PERAN INDONESIA DALAM GERAKAN NON-BLOK (NON-ALIGNMENT MOVEMENT)
MAKALAH
POLITIK LUAR NEGERI
REPUBLIK INDONESIA
BAB I
P E N D A H U L U A N
A. Latar Belakang
Perang Dunia II tidak saja berhasil menghancurkan Nazizme Jerman,
Fasisme Italia, dan Militerisme Jepang, tapi juga memberikan pukulan hebat
terhadap kubu penjajahan dan sekaligus meniupkan kekuatan luar biasa kepada
gerakan pembebasan dan kemerdekaan di Asia dan Afrika. Tetapi lebih dari itu,
Perang Dunia II telah menjadikan negara-negara di dunia terpolarisasi ke dalam
dua Blok, Blok Barat di bawah pimpinan Amerika Serikat dan Blok Timur di bawah
pimpinan Uni Soviet.[1]
Pertarungan ini adalah merupakan upaya untuk memperluas sphere of
interest dan sphere of influence.
Dengan sasaran utama perebutan penguasaan atas wilayah-wilayah potensial di dunia
dengan berkedok pada ideology yang dianut. Sebagian Negara masuk dalam Blok
Amerika dan sebagian lagi masuk dalam Blok Uni Soviet. Aliansi dan pertarungan
didalamnya memberikan akibat fisik yang negative bagi beberapa Negara di dunia
seperti misalnya Jerman yang sempat terbagi menjadi dua bagian, Vietnam dimasa
lalu, serta Semenanjung Korea yang sampai saat sekarang ini masih terbelah
menjadi Korea Utara dan Korea Selatan.
Dalam kondisi yang seperti ini, lahir dorongan yang kuat dari para
pemimpin dunia ketiga untuk dapat keluar dari tekanan dua Negara tersebut.
Soekarno, Ghandi dan beberapa pemimpin dari Asia serta Afrika merasakan
polarisasi yang terjadi pada masa tersebut adalah tidak jauh berbeda dengan
kolonialisme dalam bentuk yang lain.
Akhirnya pada tahun 1955 bertempat di Bandung, Indonesia, 29 Kepala
Negara Asia dan Afrika bertemu membahas masalah dan kepentingan bersama,
termasuk didalamnya mengupas secara serius tentang kolonialisme dan pengaruh
kekuatan “barat”. Pertemuan ini disebutkan pula sebagai Konferensi Asia Afrika
atau sering disebut sebagai Konferensi Bandung. Konferensi inilah yang menjadi
tonggak lahirnya Gerakan Non Blok.
B. Tujuan GNB
Dengan didasari semangat Dasa Sila Bandung, Gerakan Non Blok dibentuk pada tahun 1961 oleh beberapa negara yang cinta damai dan ingin berperan aktif dalam
mencari solusi terbaik dalam rangka menciptakan perdamaian dan keamanan dunia. Dengan tujuan utama mempersatukan Negara-negara yang tidak ingin
beraliansi dengan Negara-negara adidaya
peserta Perang Dingin yaitu USA dan Uni Soviet.
Gagasan untuk mendirikan GNB merupakan upaya cerdas untuk meredakan ketegangan
antara Blok Barat dengan Blok Timur. Sekaligus mewujudkan kehidupan dunia yang
tertib, aman, dan damai berdasarkan prinsip-prinsip kebebasan untuk menentukan
cita-citanya.
BAB II
GERAKAN NON BLOK LAHIR
A. Konferensi Asia
Afrika Sebagai Embrio GNB
Persiapan KAA diawali dengan adanya
Konferensi Colombo pada tanggal 28 April – 2 Mei 1954 antara lima perdana
menteri, yaitu Perdana Menteri Sir Jhon Kotelawala (Srilanka), U Nu (Birma), Jawaharlal
Nehru (India), Ali Sastroamidjojo (Indonesia), dan Mohammed Ali (Pakistan).
Tujuan dari konferensi ini adealah untuk memperkuat hubungan antara lima negara
tersebut sertra membicarakan usaha-usaha untuk memelihara perdamaian.
Kemudian tanggal 29
Desember 1954 kelima negara tersebut mengadakan Konferensi Bogor, dimana
merupakan kelanjutan perundingan tentang gagasan yang timbul dalam Konferensi
Colombo, yaitu gagasan untuk amenyelenggarakan konferensi negara-negara
Asia-Afrika. Hasil keputusannya adalah mengadakan Konferensi Asia-Afrika pada
permulaan tahun 1955 di Bandung.
Akhirnya pada
tanggal 18
April 1955, dimulailah Konferensi Asia Afrika yang diselenggarakan di kota
Bandung. Konferensi ini berlangsung hingga tanggal 25 April 1955 dan diikuti
oleh wakil dari 29 negara Asia dan Afrika.
Konferensi
Asia-Afrika (KAA) di Bandung tahun 1955 merupakan proses awal lahirnya GNB. KAA
diselenggarakan pada tanggal 18 - 24 April 1955 dan dihadiri oleh 29 Kepala
Negara dan Kepala Pemerintah dari benua Asia dan Afrika yang baru saja merdeka.
KAA ditujukan untuk mengidentifikasi dan mendalami masalah-masalah dunia waktu
itu dan berupaya menformulasikan kebijakan bersama negara-negara baru tersebut
pada tatanan hubungan internasional. KAA menyepakati ’Dasasila Bandung’ yang
dirumuskan sebagai prinsip-prinsip dasar bagi penyelenggaraan hubungan dan
kerja sama antara bangsa-bangsa. Sejak saat itu, proses pendirian GNB semakin
mendekati kenyataan, dan dalam proses ini tokoh-tokoh yang memegang peran kunci
sejak awal adalah Presiden Mesir Gamal Abdel Nasser, Presiden Ghana Kwame
Nkrumah, Perdana Menteri India Jawaharlal Nehru, Presiden Indonesia Soekarno,
dan Presiden Yugoslavia Josip Broz Tito. Kelima tokoh dunia ini kemudian
dikenal sebagai para pendiri GNB.[2]
Dalam
Pertemuan tersebut, 29 kepala Negara Asia dan Afrika bertemu membahas masalah
dan kepentingan bersama, termasuk didalamnya mengupas secara serius tentang
kolonialisme dan pengaruh kekuatan
“barat”. Pertemuan ini disebutkan pula sebagai Konferensi Asia Afrika
atau sering pula disebut sebagai Konferensi Bandung.
Dari
Konferensi ini dihasilkan 10 prinsip yang disepakati bersama yang sering juga
disebutkan sebagai Dasa Sila Bandung, yaitu :
1.
Menghormati hak-hak dasar
manusia dan tujuan-tujuan serta asas-asas yang termuat di dalam piagam PBB;
2.
Menghormati kedaulatan dan
integrits territorial semua bangsa;
3.
Mengakui persamaan ras dan
persamaan semua bangsa baik besar maupun kecil;
4.
Tidak melakukan intervensi atau
campur tangan dalam soal-soal dalam negeri orang lain;
5.
Menghormati hak-hak tiap bangsa
untuk mempertahankan diri sendiri secara sendiri atau kolektif sesuai dengan
piagam PBB;
6.
Tidak menggunakan
peraturan-peraturan pertahanan kolektif untuk bertindak bagi kepentingan khusus
salah satu Negara besar. Dan tidak melaukan tekanan terhadap Negara lain.
7.
Tidak melakukan
tindakan-tindakan atau ancaman agresi ataupun penggunaan kekerasan terhadap
integritas territorial atau kemerdekaan politik suatu Negara.
8.
Menyelesaikan segala
perselisihan internasional dengan jalan damai, seperti perundingan,
persetujuan, arbitrase atau penyelesaian hukum, atau cara damai lain
berdasarkan pilihan pihak-pihak yang bersangkutan sesuai dengan piagam PBB.
9.
Memajukan kepentingan bersama
dan kerja sama.
10. Menghormati hukum dan kewajiban-kewajiban internasional.
B. Terbentuknya Gerakan
Non Blok
Seperti
diketahui, pembangunan Gerakan Non-blok dicanangkan dalam Konferensi Tingkat
Tinggi (KTT) yang dihadiri 25 negara dari Asia, Afrika, Eropa, dan Latin
Amerika diselenggarakan di Biograd (Belgrade), Yugoslavia pada tahun 1961.
Pemimpin kharismatik dari Yugoslavia, Presiden Broz Tito, menjadi pemimpin
pertama dalam Gerakan Non-Blok. Sejak pertemuan Belgrade tahun 1961,
serangkaian Konferensi Tingkat Tinggi Gerakan Non Blok telah diselenggarakan di
Kairo, Mesir (1964) diikuti oleh 46 negara dengan anggota yang hadir kebanyakan
dari negara-negara Afrika yang baru meraih kemerdekaan, kemudian Lusaka, Zambia
(1969), Alzier, Aljazair (1973) saat terjadinya krisis minyak dunia, Srilangka
(1977), Cuba (1981), India (1985), Zimbabwe (1989), Indonesia, Kolombia, Afrika
Selatan, dan terakhir di Malaysia pada tahun 2003. Dengan
didasari oleh semangat Dasa Sila Bandung, maka pada tahun 1961 Gerakan Non Blok
dibentuk oleh Josep Broz Tito, Presiden Yugoslavia saat itu.
Penggunaan
istilah “Non-Alignment” (Tidak Memihak) pertama kali dilontarkan Perdana
Menteri India Jawaharlal Nehru dalam pidatonya di Srilangka tahun 1954. Dalam
pidato ini, Perdana Menteri Nehru menjelaskan lima pilar prinsipil, empat pilar
diantaranya disampaikan oleh Petinggi Tiongkok Chou En-lai, yang dijadikan
pedoman bagi hubungan antara Tiongkok dengan India. Lima prinsip itu disebut
dengan “Panchshell”, yang kemudian menjadi basis dari Gerakan Non-Blok. Kelima
prinsip tersebut adalah: (1) Saling menghormati kedaulatan territorial, (2) Saling
tidak melakukan agresi, (3) Saling tidak mencampuri urusan dalam negeri, (4) Setara
dan saling menguntungkan, (5) Serta berdampingan dengan damai.
Melihat
kenyataan di atas, keberadaan Gerakan Negara-Negara Non-Blok secara tegas
mengacu pada hasil-hasil kesepakatan dalam Konferensi Asia-Afrika di Bandung
1955. Penggunaan istilah bangsa-bangsa non-blok atau “tidak memihak” adalah
pernyataan bersama untuk menolak melibatkan diri dalam konfrontasi ideologis
antara Barat-Timur dalam suasana Perang Dingin. Lebih lanjut, bangsa-bangsa
yang tergabung dalam Gerakan Non-Blok lebih memfokuskan diri pada upaya
perjuangan pembebasan nasional, menghapuskan kemiskinan, dan mengatasi
keterbelakangan di berbagai bidang. Dengan demikian, jelas terang bagi kita
besarnya kontribusi Konferensi Bandung bagi perkembangan Gerakan Non-Blok
sebagai gerakan politik dari negara-negara yang menentang perang dingin.
Setelah hampir 50 tahun sejak disepakati “Dasasila Bandung”
yang menjadi landasan semangat antikolonialisme di Asia Afrika, lalu
dilanjutkan dengan Konferensi di Beograd yang merumuskan GNB, secara kuantitas
GNB berhasil menggalang anggota dari 25 negara pada tahun 1961 dan saat ini menjadi 116 negara ditambah 17
negara pengamat yaitu Antiqua &
Barbuda, Armenia, Azerbaijan, Belarus, Brazil, China, Costa Rica, Croatia,
Dominica, Dominican Rep., El Salvador, Kazakhstan, Kyrgyztan, Mexico, Paraguay,
Uruguay dan Ukraine.
BAB III
PERANAN INDONESIA DALAM
GERAKAN NON BLOK
A. Indonesia dan GNB
Politik luar negeri yang
memihak pada salah satu blok akan menyukarkan kedudukannya ke dalam dan
menjauhkan tercapainya konsolidasi. Terlepas dari cita-citanya yang subyektif
dan historis akan hidup damai dan bersahabat dengan segala bangsa, masalah yang
dihadapi RI memaksa dengan sendirinya melakukan politik bebas. Itulah sebabnya
RI tidak memihak antara dua blok besar, blok Amerika dan blok Soviet.[3]
Sebaliknya, jika
Indonesia berada di luar blok bersama-sama dengan Negara-negara Nonblok lainnya,
peranannya akan terlihat sebagai kekuatan moral dan diharapkan akan dapat
meredam ketajaman konfrontasi Negara adikuasa jika Negara Nonblok bersedia
bertindak secara kolektif sebagai penengah. [4]
Bagi Indonesia, Gerakan
Non Blok merupakan wadah yang tepat bagi Negara-negara berkembang untuk
memperjuangkan cita-citanya dan untuk itu Indonesia senantiasa berusaha secara
konsisten dan aktif membantu berbagai upaya kearah pencapaian tujuan dan
prinsip-prinsip Gerakan Non Blok.
GNB mempunyai arti yang
khusus bagi bangsa Indonesia yang dapat dikatakan lahir sebagai Negara netral
yang tidak memihak. Hal tersebut tercermin dalam Pembukaan UUD 1945 yang
menyatakan bahwa “kemerdekaan adalah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu maka
penjajahan diatas dunia haurs dihapuskan karena tidak sesuai dengan
perikemanusiaan dan perikeadilan”. Selain itu diamanatkan pula bahwa Indonesia
ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi dan keadilan sosial. Kedua mandat tersebut juga merupakan falsafah dasar
GNB.
Pada tanggal 2 September
1988, Menlu RI, Ali Alatas, mengutarakan “Indonesia telah dilahirkan sebagai
Negara Nonblok.”[5]
Drs. Mohammad Hatta selaku Perdana Menteri di depan Badan Pekerja Komite
Nasional Indonesia Pusat (KNIP) pada tanggal 2 September 1948 mengatakan bahwa
sebagai negar merdeka, Indonesia seharusnya menjadi subjek yang berhak
menentukan sikap sendiri dan berhak memperjuangkan tujuannya sendiri tanpa
menjadi pro-Rusia dan pro-Amerika.[6]
Sesuai dengan politik
luar negeri yang bebas dan aktif, Indonesia memilih untuk menentukan jalannya
sendiri dalam upaya membantu tercapainya perdamaian dunia dengan mengadakan
persahabatan dengan segala bangsa.
Sebagai implementasi dari
politik luar negeri yang bebas dan aktif itu, selain sebagai salah satu Negara
pendiri GNB, Indonesia juga senantiasa setia dan commited pada prinsip-prinsip dan aspirasi GNB.
B. Indonesia dalam GNB
Peranan penting Konferensi Asia
Afrika tahun 1955 bagi pembentukan Gerakan Non Blok menunjukan keterlibatan
Indonesia dalam gerakan itu sejak masih dalam gagasannya. Indonesia pun
terlibat aktif dalam persiapan penyelenggaraan KTT I GNB di Beograd,
Yugoslavia.[7]
Dengan demikian Indonesia termasuk
perintis dan pendiri GNB. Keikutsertaan Indonesia dalam GNB sejak awal
disebabkan oleh kesesuaian prinsip gerakan dengan politik luar negeri
bebas aktif. Indonesia berkeyakinan, perdamaian hanya mungkin tercipta dengan
sikap tidak mendukung pakta militer (NATO dan Pakta Warsawa).
Soekarno sangat mendukung GNB karena
pada waktu itu dia sedang menggalang kekuatan negara-negara baru atau New
Emerging Forces (Nefos) untuk membebaskan Irian Barat yang masih diduduki
Belanda, di mana Soekarno sudah tidak percaya dengan perundingan diplomasi
dengan pihak Belanda.
B. Tuan Rumah KTT X GNB
Berdasarkan Keputusan Pertemuan Tingkat Menteri Luar Negeri Gerakan
Non-Blok di Acccra, Ghana, tanggal 4-7 September 1991, Indonesia telah
ditetapkan sebagai tuan rumah/penyelenggara KKTT GNB X. Dan selanjutnya KTT GNB X berlangsung pada tanggal 1 – 7 September
1992 di Jakarta dan Bogor.[8]
Selama tiga tahun dipimpin
Indonesia, banyak kalangan menyebut, GNB berhasil memainkan peran penting dalam
percaturan politik global. Lewat Jakarta Message, Indonesia memberi
warna baru pada gerakan ini. Antara lain, dengan meletakkan titik berat
kerjasama pada pembangunan ekonomi dengan menghidupkan kembali dialog
Selatan-Selatan.
Hal tersebut diatas, dirasa
sangat perlu sebab Komisi Selatan dalam laporannya yang berjudul “The
Challenge to the South” (1987), menegaskan bahwa negara-negara Selatan
harus mengandalkan kemampuannya sendiri, kalau sekedar berharap pada kerjasama
Utara-Selatan ibarat pungguk merindukan bulan. Sebaliknya, dialog
Selatan-Selatan akan memperkuat posisi tawar (bargaining-position)
Negara-negara berkembang meski hal ini masih harus dibuktikan.
Dengan profil positifnya
selama ini, Indonesia dipercaya untuk turut menyelesaikan berbagai konflik
regional, antara lain : Kamboja, gerakan separatis Moro di Filipina dan
sengketa di Laut Cina Selatan. Konflik Kamboja mereda setelah serangkaian
pembicaraan Jakarta Informal Meeting (I & II) serta Pertemuan Paris
yang disponsori antara lain oleh
Indonesia.
KTT X GNB di Jakarta
berhasil merumuskan “Pesan Jakarta” yang disepakati bersama. Dalam “Pesan
Jakarta” tersebut terkandung visi GNB yaitu :
Ø Hilangnya keraguan sementara anggota khususnya mengenai relevansi
GNB setelah berakhirnya Preang Dingin dan ketetapanhati untuk meningkatkan
kerjasama yang konstruktif serta sebagai komponen integral dalam “arus utama” (mainstream)
hubungan internasional;
Ø Arah GNB yang lebih menekankan pada kerjasama ekonomi internasional
dalam mengisi kemerdekaan yang telah berhasil dicapai melalui cara-cara politik
yang menjadi cirri menonjol perjuangan GNB sebelumnya.
Ø Adanya kesadaran untuk semakin meningkatkan potensi ekonomi
Negara-negara anggota melalui peningkatan kerjasama Selatan-Selatan.
Selama mengemban
kepemimpinan GNB, Indonesia telah melakukan upaya-upaya penting dalam menghidupkan kembali dialog konstruktif Utara-Selatan berdasarkan saling
ketergantungan yang setara (genuine interdependence), kesamaan
kepentingan dan manfaat, dan tanggung jawab bersama. Selain itu, Indonesia juga
mengupayakan penyelesaian masalah utang luar negeri negara-negara berkembang
miskin (HIPCs/Heavily Indebted Poor Countries) yang terpadu,
berkesinambungan dan komprehensif. Guna memperkuat kerja sama Selatan-Selatan,
KTT GNB ke-10 di Jakarta sepakat untuk mengintensifkan kerja sama
Selatan-Selatan berdasarkan prinsip collective self-reliance. Sebagai
tindak lanjutnya, sesuai mandat KTT Cartagena, Indonesia bersama Brunei
Darussalam mendirikan Pusat Kerja Sama Teknik Selatan-Selatan GNB. [9]
Dalam bidang
ekonomi, selama menjadi Ketua GNB, Indonesia juga secara konsisten telah mengupayakan
pemecahan masalah hutang luar negeri negara-negara miskin baik pada kesempatan
dialog dengan Ketua G-7 maupun dengan menyelenggarakan Pertemuan Tingkat
Menteri GNB mengenai Hutang dan Pembangunan yang diselenggarakan di Jakarta
pada bulan Agustus 1994 serta berbagai seminar mengenai penyelesaian hutang
luar negeri.
Sedangkan untuk
hutang multilateral, dimana lembaga Bretton Woods semula enggan untuk
membahasnya, pada akhirnya telah mendapatkan perhatian Bank Dunia dan Dana
Moneter Internasional dengan diluncurkannya Prakarsa HIPCs (Heavily Indebted
Poor Countries); Peningkatan Fasilitas Penyesuaian Struktural (Enhanced
Structural Adjustment Facility) dan
pembentukan Dana Perwalian oleh Bank Dunia serta komitmen negara-negara Paris
Club bagi penyelesaian hutang bilateral dengan menaikkan tingkat pengurangan
beban hutang dari 67% menjadi 80%. Hal ini merupakan suatu keberhasilan upaya
GNB dalam kerangka memerangi kemiskinan.
Melalui pendekatan
baru yang dikembangkan sewaktu Indonesia menjadi Ketua, GNB telah berhasil
mengubah sikap negara-negara anggota GNB tertentu yang pada intinya menerapkan
standard ganda terhadap lembaga Bretton Woods. Disatu pihak secara bilateral
negara-negara anggota GNB termasuk ingin memanfaatkan dana yang tersedia dari
Bretton Woods, tetapi secara politis menunjukkan sikap apriori terhadap Bank
Dunia dan Dana Moneter Internasional. Seperti diketahui, bahwa pengambilan
keputusan pada lembaga Bretton Woods pada prinsipnya didasarkan atas besarnya
jumlah kekayaan anggota, dan ini dapat berarti selalu merugikan kepentingan
negara-negara berkembang. Namun sekarang, dapat dikatakan bahwa telah terjalin
hubungan yang baik dimana lembaga Bretton Woods telah mau mendengarkan
argumentasi dan mempertimbangkan usulan-usulan GNB.
Meskipun sekarang, Indonesia
tidak lagi menjabat sebagai Ketua maupun Troika GNB (kepemimpinan GNB terdiri
dari Ketua satu periode sebelumnya, Ketua sekarang dan Ketua yang akan datang),
namun tidak berarti bahwa penanganan oleh Indonesia terhadap berbagai
permasalahan penting GNB akan berhenti atau mengendur. Sebagai anggota GNB, Indonesia akan tetap
berupaya menyumbangkan peranannya untuk kemajuan GNB dimasa yang akan datang
dengan mengoptimalkan pengalaman yang telah didapat selama menjadi Ketua dan
Troika GNB.
BAB IV
P E N U T U P
Semenjak Uni Soviet runtuh dan pecah terbagi menjadi
beberapa Negara, Gerakan Non Blok terasa kurang relevansinya. Kejatuhan Uni
Soviet tersebut kemudian diikuti dengan krisis politik yang melanda
Negara-negara sekutunya di belahan Eropa Timur. Yugoslavia terpecah menjadi
beberapa Negara, Jerman Barat bergabung dengan Jerman timur dan Negara-negara
Eropa Timur lainnya melakukan reformasi politik dan ekonomi mengikuti fenomena
sejarah yang terjadi saat itu.
Organisasi pertahanan Pakta Parsawa
dibubarkan, bahkan beberapa Negara yang dulu bergabung didalamnya kemudian
bergabung menjadi anggota NATO yang dulu merupakan pesaing beratnya. Fenomena
ini menandai berakhirnya era perang dingin antara Blok Barat yang dikomandani
AS dan Blok Timur di bawah pimpinan Uni Soviet. Situasi politik internasional
berubah drastis dengan menampilkan AS sebagai satu-satunya super power dunia.
Motivasi utama pendirian Gerakan Non
Blok pada tahun 1961 adalah untuk menghindarkan perang serta memperkokoh
perdamaian. Persaingan kekutan militer yang sangat tajam antara AS dan Uni
Soviet menimbulkan kekhawatiran berbagai Negara bahwa kemungkinan akan pecah
perang terbuka antara kedua pihak.
Untuk menyikapi keadaan tersebut
beberapa Negara melakukan inisiatif dan memprakarsai sebuah gerakan yang
diposisikan netral, tidak memihak serta tidak berada di kedua belah pihak.
Pendirian GNB didasari oleh semangat Dasasila Bandung yang dihasilkan pada
Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung. Pada saat masih berlangsung perang dingin,
tujuan GNB memiliki relevansi yang sangat kuat. Keberadaannya secara politik
agak surut ketika terjadi revolusi politik besar-besaran di Uni Soviet dan
Negara-negara Eropa Timur.
Namun jika dikaji lebih dalam,
surutnya peran GNB itu sebenarnya lebih bersifat di permukaan, Setelah
berakhirnya era perang dingin, bukan berarti dunia terbebas dari konflik dan
peperangan. Di beberapa Negara/wilayah, terjadi berbagai konflik baik bersifat
local maupun regional. Perseteruan politik yang disertai dengan pergantian
kepemimpinan nasional terjadi dibeberapa Negara Afrika. Bahkan peristiwa yang
hampir sama juga dialami Indonesia, sebagai salah satu pelopor berdirinya
gerakan ini.
Perang antara Israel dan Palestina
tetap berlangsung sampai saat ini, India dan Pakistan yang sama-sama anggota
GNB juga mengalami hubungan yang tidak harmonis. Hal yang sama terjadi terhadap
dua Negara bersaudara di Semenanjung Korea yaitu Korea Selatan dan Korea Utara.
Sementara itu penyerangan AS kepada Irak
yang merupakan salah satu Negara anggota GNB juga tidak dapat dihindarkan. [10]
Meskipun mayoritas anggota PBB yang
berjumlah 196 negara merupakan anggota
Gerakan Non Blok (144 negara), tetapi GNB tidak mempunyai “kekuatan”. Terbukti
ketika akhirnya AS berhasil menyerang Irak dengan alasan Irak menyimpan senjata
pemusnah massal. Padahal seperti
diketahui, dalam KTT GNB ke-13 di Kuala Lumpur, Malaysia, Negara-negara anggota
telah sepakat menjadikan krisis AS – Irak sebagai salah satu tema utama.
Negara anggota menghendaki GNB mengeluarkan
satu resolusi yang secara tegas menyatakan penolakan terhadap rencana serangan
AS tersebut. Pernyataan tersebut sangat penting untuk menunjukkan kepada dunia
internasional bahwa keberadaan GNB masih penting dan peranannya tidak dapat
dikesampingkan. Kenyataannya resolusi GNB ini tidak bermakna karena AS tetap
melancarkan aksinya di Irak.
Keadaan semacam ini harusnya
menyadarkan Negara-negara anggota GNB bahwa tantangan yang dihadapi tidak
berkurang bahkan semakin berat di masa depan.
Daftar Pustaka
Ali Alatas, Pidato HUT ke-40
Politik Bebas Aktif, Yogyakarta, 1988.
Hatta Mohammad, Indonesia
dan Non-Alignment.
Hatta Mohammad, Mendayung
antara Dua Karang, Jakarta, Bulan Bintang 1976.
Http://kemlu.go.id
Http://tragedisosialsejarah.blogspot.com/2014/01/perkembangan-gerakan-non-blok-gnb-dan.htm
Http://www.suaramerdeka.com/Harian/0303/01/Kha1.Htm
oleh Riwi Sumantyo.
Keputusan
Presiden Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 1991
Tentang Pembentukan
Panitia Nasional Konferensi Tingkat Tinggi Gerakan Non-Blok X
M. Sabir, Quo Vadis Nonblok, 1990,
Jakarta: CV Haji Masagung.
[3] Mohammad Hatta, Indonesia dan Non-Alignment, hlm. 11.
[4] M. Sabir, Quo Vadis Nonblok?, hlm 199.
[5] Ali Alatas, dalam pidato HUT 40 tahun Politik Bebas Aktif di
Yogyakarta tanggal 2 September 1988.
[6] Mohammad Hatta, Mendayung antara Dua Karang, Jakarta, Bulan
Bintang 1976, hlm. 17.
[8] Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 1991
Tentang Pembentukan
Panitia Nasional Konferensi Tingkat Tinggi Gerakan Non-Blok X