Demokrasi dan Terorisme, Berkaitan (?)

11:11 PM 0 Comments A+ a-

Tentara Chad bersorak-sorak saat berhenti dalam perjalanan mereka menuju Mali, Rabu (30/1/2013). Pasukan ini akan menjadi bagian dari pasukan International Support Mission to Mali (AFISMA) yang terdiri atas pasukan dari berbagai negara Afrika yang akan membantu Mali memerangi pasukan pemberontak terkait Al Qaeda. (JIBI/SOLOPOS/Reuters) Sumber: solopos.com
Dalam tulisan ini, penulis akan menyoroti dua negara yang sama-sama demokrasi tapi terdapat fenomena yang berbeda. Dimana negara pertama mempunyai masalah terorisme yang serius, sedangkan negara kedua jarang memiliki masalah dengan terorisme.
Sebelum membahas hubungan antara demokrasi dan terorisme, sebaiknya pembaca dan penulis menyelaraskan persepsi melalui definisi dulu. Karena kemungkinan beda pendapat pasti ada dan jika persepsinya saja berbeda, kemungkinan celah perdebatan akan semakin lebar.
Demokrasi yang dimaksud dalam tulisan ini adalah sistem pemerintahan yang dianut suatu negara dimana kekuasaan tertinggi ada di tangan rakyat. Aspirasi rakyat dan kebebasan berpendapat diakomodir dengan baik oleh negara serta hak asasi manusia setiap warga negara dijamin. Sedangkan definisi terorisme yang digunakan dalam tulisan ini adalah terorisme sebagai suatu sikap (attitude) bukan sebagai pemahaman (political phyloshopy) seperti yang telah terkonstruksi pada jaman sekarang ini seperti terorisme atas nama agama. Secara harfiyah (bahasa), terorisme berasal dari Terrere (red:latin) dan isme yang berarti sikap yang menyebabkan terror atau gemetar karena rasa takut. Dalam pengertian ini, terorisme bisa digambarkan dengan sikap yang berujung pada tindakan-tindakan separatis dan menentang pemerintah.
Merujuk pada definisi di atas, di negara demokrasi, dimana negara (dalam hal ini pemerintah) melayani rakyat dengan mengakui kebebebasan pendapat dan menyerap aspirasi dari rakyatnya, ini akan menjadi pisau bermata dua. Satu sisi, rakyat akan merasa puas dengan negaranya dan akan loyal pada negaranya. Rakyat akan bahu-membahu berkontribusi membantu pemerintah membangun dan menjaga kekondusivan negara. Namun di lain sisi, ada kemungkinan negara akan kewalahan (Red: Javanese) dalam menuruti apa yang diminta rakyatnya dan bahkan tidak bisa memenuhi permintaan. Akhirnya, rakyat akan semakin marah dan tiba pada akhirnya gerakan separatis akan semakin meluas dan kekuatan (power) negara akan melemah. Jika ini terjadi, sikap antipasti terhadap pemerintah akan memicu tindakan-tindakan menentang pemerintah berupa terror-teror kepada negara.
Negara yang dipilih penulis dalam tulisan ini adalah Republik Mali dan Indonesia. Kedua negara tersebut merupakan sama-sama negara yang menerapkan sistem demokrasi dan sama-sama negara berkembang secara ekonomi dan politik. Republik Mali pernah dianggap sebagai negara paling demokratis di Afrika. Semenjak bebas dari jajahan Perancis, dalam beberapa puluh tahun saja Mali berkembang menjadi negara demokrasi, lengkap dengan konstitusi, parlemen dan pemilihan multi partai.[1] Namun sekarang, tak banyak yang tersisa dari demokrasi itu. Pada tahun Maret 2012, kudeta militer yang menggulingkan Presiden Amadou Toumani Touré yang dipilih secara demokratis (Peter: 2012).[2] Alasannya: Touré tak mampu mengatasi krisis dan pemberontakan kaum Tuareg di utara negeri.
Kami tidak akan membahas Republik Mali pasca kudeta, karena (menurut penulis) bukan demokrasi -murni- lagi namanya. Mali sebelum kudeta, terdapat kaum Tuareg, Jaringan Al-Qaeda di Islam Maghribi (AQIM) dan Kelompok Ansar Dine yang bisa dikatakan teroris sesuai definisi di atas. Hampir sama dengan kondisi Indonesia. Di Indonesia pernah muncul beberapa gerakan separatisme seperti Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Republik Maluku Selatan (RMS), Organisasi Pupua Merdeka (OPM), dan lain sebagianya. Namun bedanya pemberontakan di Republik Mali berhasil mengacaukan negara sedangkan pemberontakan di Indonesia tidak bisa (atau belum) mengacaukan Indonesia.
Jika melihat fenomena ini, ada salah kunci penting yang menyebabkan perbedaan ini, yakni opini publik atau kepercayaan warga negara terhadap negara atau pemerintah. Dalam kasus di Republik Mali, rakyat tidak yakin terhadap apa yang dilakukan pemerintah dalam menghadapi gerakan separatis ini. Bahkan ketidakpercayaan ini juga merambah pada kesatuan militer dan membuat kesatuan militer terpecah-belah.[3] Ini membuat upaya yang dilakukan pemerintah (dalam hal ini presiden) menjadi tidak efektif dan gagal.
Sedangkan di Indonesia, opini publik yang dibantu oleh media massa menyatakan sikap percaya kepada tindakan pemerintah. Sedangkan pemerintah melakukan upaya penanganan dengan pendekatan damai. Muncul dan berkembangnya bibit separatisme tidak terlepas dari masalah ketidakadilan dan kesenjangan kesejahteraan. Sehingga untuk mengatasi hal tersebut pemerintah Indonesia mengambil kebijakan untuk mengakomodir aspirasi warganya tersebut. Pendekatan terhadap masalah separatisme tidak lagi hanya menggunakan kekuatan militer, tetapi menggunakan prioritas utama untuk melakukan langkah persuasif dengan pendekatan perdamaian dan dialog dan peningkatan kesejahteraan melalui pemerataan pembangunan. Namun tidak bisa dipungkiri, pemerintah Indonesia pernah menerjunkan pasukan militer dalam mengatasi masalah ini. Papua dan Aceh pernah menjadi Daerah Operasi Militer (DOM) sebagai langkah terakhir dan diambil karena permasalahan tidak dapat diselesaikan melalui dialog.
Jadi intinya, perlu adanya keyakinan dan kepercayaan rakyat melalui opini publik dalam menangani masalah terorisme terutama gerakan yang menginginkan lepas dari negara. Jika rakyat tidak percaya dengan pemerintahnya, maka kekuatan pemerintah dalam menangani terorisme akan lemah. Sebaliknya, jika rakyat mendukung penuh dan bahu-membahu membantu pemerintah, maka pemerintah akan kuat dan masalah akan segera selesai. Menurut saya, ini tidak hanya berlaku terhadap terorisme separatis saja, tapi terorisme berorientasi agamapun akan bisa ditangani jika rakyat percaya dan mendukung pemerintah, Negara Islam Irak Syria (ISIS) misalnya. Lalu, sudahkah kita husnudzon pada pemimpin negara ini?


Endnote:
[2] Peter Heine, mantan Professor di Universitas Humboldt, Berlin.
[3] Charlotte Heyl dari GIGA-Institut yang dikutip DW