LUNTURNYA NILAI-NILAI PANCASILA DALAM MASYARAKAT
LUNTURNYA NILAI-NILAI PANCASILA DALAM MASYARAKAT*
Oleh : Beutari
Octaviani, dkk.**
ABSTRAK
Di zaman yang sudah serba modern ini,
dimana efek dari suatu proses dari kemajuan kehidupan manusia yang dinamakan “
Globalisasi “ bisa dirasakan diseluruh sendi-sendi kehidupan manusia. Ekonomi,
kesehatan, pendidikan, lifestyle, fashion, transportasi, telekomunikasi, dan
berita terbaru dari negara yang jauh dari negara tempat kita berada pun bisa
dengan sangat mudah diketahui lewat telekomunikasi yang semakin modern dan
canggih. Bangsa Indonesia sebagai bangsa yang dikenal masih berkembang atau “ The
Third World “ harus bisa melindungi warga negaranya dari ‘ hantaman ‘
globalisasi yang begitu deras, pemerintah pada umumnya dan warga Indonesia itu
sendiri pada khususnya harus bisa memilah dan memilih hasil atau segala sesuatu
dari globalisasi mana yang bisa diimplementasikan dalam kehidupan tanpa harus
merusak nilai-nilai luhur sebagai warga Indonesia. Hal ini penting karena
sebagai negara berkembang, Indonesia sudah sepantasnya dan seharusnya mempunyai
fondasi dan rangka kenegaraan yang kuat dan mandiri terlebih dahulu, karena
apabila Indonesia belum memiliki kedua hal tersebut, maka bukan tidak mungkin
Indonesia akan kehilangan jati diri dan ciri-ciri sebagai suatu bangsa yang
disebut “ Indonesia “. Ideologi bangsa Indonesia adalah Pancasila, suatu ideologi
yang dihasilkan oleh salah satu Founding Father bangsa Indonesia, Sukarno.
Pancasila sejatinya memiliki dasar-dasar konsep yang mengatur segala
permasalahan baik hukum atau non-hukum, perilaku, sampai hal-hal mendasar baik
itu berkaitan dengan kehidupan sesama warga negara atau urusan
ketatanegaraan/pemerintahan. Dalam makalah yang kami buat ini, kami menekankan
kepada ancaman lunturnya nilai-nilai Pancasila dalam masyarakat saat ini dan
sekaligus kami memberikan berbagai contoh atas belum ter-implementasikannya
nilai-nilai Pancasila. Perlu juga kami tambahkan bahwa makalah kami ini
bersifat Common Paper ( Neutral ), atau dengan kata lain kami tidak memihak
kepada siapapun.
Keyword
: Pancasila, Ideologi, Globalisasi, Indonesia
PENDAHULUAN
Ancaman dari derasnya arus globalisasi terhadap suatu ideologi
suatu bangsa tidak bisa dipandang sebelah mata. Banyaknya informasi yang dengan
mudahnya masuk dan diketahui oleh siapapun di dunia ini termasuk Indonesia,
secara tidak langsung akan merubah pola pikir masyarakat itu sendiri dalam
berbagai aspek kehidupan. Hal ini kami khawatirkan akan menyebabkan masyarakat
Indonesia melupakan ‘ siapa dirinya sesungguhnya ’ , yaitu warga negara
Indonesia yang berdasarkan kepada Pancasila. Bisa dibayangkan apabila kita sebagai
warga negara Indonesia, akan tetapi kita tidak memiliki ciri khusus dan jati
diri sebagai orang Indonesia?.
Pancasila sebagai dasar negara dan ciri-ciri negara Indonesia
adalah suatu patokan dan acuan bangsa Indonesia dalam menjalankan seluruh aspek
kehidupan POLEKSOSBUDHANKAM. Seluruh nilai-nilai yang terkandung dalam setiap
butir poin Pancasila, dari sila pertama sampai sila kelima sejatinya adalah
suatu nilai luhur yang apabila diimplementasikan kedalam kehidupan
POLOKESOSBUDHANKAM akan membawa bangsa Indonesia ini menuju negara yang maju
dan sejahtera ( Welfare State ). Sebagai contoh, apabila sila pertama berhasil
diimplemantasikan sepenuhnya, dapat dipastikan tidak akan ada lagi sentimisme,
diskriminasi, dan pembatasan dalam beragama di Indonesia. Hal ini sesuai dengan
bunyi dari sila pertama tersebut yaitu “ Ketuhanan Yang Maha Esa “, sila ini
berarti bahwa kita sebagai warga negara harus menghormati setiap agama atau
kepercayaan yang ada di Indonesia ini. Tidak membedakan setiap warga negara Indonesia
sendiri atau warga negara lain hanya karena berbeda kepercayaan, menghormati
agama apapun untuk menjalankan ibadah, dan yang terpenting adalah tidak adanya
pemaksaan untuk menganut suatu agama tertentu. Namun, sudahkah semua poin dari
Pancasila berhasil diimplementasikan kedalam kehidupan POLEKSOSBUDHANKAM ? atau
bahkan nilai-nilai dari Pancasila itu sendiri justru menjadi luntur karena
derasnya arus globalisasi ?.
PEMBAHASAN
Di era globalisasi ini banyak nilai-nilai Pancasila yang begitu
penting telah tergeser oleh nilai-nilai dan pola pikir kebaratan yang tidak
sesuai dengan budaya Indonesia yang ketimuran. Hal berakibat adanya krisis
moral yang terjadi pada bangsa Indonesia di berbagai lapisan masyarakat, mulai
dari para elite-elite politik hingga individu-individu. Selain itu hal ini
merupakan ancaman bagi bangsa Indonesia untuk menjaga nilai-nilai Pancasila
agar tidak tenggelam dengan selalu mengimplementasikan Pancasila dalam
kehidupan sehari-hari. Tindakan kriminal seperti pengeboman, pemerkosaan,
perampokan, pembunuhan, korupsi, kolusi, dan nepotisme sudah menjadi masalah
yang sering terjadi. Hal ini terjadi karena manusia telah melupakan hakekatnya
sebagai makhluk yang berTuhan, makhluk sosial, dan makhluk pribadi sehingga
tidak lagi menjalankan tugas sebagai khalifah di bumi. Sifat dasar manusia yang
serakah dan selalu ingin mendapatkan lebih adalah salah satu hal penyebabnya.
Selain itu manusia tidak bisa mengendalikan sifat dasarnya yaitu menghalalkan
segala cara hingga mengesampingkan bahkan menghilangkan etika dan moral
kehidupan serta menyimpang dari norma Pancasila. Dari situlah awal mula masalah
tersebut muncul. Kami meyakini bahwa selain faktor-faktor yang bersifat
internal seperti yang diatas, ada peran dari faktor-faktor eksternal yang ikut
menggeser dan ‘ melunturkan ‘
nilai-nilai Pancasila, sebagai contoh adalah kehadiran internet. Di
dalam internet terdapat berbagai macam informasi yang kita butuhkan apabila
kita adalah seorang akademisi, akan tetapi di dalam internet pula banyak
hal-hal negatif yang apabila kita tidak menjaga diri kita dari pengaruh buruk
internet, maka akan terjadi suatu degradasi sosial dan degradasi moral karena
kita tidak bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Sehingga pada
akhirnya masyarakat luas akan semakin melupakan jati dirinya sebagai warga
Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan bukan tidak mungkin apabila kita tidak
menjaga diri kita dari ancaman lunturnya nilai-nilai Pancasila di masyarakat,
kita akan menjadi negara tanpa ciri-ciri khusus yang menunjukkan kita sebagai
seorang warga negara Indonesia.
Bangsa Indonesia bertekad mengimplementasikan Pancasila untuk
mewujudkan kesejahteraan umum dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia. Anak kalimat, memajukan kesejahteraan umum dan mewujudkan keadilan
sosial dalam Pembukaan UUD 1945, merupakan amanat bagi bangsa Indonesia dalam
membangun perekonomian nasional, guna memajukan kesejahteraan umum dan
mencerdaskan kehidupan bangsa. Bangsa Indonesia harus cerdas untuk mengolah
sumber daya nasionalnya serta mengakses semua kemajuan dunia agar mampu
menciptakan kesejahteraan umum yang
terus berkembang ke arah kemajuan. Usaha menyejahterakan dan mencerdaskan
bangsa haruslah dilandasi lima faktor yakni : (1) Bebasnya bangsa Indonesia
dari segala bentuk penjajahan, termasuk penjajahan ekonomi. (2) Secara politik
dan keamanan nasional, bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia harus
dilindungi dari segala bentuk gangguan dan ancaman. (3) Kecerdasan kehidupan
bangsa, baik individu maupun masyarakat harus terwujud. (4) Aktivitas bangsa
untuk ikut serta menciptakan perdamaian dan ketertiban dunia. (5)
Mengimplementasikan konsep, prinsip dan nilai Pancasila, sehingga keadilan
sosial dapat terwujud.
1. Hilangnya manusia yang ber-“ Ketuhanan Yang
Maha Esa “
Dalam pemberitaan di berbagai media akhir-akhir ini kita sering
dilihatkan dan dihadapkan kepada fakta bahwa banyak terjadi aksi-aksi anarkis
yang ditujukan kepada suatu kelompok agama tertentu yang diduga dilakukan oleh
suatu Ormas Keagamaan tertentu. Ini adalah adalah satu contoh dan bukti dari
belum diimplementasikannya nilai-nilai sila pertama yang menjunjung kebebasan
beragama bagi setiap warga Indonesia. Tindakan anarkis yang mengatasnamakan
suatu agama tertentu dijadikan tameng untuk melawan aparat hukum dan
mengahakimi suatu agama tertentu. Masyarakat Indonesia saat ini yang sudah
berlabel modern sepertinya tidak lagi memakai cara pandang dari sisi keagamaan
dengan benar. Masyarakat Indonesia saat ini yang sudah dikenal pintar sepertinya
sudah tidak lagi memandang sila pertama yaitu “ Ketuhanan Yang Maha Esa “
sebagai salah satu acuan dalam menjalani kehidupan beragama di Indonesia
melainkan hanya sebuah hafalan saat di SD.
Nilai-nilai kegamaan yang bersumber langsung dari Tuhan sejatinya
adalah suatu kebenaran yang harus ditaati oleh setiap orang yang beragama dan
dijadikan suatu ‘ batas ‘ dan ‘ pengingat ‘ saat melakukan suatu tindakan agar
tidak melenceng dari norma dan nilai kebenaran.
Namun fakta yang sering dihadapkan kepada kita banyak yang
memperlihatkan betapa rusaknya moral masyarakat Indonesia saat ini. Bahkan
lunturnya nilai-nilai dari sila pertama ini sudah sampai kepada urusan
pemerintahan dan ketatanegaraan. Aksi-aksi KKN ( Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme
) sepertinya sudah mendarah daging dan menjadi hal yang lumrah bagi para
elite-elite politik, baik ditingkat terendah seperti desa hingga ke tingkat
yang paling tinggi seperti jajaran wakil rakyat ( DPR ) dan pejabat-pejabat
negeri. Hal ini tentu saja tidak akan terjadi apabila para pelaku KKN tersebut
memiliki kesadaran dan modal yang berlandaskan kepada nilai-nilai keagamaan dan
keimanan yang terkandung dalam sila pertama. Sebagai perbandingan, kita bisa
melihat saat di era Orde Baru dimana pada saat itu masyarakat Indonesia bisa
dengan tenang beragama selama apa yang mereka lakukan tidak mengganggu
kenyamanan umum. Selain itu saat penentuan Hilal sebagai acuan umat Islam dalam
menentukan Hari Raya Idul Fitri, tidak banyak perdebatan dan pertentangan
antara kelompok Islam tertentu ( NU, Muhammadiyah dll ), hal ini membuktikan
bahwa hari demi hari sejak Orde Baru hingga pasca Reformasi sekarang,
nilai-nilai dari Pancasila semakin ditinggalkan.
Lunturnya nilai-nilai yang terkandung dalam sila pertama ini
diperparah dengan adanya globalisasi yang hari demi hari semakin tidak
ter-filter antara yang baik dan buruk. Misalnya saja, makin banyaknya tontonan
di televisi yang mengajarkan kita kepada suatu sifat Hedonisme yang suka
berfoya-foya dan berhura-hura, makin banyaknya tayangan televisi yang mengumbar
bagian tubuh wanita dengan bebasnya, makin banyaknya acara televisi yang
mengajarkan kita kepada suatu pola hidup yang sangat tidak sesuai dengan
kepribadian Indonesia. Baik secara langsung atau tidak langsung, efek buruk
yang dihasilkan dari contoh tersebut akan memengaruhi pola pikir masyarakat
Indonesia agar berperilaku seperti apa yang ada di televisi tersebut. Efek
buruk dari contoh diatas terbukti dengan meningkatnya aksi seks bebas yang
dilakukan oleh para remaja dengan rentangan umur 15-23 tahun, meningkatnya
pemakai Narkoba di Indonesia yang didominasi oleh para remaja, dan meningkatnya
aksi-aksi kriminalitas yang disebabkan pelaku merasa terprovokasi oleh apa yang
ia lihat di televisi.
Kemajuan teknologi sejatinya bisa memberikan kemudahan dan
peningkatan mutu kehidupan siapapun yang menggunakan kemajuan teknologi
tersebut, akan tetapi kemajuan teknologi ini pula yang bisa membawa manusia
pada umumnya dan masyarakat Indonesia pada khususnya lupa akan jati dirinya
yang harus berpegang teguh atas nilai-nilai sila pertama, yaitu sebagai mahluk
yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa.
2. Langkanya “ Kemanusiaan yang adil dan
beradab “
Nilai-nilai
yang terkandung dalam sila kedua ini kami jabarkan sebagai berikut :
a.
Mengakui persamaan derajat, persamaan hak, dan persamaan kewajiban
antara sesama manusia.Saling mencintai sesama manusia.
b.
Mengembangkan sikap tenggang rasa.
c.
Tidak semena-mena terhadap orang lain.
d.
Menjunjung tinggi nilai
kemanusiaan dan Hak Asasi Manusia.
e.
Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan.
f.
Menjaga sifat dan sikap Gotong Royong.
Nilai-nilai diatas apabila bisa dijalankan dan diimplementasikan
sepenuhnya didalam kehidupan bermasyarakat kami yakin Indonesia akan menjadi
sebuah bangsa yang memiliki tingkat kemiskinan rendah, sifat keramah-tamahan
yang mendunia, sekaligus menjadi sebuah bangsa yang unik dimata dunia karena
keadilan dan keberadabannya dalam kehidupan masyarakatnya tetap terjaga. Namun
masih ingatkah pembaca dengan kejadian seorang nenek tua yang karena tekanan ekonomi
yang dialaminya terpaksa memungut dua buah kakao yang ditemukannya di jalan
lantas nenek tersebut dituntut dijatuhi hukuman di persidangan ? Atau ingatkah
pembaca tentang kejadian memalukan yang diperlihatkan oleh para elite politik
yang menamai dirinya sebagai “ Dewan Perwakilan Rakyat “ saat berlangsungnya
Sidang Paripurna terlibat aksi baku-hantam antar sesama anggota dewan lainnya?
Dan ingatkah pembaca dengan tingkah salah satu anggota dewan saat acara Rapat
Paripurna justru membuka situs porno? Semua contoh ini adalah bukti dari
bergesernya nilai-nilai dari sila kedua.
Kemanusiaan yang adil dan beradab semakin jauh dari kata terwujud
apabila kita melihat fakta-fakta yang terjadi di masyarakat. Dari sisi hukum
kita dihadapkan kepada ketidak adilan hukum yang berlaku di Indonesia yang
seperti ‘ Pisau ‘ tajam kebawah, akan tetapi tumpul keatas. Hal ini terbukti
dengan banyaknya para pelaku korupsi yang merampok milyaran bahkan trilyunan
uang rakyat yang hanya dihukum kurang dari lima tahun penjara. Sebagai contoh
adalah Anggodo Widjojo yang terbukti merekayasa kriminaslisasi dua anggota KPK
masih bisa bebas seakan tidak terjerat oleh hukum. Tentu saja ini sangat
berlawanan dengan kisah seorang nenek yang bernama Minah yang secara terpaksa
memungut dua buah kakao seharga Rp. 2100 yang ditemukannya dijalan untuk
dimakan oleh dirinya yang saat itu kelaparan, akan tetapi ia harus menjalani
hukuman penjara selama 1.5 tahun dengan masa percobaan selama 3 bulan. Selain
itu masih ingatkah pembaca dengan kejadian memalukan yang terjadi saat sidang
Paripurna terkait masalah Bank Century beberapa anggota dewan yang terhormat
terlibat aksi baku hantam? Hal ini salah satu bukti bahwa keberadaban yang
terdapat di sila kedua belum sepenuhnya terlaksana.
3. Retaknya “ Persatuan Indonesia “
Indonesia adalah negara kepulauan dengan jajaran pulau-pulaunya
yang berjumlah lebih dari 17.560 pulau. Para Founding Father kita dengan susah
payah berusaha untuk mempersatukan seluruh kepulauan bekas jajahan untuk
bersatu menjadi suatu negara yang disebut Indonesia. Kita sebagai generasi
penerus haruslah bisa menjaga harta warisan dari generasi sebelumnya dengan
sebaik mungkin. Selain itu, hal ini sudah tentu menjadi tugas wajib pemerintah
untuk memerhatikan kesejahterahan rakyatnya dimanapun mereka tinggal. Namun,
sudahkah hal ini dilakukan oleh pemerintah? Kita bisa melihat bahwa di Pulau
Jawa kemajuan teknologi, transportasi, telekomunikasi, akses pendidikan dan
kesehatan sudah sangat maju dan mudah didapatkan, hal ini sangat kontradiksi
dengan keadaan yang terjadi di pulau-pulau yang jauh dari Ibukota Jakarta,
misalnya saja pulau Papua. Papua adalah pulau yang memiliki berbagai kekayaan alam yang
melimpah, akan tetapi pemerintah seakan menutup mata terhadap kondisi yang
dihadapi oleh masyarakat lokal Papua. Pemerintah justru cenderung memanfaatkan
situasi sulit yang dihadapi oleh masyarakat Papua untuk menjual berbagai macam
aset milik masyarakat Papua seperti tambang emas kepada PT. Freeport. Hal ini
bisa saja menjadi salah satu alasan dari retaknya “ Persatuan Indonesia “
karena masyarakat lokal merasa di “ anak tirikan “ oleh pemerintah. Sebagai
contoh, di Papua terdapat organisasi separatisme bernama OPM ( Organisasi Papua
Merdeka ), di Maluku terdapat organisasi separatisme bernama RMS ( Republik
Maluku Serikat ), dan sebagai pengingat di Aceh ada GAM ( Gerakan Aceh Merdeka
), akan tetapi antara pihak GAM dan pemerintah sudah setuju untuk berdamai
berdasarkan hasil konferensi di Den Haag Belanda. Dengan adanya gerakan separatisme
dari beberbagai daerah seperti contoh diatas, hal ini menandakan bahwa adanya
rasa kekecewaan dari masyarakat yang merasa “ dilupakan “ oleh pemerintah dalam
segi kehidupan seperti ekonomi, kesehatan, pendidikan, dan berbagai macam
sarana penunjang kemajuan daerahnya. Kekecewaan masyarakat ini ditunjukkan
dengan aksi-aksi pengibaran bendera dari organisasi separatisme mereka sebagai
penanda bahwa mereka ingin melepaskan diri dari Republik Indonesia, inilah
salah satu bukti dari Retaknya “ Persatuan Indonesia “
Selain itu, kami memberikan contoh dari sisi yang berbeda atas
lunturnya nilai-nilai sila ketiga. Misalnya saja dari sisi sesama individu
dalam hal olahraga, kita sering mendengar terjadinya kerusuhan antar suporter
yang terjadi seusai tim kesayangannya berlaga, hal ini menandakan bahwa mereka
tidak memilik rasa persatuan sebagai sesama warga negara Indonesia dan tidak
memiliki semangat untuk memajukan persepakbolaan di Indonesia. Dalam hal ini
kami mempercayai bahwa ada pengaruh negastif yang secara tidak langsung
diberikan dari para politic figure yang mengurusi PSSI. Para pecinta sepak bola
tanah air baik secara langsung atau tidak langsung terpengaruh dari situasi
politik yang memanas didalam tubuh PSSI, dan hal ini berujung dengan dibuatnya dua
laga kompetisi yang berbeda dibawah PSSI yaitu , ISL ( Indonesia Super League )
dengan IPL ( Indonesia Premier League ).
Pada dasarnya perbedaan makna dari persatuan dan kesatuan adalah,
persatuan adalah konsep awal yang dibuat oleh para Founding Father sebelum
Indonesia merdeka, dengan asumsi bahwa semua ras, agama, etnis, suku bangsa,
dan bahasa yang terdapat di Indonesia harus bisa bersatu dahulu sebelum menjadi
sebuah kesatuan. Sedangkan makna dari kesatuan adalah, seluruh perbedaan
primordial yang ada di Indonesia sudah bersatu dan melebur menjadi satu jati
diri dan menjadi satu bangsa dan negara yaitu Indonesia tanpa harus
menghilangkan ciri khas dari masing-masing kriteria primordial tersebut.
Pemerintah tidak bisa menutup mata lagi terhadap kondisi rakyatnya
yang berada di pulau-pulau terluar dari batas wilayah Indonesia dan
daerah-daerah perbatasan, karena mereka pada dasarnya mengakui bahwa mereka
adalah warga negara Indonesia yang rela berkorban hidup dalam segala
keterbatasan yang ada, dan selalu setia untuk mengibarkan bendera merah putih
di daerahnya. Apakah pemerintah masih bisa untuk mengutamakan pembangunan di
daerah perkotaan? Apakah pemerintah masih bisa untuk mengutamakan jaminan
kesehatan, pendidikan, transportasi hanya untuk daerah perkotaan? Sedangkan di
satu sisi, banyak warga negaranya yang dengan setia, rela berkorban, dan tanpa
pamrih bersedia untuk hidup dibawah garis kemiskinan sekaligus mengakui bahwa
mereka adalah warga negara Indonesia. Apabila pemerintah masih bersikap acuh tak
acuh, maka bukan tidak mungkin dalam 30-40 tahun kemudian akan banyak
organisasi-organisasi separatisme akan bermunculan di berbagai daerah dengan
tujuan yang sama yaitu untuk melepaskan diri dari Republik Indonesia.
4. Tidak adanya “ Kerakyatan yang dipimpin
oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan “
Pemimpin yang amanah, adil, bertanggung jawab, dan bijaksana adalah
sosok ideal dari seorang pemimpin suatu bangsa. Pemimpin dengan kriteria
semacam ini peluang keberhasilannya dalam memimpin suatu organisasi atau negara
akan lebih besar, terlebih apabila pemimpin semacam ini mengedepankan
kepentingan bersama daripada kepentingan pribadi. Indonesia yang sejak merdeka
pada tahun 1945 sudah mengalami pergantian presiden sebanyak enam kali dimana
presiden terakhir adalah Susilo Bambang Yudhoyono sudah menjadi presiden dalam
dua periode kepresidenan. Namun sudahkah rakyat Indonesia saat ini benar-benar
dipimpin oleh hikmat kebijaksaan dalam permusyawaratan dan perwakilan ? .
Apabila kita melihat dari fakta dan
kenyataan yang ada di masyarakat, mungkin Indonesia bisa dikatakan masih belum
sepenuhnya menerapkan nilai-nilai yang terkandung dalam sila keempat. Hal ini
bisa dilihat dari hasil-hasil sidang, rapat, atau berbagai pertemuan para elite
politik dimana kebanyakan tidak menghasilkan sesuatu hal yang secara konkrit
memihak rakyat. Sebagai contoh, masih ingatkah pembaca dengan kelakuan para
petinggi elite politik saat isu kenaikan harga bahan bakar di awal bulan April
kemarin ? Dalam sidang tersebut terlihat jelas bahwa para elite politik tidak
sepenuhnya memihak kepada rakyat dan terkesan ragu-ragu dalam mengambil
keputusan yang berani dan memihak kepada rakyat. Perlu kami tambahkan bahwa
para wakil rakyat sekarang cenderung lebih mengutamakan kepentingan pribadinya
dibandingkan dengan kepentingan rakyat, dengan asumsi bahwa kesempatan untuk
memperkaya diri sendiri selama menjabat menjadi anggota dewan atau wakil rakyat
tidak datang dua kali. Tentu hal ini bisa dikatakan adalah suatu tindakan yang
menciderai hati rakyat dan menodai nilai-nilai Pancasila. Para pemimpin
sekarang lebih menyukai untuk memaksakan kehendak daripada bersikap sabar dalam
mengambil keputusan demi kepentingan rakyat Indonesia. Hal ini diperparah
dengan metode yang dipakai para anggota Dewan Perwakilan Rakyat dalam
menentukan suatu keputusan, mereka lebih menyukai cara pengambilan keputusan
dengan Voting. Voting adalah cara menentukan keputusan yang paling buruk,
karena voting tidak mengedepankan pemikiran rasional melainkan tergantung dari
jumlah suara terbanyak. Kami berpendapat bahwa seharusnya apabila kita menelaah
lebih dalam dari nilai Pancasila khususnya sila keempat, Indonesia memiliki
suatu cara khusus dalam menyatukan suara dan memutuskan suatu permasalahan
yaitu dengan cara Musyawarah. Hasil musyawarah tidak akan tercapai apabila
belum tercapainya kesepakatan bersama, dengan metode ini maka tidak akan ada
perasaan dari masing-masing anggota yang merasa tersakiti saat hasil musyawarah
ditetapkan.
Pancasila sebagai dasar negara dan landasan idiil bangsa Indonesia,
dewasa ini pada zaman reformasi saat ini pengimplementasian pancasila sangat
dibutuhkan oleh masyarakat, karena di dalam pancasila terkandung nilai-nilai
luhur bangsa Indonesia yang sesuai dengan kepribadian bangsa. Selain itu, pada
era globalisasi ini begitu cepat mempengaruhi negara-negara di seluruh dunia
termasuk Indonesia. Gelombang demokratisasi, hak asasi manusia,
neo-liberalisme, serta neo-konservatisme dan globalisme bahkan telah memasuki
cara pandang dan cara berfikir masyarakat Indonesia. Hal demikian bisa
melunturkan Pancasila dan dapat menghadirkan sistem nilai dan idealisme baru
yang bertentangan dengan kepribadian bangsa.
Pancasila, dalam fungsinya sebagai dasar negara, merupakan sumber
kaidah hukum yang mengatur negara Republik Indonesia, termasuk di dalamnya
seluruh unsur-unsurnya yakni pemerintah, wilayah dan rakyat. Pancasila sebagai
dasar negara mempunyai arti menjadikan Pancasila sebagai dasar untuk mengatur
penyelenggaraan pemerintahan. Pancasila merupakan sumber dari segala sumber
hukum.
Hal ini menempatkan Pancasila sebagai dasar negara yang berarti
melaksanakan nilai-nilai Pancasila dalam semua peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Oleh karena itu, sudah seharusnya semua peraturan
perundang-undangan di negara Republik
Indonesia bersumber pada Pancasila. Pancasila sebagai dasar negara
Republik Indonesia mempunyai implikasi
bahwa Pancasila terikat oleh suatu kekuatan secara hukum, terikat oleh struktur
kekuasaan secara formal, dan meliputi suasana kebatinan atau cita-cita hukum
yang menguasai dasar negara (Suhadi, 1998).
5. Mimpi Indonesia tentang “ Keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia “
Kondisi Indonesia saat ini masih jauh dari kata sejahtera, hal ini
bisa dilihat dari berbagai macam indikator, misalnya dengan melihat masih
banyaknya rakyat miskin diberbagai daerah diseluruh Indonesia. Tingkat
kemiskinan di Indonesia sangat tinggi, data terakhir yang dikeluarkan
pemerintah pada tahun 2011 menunjukkan angka sebesar 17.7 juta orang masih
hidup dibawah garus kemiskinan Indonesia. Selain itu dari bidang kesehatan pun
masyarakat miskin di Indonesia seperti melihat jarak atau gap yang jauh antara
mereka dengan masyarakat yang mampu. Jaminan kesehatan yang seharusnya berhak
dimiliki oleh semua rakyat Indonesia pada kenyataannya tidak berjalan dengan
semestinya. Selain itu dari sisi pendidikan, mayoritas mereka yang mengenyam
pendidikan dengan fasilitas baik infrastruktur dan intrastruktur yang layak
adalah mereka yang mampu dalam segi ekonomi atau dengan kata lain hidup diatas
garis kemiskinan di Indonesia. Hal ini tentu saja tidak sesuai dengan bunyi
dari sila kelima yang berbunyi “ keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
“. Jika kita melihat dari sudut pandang antar daerah pun, kita akan dihadapkan
pada kenyataan atas ketimpangan dalam hal pembangunan yang terjadi. Daerah kota
seperti lebih diistimewakan oleh pemerintah dalam hal pembangunan, sedangkan
daerah-daerah yang jauh dari keramaian kota seakan-akan dilupakan dan
pemerintah bagai menutup mata. Ketimpangan sosial di tingkat antar daerah
banyak terjadi, hal ini terlihat jelas dari perkembangan ekonomi di daerah
tersebut.
6. Faktor dan penyebab lunturnya nilai-nilai
Pancasila
Pertama, longgarnya pegangan terhadap agama . Sudah menjadi tragedi
dari dunia maju, dimana segala sesuatu hampir dapat dicapai dengan ilmu
pengetahuan, sehingga keyakinan beragam mulai terdesak, kepercayaan kepada
Tuhan hanya sebagai simbol, larangan-larangan dan perintah-perintah Tuhan tidak
diindahkan lagi. Dengan longgarnya pegangan seseorang peda ajaran agama, maka
hilanglah kekuatan pengontrol yang ada didalam dirinya. Dengan demikian
satu-satunya alat pengawas dan pengatur moral yang dimilikinya adalah
masyarakat dengan hukum dan peraturanya. Namun pada umumnya pengawasan
masyarakat itu tidak sekuat pengawasan dari dalam diri sendiri. Karena
pengawasan masyarakat itu datang dari luar, jika orang luar tidak tahu, atau
tidak ada orang yang disangka akan mengetahuinya, maka dengan senang hati orang
itu akan berani melanggar peraturan-peraturan dan hukum-hukum sosial itu.
Sedangkan apabila dalam masyarakat itu banyak ornag yang melakukuan pelanggaran
moral, dengan sendirinya orang yang kurang iman tadi tidak akan mudah pula meniru
melakukan pelanggaran-pelanggaran yang sama. Tetapi jika setiap orang teguh
keyakinannya kepada Tuhan serta menjalankan agama dengan sungguh-sungguh, tidak
perlu lagi adanya pengawasan yang ketat, karena setiap orang sudah dapat
menjaga dirinya sendiri, tidak mau melanggar hukum-hukum dan
ketentuan-ketentuan Tuhan. Sebaliknya dengan semakin jauhnya masyarakat dari
agama, semakin sudah memelihara moral orang dalam masyarakat itu, dan semakin
kacaulah suasana, karena semakin banyak pelanggaran-pelanggaran, hak, hukum dan
nilai moral.
Kedua, kurang efektifnya pembinaan moral yang dilakukan oleh rumah
tangga, sekolah maupun masyarakat. Pembinaan moral yang dilakukan oleh ketiga
institusi ini tidak berjalan menurut semsetinya atau yang sebiasanya. Pembinaan
moral dirumah tangga misalnya harus dilakukan dari sejak anak masih kecil,
sesuai dengan kemampuan dan umurnya. Karena setiap anak lahir, belum mengerti
mana yang benar dan mana yang salah, dan belum tahu batas-batas dan ketentuan
moral yang tidak berlaku dalam lingkungannya. Tanpa dibiasakan menanamkan sikap
yang dianggap baik untuk manumbuhkan moral, anak-anak akan dibesarkan tanpa
mengenal moral itu. Pembinaan moral pada anak dirumah tangga bukan dengan cara
menyuruh anak menghapalkan rumusan tentang baik dan buruk, melainkan harus
dibiasakan. Zakiah Darajat mangatakan, moral bukanlah suatu pelajaran yang
dapat dicapai dengan mempelajari saja, tanpa membiasakan hidup bermoral dari
sejak keci. Moral itu tumbuh dari tindakan kepada pengertian dan tidak sebaliknya.
Seperti halnya rumah tangga, sekolahpun dapat mengambil peranan yang penting
dalam pembinaan moral anak didik. Hendaknya dapat diusahakan agar sekolah
menjadi lapangan baik bagi pertumbuhan dan perkembangan mental dan moral anak
didik. Di samping tempat pemberian pengetahuan, pengembangan bakat dan
kecerdasan. Dengan kata lain, supaya sekolah merupakan lapangan sosial bagi
anak-anak, dimana pertumbuhan mental, moral dan sosial serta segala aspek
kepribadian berjalan dengan baik. Untuk menumbuhkan sikap moral yang demikian
itu, pendidikan agama diabaikan di sekolah, maka didikan agama yang diterima
dirumah tidak akan berkembang, bahkan mungkin terhalang. Selanjutnya masyarakat
juga harus mengambil peranan dalam pembinaan moral. Masyarakat yang lebih rusak
moralnya perlu segera diperbaiki dan dimulai dari diri sendiri, keluarga dan
orang-orang terdekat dengan kita. Karena kerusakan masyarakat itu sangat besar
pengaruhnya dalam pembinaan moral anak-anak. Terjadinya kerusakan moral
dikalangan pelajar dan generasi muda sebagaimana disebutakan diatas, karena
tidak efektifnnya keluarga, sekolah dan masyarakat dalam pembinaan moral.
Bahkan ketiga lembaga tersebut satu dan lainnya saling bertolak belakang, tidak
seirama, dan tidak kondusif bagi pembinaan moral.
Ketiga, semua penyebab lunturnya nilai Pancasilan pada dasarnya
karena budaya materialistis, hedonistis
dan sekularistis. Sekarang ini sering kita dengar dari radio atau bacaan dari
surat kabar tentang anak-anak sekolah menengah yang ditemukan oleh gurunya atau
polisi mengantongi obat-obat, gambar-gambar porno, alat-alat kotrasepsi seperti
kondom dan benda-banda tajam. Semua alat-alat tersebut biasanya digunakan untuk
hal-hal yang dapat merusak moral. Namun gajala penyimpangan tersebut terjadi
karena pola hidup yang semata-mata mengejar kepuasan materi, kesenangan hawa
nafsu dan tidak mengindahkan nilai-nilai agama. Timbulnya sikap tersebut tidak
bisa dilepaskan dari derasnya arus budaya matrealistis, hedonistis dan
sekularistis yang disalurkan melalui tulisan-tulisan, bacaan-bacaan,
lukisan-lukisan, siaran-siaran, pertunjukan-pertunjukan dan sebagainya.
Penyaluran arus budaya yang demikian itu didukung oleh para penyandang modal
yang semata-mata mengeruk keuntungan material dan memanfaatkan kecenderungan
para remaja, tanpa memperhatikan dampaknya bagi kerusakan moral. Derasnya arus
budaya yang demikian diduga termasuk faktor yang paling besar andilnya dalam
menghancurkan moral para remaja dan generasi muda umumnya.
Keempat, belum adanya kemauan yang sungguh-sungguh dari pemerintah.
Pemerintah yang diketahui memiliki kekuasaan ( power ), uang, teknologi, sumber
daya manusia dan sebagainya tampaknya belum menunjukan kemauan yang
sungguh-sunguh untuk melakuka pembinaan moral bangsa. Hal yang demikian semaikin
diperparah lagi oleh adanya ulah sebagian elit penguasa yang semata-mata
mengejar kedudukan, peluang, kekayaan dan sebagainya dengan cara-cara tidak
mendidik, seperti korupsi, kolusi dan nepotisme yang hingga kini belum adanya
tanda-tanda untuk hilang. Mereka asik memperebutkan kekuasaan, mareri dan
sebagainya dengan cara-cara tidak terpuji itu, dengan tidak memperhitungkan
dampaknya bagi kerusakan moral bangsa. Bangsa jadi ikut-ikutan, tidak mau
mendengarkan lagi apa yang disarankan dan dianjurkan pemerintah, karena secara
moral mereka sudah kehiangan daya efektifitasnya. Sikap sebagian elit penguasa
yang demikian itu semakin memperparah moral bangsa, dan sudah waktunya
dihentikan. Kekuasaan, uang, teknologi dan sumber daya yang dimiliki pemerintah
seharusnya digunakan untuk merumuskan konsep pembinaan moral bangsa dan
aplikasinya secara bersungguh-sungguh dan berkesinambungan.
Kelima, situasi dan lingkungan kehidupan bangsa yang telah berubah
baik di tingkat domestik,regional maupun global. Situasi dan lingkungan
kehidupan bangsa pada tahun 1945-66 tahun yang lalu, telah mengalami perubahan
yang amat nyata pada saat ini, dan akan terus berubah pada masa yang akan
datang. Beberapa perubahan yang kita alami antara lain : terjadinya proses
globalisasi dalam segala aspeknya; perkembangan gagasan hak asasi manusia ( HAM
) yang tidak diimbagi dengan kewajiban asasimanusia ( KAM ); lonjakan
pemanfaatan teknologi informasi oleh masyarakat, di mana informasi menjadi
kekuatan yang amat berpengaruh dalam berbagai aspek kehidupan, tapi juga yang
rentan terhadap “ manipulasi ” informasi dengan segala dampaknya.
Keenam, terjadinya euphoria
reformasi sebagai akibat dari traumatisnya masyarakat terhadap penyalahgunaan
kekuasaan di masa lalu yang mengatasnamakan Pancasila. Semangat generasi
reformasi untuk menanggalkan segala hal yang dipahaminya sebagai bagian dari
masa lalu dan menggantinya dengan sesuatu yang baru, berimplikasi pada
munculnya ‘ amnesia nasional ’ tentang pentingnya kehadiran Pancasila sebagai
ground norm ( norma dasar ) yang mampu menjadi payung kebangsaan yang menaungi
seluruh warga yang beragam suku bangsa, adat istiadat, budaya, bahasa, agama
dan afiliasi politik. Memang, secara formal Pancasila diakui sebagai dasar
negara, tetapi tidak dijadikan pilar dalam membangun bangsa yang penuh
problematika saat ini. Sebagai ilustrasi misalnya, penolakan terhadap segala
hal yang berhubungan dengan Orde Baru, menjadi penyebab mengapa Pancasila kini
absen dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Harus diakui, di masa lalu
memang terjadi mistifikasi dan ideologisasi Pancasila secara sistematis,
terstruktur dan massive yang tidak jarang kemudian menjadi senjata ideologis
untuk mengelompokkan mereka yang tak sepaham dengan pemerintah sebagai “ tidak
Pancasilais ” atau “anti Pancasila ”. Pancasila diposisikan sebagai alat
penguasa melalui monopoli pemaknaan dan penafsiran Pancasila yang digunakan
untuk kepentingan melanggengkan kekuasaan.
Akibatnya, ketika terjadi pergantian rezim di era reformasi, muncul lah
demistifikasi dan dekonstruksi Pancasila yang dianggapnya sebagai simbol,
sebagai ikon dan instrumen politik rezim sebelumnya. Pancasila ikut
dipersalahkan karena dianggap menjadi ornamen sistem politik yang represif dan
bersifat monolitik sehingga membekas sebagai trauma sejarah yang harus
dilupakan. Pengaitan Pancasila dengan sebuah rezim pemerintahan tertentu,
menurut saya, merupakan kesalahan mendasar. Pancasila bukan milik sebuah era
atau ornamen kekuasaan pemerintahan pada masa tertentu. Pancasila juga bukan
representasi sekelompok orang, golongan atau orde tertentu. Pancasila adalah
dasar negara yang akan menjadi pilar penyangga bangunan arsitektural yang
bernama Indonesia. Sepanjang Indonesia masih ada, Pancasila akan menyertai
perjalanannya. Rezim pemerintahan akan berganti setiap waktu dan akan pergi
menjadi masa lalu, akan tetapi dasarnegara akan tetap ada dan tak akan
menyertai kepergian sebuah era pemerintahan.
Ketujuh, perubahan tersebut telah mendorong terjadinya pergeseran
nilai yang dialami bangsa Indonesia, sebagaimana terlihat dalam pola hidup
masyarakat pada umumnya, termasuk dalam corak perilaku kehidupan politik dan
ekonomi yang terjadi saat ini. Dengan terjadinya perubahan tersebut diperlukan
reaktualisasi nilai-nilai pancasila agar dapat dijadikan acuan bagi bangsa
Indonesia dalam menjawab berbagai persoalan yang dihadapi saat ini dan yang
akan datang, baik persoalan yang datang dari dalam maupun dari luar.
Kebelum-berhasilan kita melakukan reaktualisasi nilai-nilai Pancasila tersebut
menyebabkan keterasingan Pancasila dari kehidupan nyata bangsa Indonesia.
7. Antisipasi
a.
Menumbuhkan semangat nasionalisme yang tangguh, misal semangat mencintai produk dalam negeri.
b.
Menanamkan dan mengamalkan nilai- nilai Pancasila dengan sebaik- baiknya.
c.
Menanamkan dan melaksanakan ajaran agama dengan sebaik- baiknya.
d.
Mewujudkan supremasi hukum, menerapkan dan menegakkan hukum dalam
arti sebenar- benarnya dan seadil- adilnya.
e.
Selektif terhadap pengaruh globalisasi di bidang politik, ideologi,
ekonomi, sosial budaya bangsa.
Dengan adanya langkah- langkah antisipasi tersebut diharapkan mampu
menangkis pengaruh globalisasi yang dapat mengubah nilai nasionalisme terhadap
bangsa dan lunturnya nilai-nilai Pancasila dalam sendi-sendi kehidupan
masyarakat Indonesia. Sehingga kita tidak akan kehilangan kepribadian bangsa
sebagai Bangsa Indonesia.
KESIMPULAN
Pada akhirnya kami dapat menarik satu kesimpulan bahwa, hampir 75%
nilai-nilai yang terdapat dalam Pancasila sudah luntur atau bahkan dilupakan
oleh masyarakat Indonesia. Hal ini dikarenakan beberapa faktor internal dan
eksternal yang telah kami jabarkan di atas. Apabila masyarakat Indonesia tidak
segera berbenah diri dan mulai untuk mengimplementasikan nilai-nilai yang ada
di dalam Pancasila kedalam kehidupan pribadi dan bernegara, maka bukan tidak
mungkin bangsa kita akan menjadi bangsa yang tidak memiliki identitas, baik
identitas ideologi ataupun identitas dari POLEKSOSBUDHANKAM. Jadi, masih
bisakah kita memandang permasalahan lunturnya nilai-nilai Pancasila ini dengan
sebelah mata? Masih bisakah kita untuk tetap melupakan nilai-nilai asli dari
bangsa kita yang susah payah dirumuskan dan dikonsepkan oleh para Founding
Father negara kita ?. Nasib bangsa Indonesia berada di tangan kita
masing-masing.
DAFTAR PUSTAKA
http://nasional.kompas.com/read/2010/03/02/13444168/Presiden.Saksikan.Baku.Hantam.Anggota.DPR.Lewat.TV.
http://mylinekerr.blogspot.com/2012/03/dpr-nyaris-baku-hantam-kemarin-saat.html
http://www.pikiran-rakyat.com/node/171290
http://research.am3ikom.ac.id/index.php/STI/article/view/6402
http://www.scribd.com/doc/45198632/PANCASILA-4
http://news.okezone.com/read/extend/2009/12/04/343/281835/nenek-minah-pencuri-semangka-anggodo
http://www.scribd.com/doc/94263093/artikel-pancasila
http://hightek-bet.blogspot.com/2001/11/wujud-aplikasi-pancasila-sebagai-dasar.html
http://blog.tp.ac.id/pendidikan-sebagai-wahana-pembudayaan-pancasila
*Makalah Mata Kuliah Pendidikan Kewarganegaraan,
Hubungan Internasional Universitas Diponegoro Semarang.
** Disusun Oleh :
1. Beutari Octaviani
2. Dea Tunjung Jatra Saputra
3. Encik Mochammad Burhansyah
4. Galih Kusumo Wardani
5. Tahta Dika Rahardianto
6. Nitya Amalia
Dosen Pengampu :Ibu Lusi Astrika, SIP, M.Si.
8 comments
Write commentsTerimakasih banyak atas informasinya. Sangat sangat membantu ^_^
Replysama-sama. :)
Replysedot sedoot :V
Replyartikel ya tulisan ya baik, sangat membantu cuma sayang nggak bisa di copy ya mau ngak mau di ketik ulang makasih yah
ReplyDengan menulis ulang, pemahaman akan tulisan semakin baik.
ReplySilakan dapat dimanfaatkan seperlunya.
Replyhttps://kholifaharifstyawan.wordpress.com/2014/12/25/makalah-lunturnya-nilai-nilai-budaya-pancasila/
Replykok tulisannya hampir sama persis ya dengan blog diatas
Hai Guruh Setyawan, terima kasih atensinya.
ReplyLebih baik lagi kalau komentar ini juga dilontarkan ke blog tsb.
Dimana tulisan ini diposting Sep 2013, dan blog tsb memosting Des 2014.
:)
Terima kasih atas komentar anda.