlepas dari masalah ketidakadilan dan kesenjangan kesejahteraan.
Sehingga untuk mengatasi hal tersebut pemerintah Indonesia mengambil kebijakan
untuk mengakomodir aspirasi warganya tersebut. Pendekatan terhadap masalah
separatisme tidak lagi hanya menggunakan kekuatan militer, tetapi menggunakan
prioritas utama untuk melakukan langkah persuasif dengan pendekatan perdamaian
dan dialog dan peningkatan kesejahteraan melalui pemerataan pembangunan. Namun
tidak bisa dipungkiri, pemerintah Indonesia pernah menerjunkan pasukan militer
dalam mengatasi masalah ini. Papua dan Aceh pernah menjadi Daerah Operasi
Militer (DOM) sebagai langkah terakhir dan diambil karena permasalahan tidak
dapat diselesaikan melalui dialog.
Jadi
intinya, perlu adanya keyakinan dan kepercayaan rakyat melalui opini publik
dalam menangani masalah terorisme terutama gerakan yang menginginkan lepas dari
negara. Jika rakyat tidak percaya dengan pemerintahnya, maka kekuatan
pemerintah dalam menangani terorisme akan lemah. Sebaliknya, jika rakyat
mendukung penuh dan bahu-membahu membantu pemerintah, maka pemerintah akan kuat
dan masalah akan segera selesai. Menurut saya, ini tidak hanya berlaku terhadap
terorisme separatis saja, tapi terorisme berorientasi agamapun akan bisa
ditangani jika rakyat percaya dan mendukung pemerintah, Negara Islam Irak Syria
(ISIS) misalnya. Lalu, sudahkah kita husnudzon pada pemimpin negara ini?
Endnote:
Terima kasih atas komentar anda.