Anak Muda: Pertanian, Antara Kebutuhan atau Harga Diri

9:28 AM 0 Comments A+ a-


Apakah pernah mendengar sebuah quote dari ilmuan besar, Albert Enstein mengenai “Perut kosong bukanlah penasihat politik yang baik?" Jika belum, biar penulis jelaskan sejenak. Arti dari petuah tersebut sebenarnya sangat jelas tersurat bahwa manusia atau apapun makhluk yang dianggap hidup secara pasti dan terencana akan membutuhkan asupan makanan secara periodik guna menopang kebutuhan biologis sifat seorang makhluk.

Di masa sekarang ini, faktor penting dari makanan sudah tidak dapat dibantahkan lagi, terkhusus bagi bangsa Indonesia dengan jumlah penduduk lebih kurang 250 juta penduduk. Sebagai Negara dengan populasi terbesar keempat di dunia, Indonesia memiliki sebuah pekerjaan rumah yang sangat besar dalam menjamin ketercukupan pangan. Memang bukan sebuah isu lagi bahwa negara ini membutuhkan solusi, meski tidak cepat, paling tidak terencana, untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dengan sumber daya dalam negeri pula.

Pernah penulis bertanya kepada beberapa kumpulan anak muda, mengenai apa yang sekiranya akan dilakukan apabila kondisi persawahan yang kita miliki semakin berkurang? Secara cepat -tanpa pikir panjang- beberapa dari mereka menjawab bahwa negara kita punya uang untuk meng-impor besar dan lain-lain!. Sesaat penulis setuju dengan jawaban tersebut, namun jauh di dalam pikiran, itu hanya tindakan untuk terbebas dari keterdesakan pasokan pangan secara sementara. 

Tentu, kita –yang katanya negara agraris- tidak bisa menggantungkan diri dalam keterbelengguan impor produk-produk pertanian secara massive dan terus menerus. Jika kembali mengingat sejarah, kita pernah melakukan ekspor besar ke beberapa negara karena supply kita yang besar. Terlebih dengan politik “Revolusi Hijau” yang dicetuskan pemerintahan pada masa orde baru, dengan mampu mengekspornya Indonesia yakni sebesar 1,5 juta ton beras per tahun dalam kurun waktu 1968-1984, produksi beras meningkat rata-rata 5% per tahun (Esje, Gudon dan Daniel, 1998). Meski tidak semuanya praktik kebijakan revolusi hijau berjalan sesuai rencana, tapi dibalik itu semua, kita dapat melihat adanya gairah untuk menjaga keterjaminan supply pangan untuk masyarakat.

Di era teknologi informasi sekarang ini, sudah tidak dapat dipungkiri bahwa sektor pertanian menjadi bidang usaha kesekian yang patut dipertimbangkan oleh anak-anak muda Indonesia, padahal sumbangsih sektor pertanian terhadap kondisi Produk Domestik Bruto (PDB) nasional menjadi yang ketiga terbesar setelah PDB industri pengolahan dan perdagangan, hotel, dan restoran. 

Meski masih dalam lingkup kontribusi yang besar, sejatinya sektor pertanian Indonesia dibayangi “Bom Waktu” yang dapat meledak kapanpun. Seiring dengan kesempatan kerja yang terbuka luas untuk sektor non-pertanian, sektor pertanian mulai ditinggalkan dengan dalih return of capital yang diterima tidaklah sesuai dengan yang diharapkan. Berdasarkan sensus pertanian 2013, jumlah petani secara keseluruhan menurun dari 31,23 juta pada tahun 2003 menjadi 26,14 pada tahun 2013, sedangkan untuk petani usia muda (15-24 tahun) menurun dari 5,95 juta menjadi 5,02 juta (BPS, 2013; LIPI.go.id, 2014). Meski dikatakan bahwa penurunan ini memberikan efek positif melalui berkurangnya jumlah petani gurem dan bertambahnya area lahan yang dikelola per petani, namun tetap saja dampak berantai yang ditimbulkan lebih besar terkait dengan ketahanan pangan dan kepastian bahwa anak muda sudah sangat sulit melihat pertanian sebagai sektor yang menjanjikan.

Perubahan Mindset! Upaya Holistik Pemerintah dan Masyarakat Pegiat Pertanian
Era informasi dan perkembangan teknologi lebih kurang telah memberikan dampak terhadap mindset masyarakat muda, karena banyak di antara mereka lebih memilih bekerja di bidang lain yang mencerminkan tingkat sosial lebih tinggi dan lebih memiliki keterjaminan pendapatan. Pemikiran seperti itu sebenarnya tidaklah salah, karena anak muda hanyalah orang yang berusaha mempertahankan eksistensinya untuk hidup berkecukupan. Sehingga, yang menjadi pekerjaan rumah adalah bagaimana mengubah mindset generasi muda untuk tertarik di dunia pertanian. Tentu ini membutuhkan upaya holistik yang menyeluruh dari semua komponen, tidak hanya pemerintah sebagai tumpuan utama, melainkan juga dari para pegiat pertanian untuk menarik pandangan anak muda Indonesia di bidang pertanian.

Membandingkan kondisi pertanian Indonesia dengan negara-negara maju lainnya seperti Jepang, Belgia, atau bahkan Amerika Serikat itu adalah suatu tindakan yang tidak adil. Mereka mempunyai segalanya yang secara berkesinambungan mendukung pertanian mereka untuk maju. SDM berkualifikasi tinggi, teknologi, dana penelitian dan pengembangan serta perhatian yang besar dari pemerintah dengan tata kelola yang logis, dan mindset untuk berkembang. Dari semua faktor tersebut, ada satu faktor penting yang dapat di-copy oleh Indonesia, yaitu mindset untuk berkembang. Ini adalah faktor dasar untuk mengembangkan dunia pertanian, karena sejatinya banyak dari petani kita yang kurang mau berkembang dan hanya melakukan pekerjaan sampai pada apa yang biasa mereka lakukan, contohnya petani biasanya hanya menanam, memupuk, dan terakhir memanen, tanpa ada pengembangan lainnya di sektor off-farm. Padahal, off-farm adalah sektor dengan profit margin yang paling besar. Bayangkan saja ketika petani Indonesia dapat secara holistik menanam, memanen, hingga pasca panen, entah itu hanya distribusi atau bahkan sampai ke pengolahan produk pertanian, mereka akan mendapatkan keuntungan di atas pendapatan normal yang didapatkan pada tiap musim panen.

Kendala terbesar untuk melakukan keberlangsungan pertanian off-farm dan pengolahan pasca panen adalah skill dan daya inisiatif petani. Hal ini dimaklumi karena kebanyakan petani Indonesia adalah petani yang sudah memasuki masa tua, bukan generasi muda dengan segara ekspektasi tinggi dan ide-ide baru yang terkadang militan.

Memaksa generasi muda untuk terjun di dunia pertanian bukanlah solusi terbaik. Toh ketika itu dilakukan, mereka hanya akan bertahan satu sampai dua tahun. Hal yang dibutuhkan adalah keberlangsungan, bukan hanya sekadar “nyemplung” sesaat. 

Solusi utama atas masalah ini adalah bagaimana cara untuk menarik minat generasi muda di dunia pertanian. Penulis saat ini pun masih berpikir terkait hal tersebut, namun beberapa hal yang dapat dilakukan segera adalah dengan memberikan edukasi kepada generasi muda awal atau biasa disebut dengan anak-anak sebuah edukasi dan pengenalan bidang pertanian. Paling tidak, dimulai dari keluarga dekat kita, atau dapat pula membentuk suatu wadah forum penggiat pertanian untuk saling bahu membahu melakukan gerakan pertanian, baik melalui sosialisasi ataupun acting menjadi pebisnis olah pangan pertanian. Sehingga, dengan menjadi pebisnis olah pangan yang sukses, itu akan dapat menjadi bukti nyata kepada anak-anak muda Indonesia, bahwa pertanian itu tidak hanya berakhir pada “Pemanenan” melainkan juga terdapat tahapan lain dengan profit margin yang lebih menguntungkan.

Hal tersebut tentu membutuhkan daya dukung dari pemerintah untuk membangun pertanian yang holistik, bukan hanya berfokus pada hal-hal fisik seperti teknologi, subsidi pupuk, ataupun stabilitas harga, namun juga membenahi segi mental seperti mindset dan ketertarikan generasi muda, karena hanya mereka tulang punggung pertanian Indonesia di masa mendatang.

Oleh: Bayu R. Pratama, Lulusan Pendidikan Ekonomi Akuntansi, Universitas Negeri Semarang. Saat ini penulis dan beberapa pihak sedang dalam tahap pembentukan TaniKids untuk edukasi pertanian anak-anak. 
Mari bersama membangun bangsa!

Sumber gambar: kfk.kompas.com

Jam Tangan (2)

2:51 PM 2 Comments A+ a-

tees.co.id


setelah postingan kemarin tentang fungsi (modus) lain pemakaian jam tangan (1),  beberapa teman ikut urun pendapat pula tentang fungsi dan niatan memakai jam tangan. ada yang menggunakan jam tangan layaknya fungsi kodratinya, 
"jam tangan itu scedhule on. apalagi untuk kita yg multitasking," ungkap diana

iya sih, jam tangan bisa memacu diri untuk menyelesaikan pekerjaan tepat pada waktunya. namun, ada pula yang memakai jam tangan dengan modus lain yang unik, bukan tuntutan style atau berhubungan dengan waktu, tapi 
"biar ga kebanyakan ngelamun kalo ujian dan biar ada yang bisa dilirik kalau kelas ngebosenin. lol." pengin tertawa sekenceng-kencengnya liat komentar ayuara ini. "lha mbok jo kusi ngenes ko kuwi to, nak. sampai benda mati, jam tangan, yang bisa mengalihkan lamunanmu dan jadi objek lirikan." 

anyway...
---

sekitar sebulan aku tak memakai jam tangan. berawal ketika bertugas (liputan salah satu majalah) di salah satu kampus yang dipenuhi taruna-taruni. temenku cewek yang ditugasi meliput bareng ketakutan melihat sosok taruna tegap dan gagah dengan balutan baju ketatnya. "kasar," katanya. sementara aku, terkadang, sekilas melihat taruni baris-berbaris seakan melihat deretan barisan masa depan #tsah.
lupakan paragraf di atas. 

setelah wudlu dilanjut sholat dzuhur usai, entah kenapa ini tubuh rasanya jadi seger dan merasa gagah. badan yang biasanya membungkuk jadi lurus, biasanya jalan merunduk pun jadi tegap, mungkin ini yang dinamakan efek pengaruh lingkungan yang dijelaskan saat pelajaran biologi dulu, atau mungkin berlaku hukum aksi-reaksi, entahlah. berada di lingkungan sosial taruna-taruni, tubuh ini secara psikologis ikut-ikutan. 

naasnya, ini nih, yang membuat terlena. setelah sampai parkiran, baru sadar kalau jam yang biasanya melekat di tangan tak ada di tempat semestinya. ku ingat-ingat, “oh iya, mungkin ketinggal saat ambil air wudlu.” maklum, jam kelas rendahan, tidak tahan air, belum dilatih berenang, harus dilepas saat wudlu. 

ku bergegas menuju masjid yang berada di bagian belakang kompleks kampus itu. lari sambil bayangin ngejar layangan putus nostalgia masa kecil di kampung. “ah, sudah tak ada.” ku hela nafas dan berujar dalam benak “mungkin belum jodoh jadi yang terakhir, mungkin bakal segera ketemu yang lebih baik setelah ini.” ketemu jam tangan yang lebih baik maksudnya, jangan pikiran ke mana-mana kamu. jangan baper juga!
...
dua minggu berselang, setelah gajian ...
“mbak, jam tangan yang itu ya mbak.”
“ini?”
“bukan mbak, sebelahnya, yang warna silver.”
“ini mas, silakan coba dulu.” *sambil nyodorin jam tangan pilihanku*
“wis, beres mbak. cocok lah ini. (cocok di kantong maksudnya). tolong potong 5 ruas ya mbak, kelonggaran ini.”
“tunggu bentar ya mas.”
(duh, dipanggil mas sama mbak-mbak penjaga toko jam, rasanya kayak ada manis-manisnya) astaghfirullah.
...

malam itu, sehabis pulang dari Demak, aku tak bisa tidur. muntah-muntah mulai dari tengah malam hingga pagi hari. entah kenapa, mungkin ini gegara kena gerimis, perut belum makan dari siang, ditambah efek dinginnya AC mobil semalaman. seingatku, sepanjang hidup ini yang kedua kalinya aku tumbang muntah-muntah semaleman sejak tragedi di tempat KKN lima bulan silam. kapan-kapan aku ceritakan padamu, iya kamu.

“langsung ke dokter, kali aja keracunan,” sms dari Simak (red, ibu) sehabis subuh.
entah kenapa pagi itu Simak sms, lalu aku cerita kalo muntah-muntah semalaman. biasanya aku tak cerita apa-apa kalo tumbang kayak gini
“paling cuma kelelahan, istirahat dan makan makanan yang lagi dipengini, besoknya sembuh,” batinku

demi bakti orang ke orang tua, yakni mengikuti perintah dan tidak membuat cemas, aku ikuti nasihat itu. ini merupakan pengalaman pertama aku ke dokter, periksa perihal kesehatan untuk diriku sendiri selama merantau di Semarang. pertama kali pula antri di lobi Rumah Sakit, menahan muntah sambil meladeni orang ngobrol. kebetulan orang itu Bapak dari anak didikku yang paling pintar di kelas saat aku jadi Wali Kelas. "rela aku nahan muntah demi kamu pak. iya, kamu bapak dari anak yang sering mewakili sekolah dalam berbagai ajang perlombaan."
...

seminggu berselang dari pengalaman pertama antri untuk periksa diri sendiri yang berakhir di jarum infus. jam tangan yang saat ku beli, lalu minta potong lima ruas agar pas di tangan dan itu pun masih serasa sesak, kini terasa longgar. bahkan, telunjuk dan jari tengah pun bisa diselipin di dalam sabuk jam tangan saat dipakai. saking longgarnya, ini jam tangan berjalan mondar-mandir melewati sendi pergelangan tangan kala dibawa rukuk-i’tidak-sujud-berdiri lagi saat taraweh. jika diestimasi per rokaat jam tangan mondar-mandir dua kali, berarti taraweh 20 rokaat totalnya 40 kali tulang sendi pergelangan tangan ini dilangkahi oleh jam tangan.

mungkin ini salah satu (lagi) kegunaan jam tangan bagiku. sebagai alat kontrol, melihat seberapa pertambahan lemak dalam badan ini yang diwakili tangan. kalo jam tangan serasa sesak, berarti sudah saatnya untuk .... *tetiba lupa mau nulis apa*
---

pengunjung yang baik adalah yang meninggalkan jejak.

Jam Tangan (1)

6:40 PM 5 Comments A+ a-

http://learnersdictionary.com/definition/wristwatch


Era sekarang lumrah orang memakai jam tangan. Selain sebagai aksesoris penunjang agar penampilan menjadi stylis, jangan sampai terlupa, secara kodrati jam tangan sejatinya berfungsi sebagai penunjuk waktu. Pemakai jam tangan akan terkesan sebagai sosok sangat menghargai waktu. Jadwal keseharian tertata rapi dan tidak boleh melenceng dari perencanaan, serta selalu ontime pastinya (walau tidak sepenuhnya benar).

Pemakai jam tangan yang hanya berniat untuk gaya-gayaan memiliki ciri yang khas. Sebelum melihat jam, dia akan mengangkat tangan ke atas atau bahkan ke samping, ke muka temen di sampingnya. Iya, tak lain agar temannya tahu kalo “Ini loh, aku punya jam tangan. Jam tangan mahal loh, tak perlu baterai, bertenaga nuklir.”

Mengesampingkan niat pemakai akan fungsi kodrati jam tangan tersebut, jika kalian menyadari, ada pula kegunaan lain dari benda antik yang konon hasil revolusi dari jam air dan jam pasir jaman peradaban Islam di Persia sana. Mungkin kamu sering menjumpainya tapi tak menyadarinya, bisa saja.
---

A: “Iya, kemarin sore aku dateng telat. Akhirnya tidak mendapat kupon takjil (berbuka puasa).”

B: “Loh, makanya, sore-sore jangan tidur, rasain gak dapat kupon. Kalo aku sih dah tahu masjid yang tak perlu antri. Dateng akhir tak apa, yang penting pas dateng langsung memposisikan diri di deket tempat keluarnya nasi. Di pintu samping kiri, kan nasinya dari situ jalannya. Dijamin dapet duluan. Haha”

A: “Wah, masjid mana itu? Bolehlah berbagi rahasia sesama pejuang (red, pejuang takjil hunter)” *pasang wajah memelas*

B: “Sik sik, jalan menuju masjid lumayan rumit, butuh banyak waktu untuk jelasin.” *sambil lihat jam tangan*

A: “Ya sudah, kamu kayaknya lagi buru-buru. Liat jam mulu dari tadi. Jelasin besok gak apa deh pas di sehabis UAS”

B: *hehe* “Duluan ya, Assalamualaikum bro.” *sambil ngegas motor*

Nah tuh, beberapa kegunaan jam tangan di luar fungsi kodrati. Dengan melirik jam tangan atau pura-pura menanyakan pukul berapa, seakan-akan memberi isyarat “Aku sibuk ini, setelah ini ada acara. Sudah dulu ya.” Trik ini bisa digunakan untuk memotong pembahasan yang tak kunjung usai, bingung mau mengakhirinya, atau bahkan ingin kabur dari pertanyaan yang sulit dijawab (misal memberikan bocoran tempat takjil istimewa :D).

Namun, ingat, tak semuanya orang yang melirik jam tangan atau menanyakan waktu berniat seperti itu. Jangan prasangka buruk dulu. Kali aja memang dia lagi sibuk. Atau memiliki fungsi lain seperti menghilangkan kebosanan misalnya.

Semoga hamba dan keluarga dihindarkan dari kesombongan dan penyalahgunaan atas penggunaan jam tangan, Ya Tuhan.
---

Pembaca yang baik adalah pengunjung yang meninggalkan jejak. Sila berkomentar. :)

Membasmi Tikus

8:17 AM 0 Comments A+ a-

Sejenak, memoriku melayang menuju lima tahun silam. Teringat tips sederhana yang disampaikan guruku dalam kelas sore itu. “Tips membasmi tikus.”

“Kalau di rumah ada tikus baik sedikit atau sudah banyak dan mulai berkeliaran di rumah asal belum kuasai rumah, ini tips mengusirnya. Tangkap tikus satu saja, tidak perlu banyak-banyak, lalu bunuh. Setelah dipastikan sudah mati, potong ekornya lalu bangkai beserta ekornya kubur di dalam rumah. Niscaya tikus yang lain akan tinggalkan rumah dengan sendirinya.”

Sebagai seorang murid polos, aku hanya memahami tips itu sebagai sekadar tutorial praktis, tak berusaha menangkap makna dan konsep dasar dari tips tersebut. Pagi ini di kala kegabutanku makin menjadi, otak malas ini mulai bertanya-tanya kala mengingat tips itu. Diksi-diksi di dalamnya “rumah, tikus, bunuh satu lalu potong ekor dan kubur dalam rumah” kenapa harus pakai diksi tersebut? Otak liar ini berusaha menafsirkan bebas versi dirinya sendiri.

Rumah. “Di sana tempat lahir beta, dibuai dibesarkan bunda, tempat berlindung di hari tua, sampai akhir menutup mata.” Mungkin petikan lagu itu mewakili penafsiran tentang rumah. Rumah lah yang secara de facto menjadi milik kita bersama keluarga secara turun-temurun. Tempat yang harapannya nyaman dihuni dan tepat dimana impian dan harapan disemai. Dalam rumah pasti berlaku aturan (rules) baik yang disepakati bersama atau dibuat oleh kepala rumah tangga.

Tikus. “Kotor dan rakus” itu kata yang terbesit spontan ketika mendengar istilah tikus. Tikus menyimbolkan aktor yang kotor, perantara datangnya penyakit, dan menjijikkan pastinya (tetiba ingat film RATS :( ). Tikus juga identik dengan rakus dan pencuri barang milik aktor lain, tak sopan pula. Bukan hanya makanan seperti ikan, nasi, tempe goreng, mie instan berbungkus, bahkan sabun mandi pun digerogoti tikus (anak kos paham lah dengan beginian). Mungkin, sosok pelanggar aturan (rules) juga bisa dikategorikan sebagai tikus. Sudahlah, konstruksi sosial yang terbentuk di masyarakat memang seperti itu.

Bunuh lalu potong ekor. Ekor merupakan salah satu bagian penting bagi tikus. Coba kita lihat tikus tanpa ekor, kasian, status ketikusannya diragukan, bukan? Begitu vitalnya ekor ini bahkan sudah mafhum di masyarakat “Eh, itu di belakang lemari ada tikus” padahal yang dilihanya cuma ekor :). Nah, potong ekor di sini bisa ditafsirkan sebagai sebuah hukuman yang berat dan sadis. Selain dibunuh, masih pula dimutilasi untuk menunjukkan kegarangan dan ketegasan.

Setelah mati dikubur dalam rumah. Muncul pertanyaa “Loh, bukannya bangkai tikus itu bau, perantara penyakit pula, kok dikubur dalam rumah, tak di luar rumah saja?” Begini loh, tips itu tidak salah kok. Tanah secara alamiah memiliki kemampuan menetralisir bau dan meminimalisir potensi penyakit yang dimiliki bangkai tikus. Asal menguburnya cukup dalam. “Memang sih, lalu bagaimana rasionalisasinya, kenapa harus dalam rumah menguburnya?” Begini, ketika tikus si korban yang sudah dimutilasi ekornya dengan sadir dan dilucuti status ketikusannya dikubur di dalam rumah, harapannya tuh para tikus lain beserta kroni-kroninya yang masih berdiam dalam rumah bisa mengambil pelajaran. “Kalau aku masih saja bertahan di rumah ini, lalu ketangkap, mungkin nasibku akan seperti dia. Kabur aja ah, pindah rumah sebelah.” Iya sih, ini personifikasi dan konspirasi yang mengada-ada. Tapi tak apa lah, kan penafsiran bebasku. :)

Diksi lain yang menggelitik lainnya adalah, “kenapa hanya satu saja yg dibunuh, kenapa tak dibunuh semua saja, pakai racun misalnya?” Ini lebih ke konsep efisiensi. Efisiensi dalam ekonomi secara sederhana bisa dipahami sebagai upaya menekan biaya dan tenaga sekecil mungkin guna mencapai tujuan tertentu. Konsep efisiensi ini pula dipakai para ahli strategi perang dalam merumuskan taktik yang bakal digunakan untuk menghancurkan pasukan musuh. Sebisa mungkin menggunakan persenjataan sedikit dan secepat mungkin membasmi musuh, entah memakai serangan gabungan berbagai matra ala Nazi, perang gerilya ala tentara Indonesia, perang candu ala Inggris di Tiongkok, jatuhkan bom atom di pusat pertahanan musuh ala AS di Jepang, atau bahkan cukup proxy war melalui media yang terbukti efektif bisa menyapu beberapa rezim di Timur Tengah saat gelombang Arab Spring. Jadi, dengan hanya membunuh satu saja dengan sadis dan dipamerkan ke yang lain, kita telah menerapkan konsep efisiensi. Tak perlu modal racun pula untuk membasmi semua tikus. Intinya, ngirit, cepat, dan tujuan tercapai.
----

Setelah mencoba menangkap makna dibalik tips itu, aku sadar, ternyata banyak juga tindakan orang di sekitar kita yang memakai inti sari dari tips itu. Mulai dari tataran media sosial hingga pergaulan dunia internasional. “Loh kok?” Iya, perlu aku kasih contoh? Okelah.

Dalam grup media sosial biasanya akan berlaku aturan (rules) baik yang dibuat oleh admin maupun yang telah disepakati bersama. Misal, dalam grup Diskusi Karya Tulis tidak boleh posting apapun selain yang berkaitan dengan Karya Tulis, baik politik atau iklan danusan. Ketika suatu saat ada salah satu anggota grup melanggar aturan, pantas dan wajar jika admin akan menelanjangi (red: memarahi) pelanggar itu di forum bahkan sampai menendangnya dari grup. Sebenarnya admin bisa memilih jalur sopan dan bijaksana, lewat chat privat misalnya. Tapi justru tujuan untuk menegaskan dan memberi peringatan ke semua anggota grup tidak tercapai jika tidak dilucuti di forum. Memakan satu korban, pesan tersampaikan ke semua. Anggota lain akan mengingat itu dan berusaha agar tidak diperlakukan sama dengan korban. Tidak akan ada lagi yang posting melanggar aturan lagi, admin cukup melakukan sekali saja. Begitulah, efisiensi.

Ada pula sosok yang menerapkan inti sari dari tips ini, Menteri Kementrian Kelautan dan Perikanan, Susi. Beliau menjadi garda depan untuk membasmi para pencuri ikan dari negara lain. Dengan jumlah pencuri yang banyak dan menyebar seantero lautan Nusantara, tenaga yang dimiliki KKP sulit untuk menangkap semuanya. Nah, di sinilah beliau memutar otak bagaimana caranya agar tujuan pemberantasan pencuri teratasi dengan sumber daya yang dimilikinya, konsep membasmi tikus ini yang diterapkan. Cukup menangkap beberapa kapal, lalu musnahkan dengan sadis. Tidak sadis bagaimana, lha wong pas di awal-awal kebijakan ini diterapkan yang dihancurkan itu hanya kapal kayu nelayan tradisional biasa sedangkan bom yang digunakan untuk menghancurkan mahal harganya, lihat ini. “Kenapa tidak cukup modal solar aja satu jerigen lalu dibakar di daratan. Toh bakal habis juga.” Ya, ini untuk menunjukkan kesadisan intinya. Lalu berita ini disebarkan ke semua penjuru dunia melalui media agar menjadi pengingat bagi pencuri yang masih bersarang di lautan Nusantara.

Dalam tataran dunia internasional juga ada negara yang pernah menerapkan konsep ini, Amerika Serikat. AS (bersama sekutunya) pernah membombardir Afganistan dan Irak dengan dalih memberantas teroris yang melakukan aksi di Gedung Kembar World Trade Center (WTC) 9/11. AS dengan bangga melakukan tindakan sadis tersebut dan memamerkannya ke penjuru dunia. Seakan-akan AS memberikan mengatakan “Hai negara yang melindungi teroris, akan sama nasibnya seperti kedua negara ini.”
---

Coba kita tilik komunitas sekitar kita, mulai dari lingkup terkecil hingga menyeluruh, baik dunia maya, organisasi, pejabat publik, maupun kebijakan rezim internasional. Mungkin bakal menemukan penerapan konsep membasmi tikus ini. Ketika menjumpai aktor yang menerapkan konsep ini, jangan buru-buru menjudge “Wah, galak amat, sadir, tidak bijaksana” Ini demi penegakan aturan, keberlangsungan komunitas, dan kebaikan bersama, bukan? Monggo bagi pemangku kebijakan bisa juga sekali-kali coba memakai konsep membasmi tikus ini.

Namun, masih ada yang mengganjal di benakku gegara perkataan Gus Dur “Kalau lumbung sudah dikuasai tikus, mending kita bakar aja lumbungnya...”
Bentar-bentar, jangan buru-buru. Perlu selidiki dulu, penanganan korupsi di Indonesia tepatnya pakai konsep membasmi tikus ala guruku atau membakar lumbung ala Gus Dur?

Sekian.
---

Pengunjung yang baik adalah yang meninggalkan jejak.

Aku 'aktivis', tak sepertimu

7:24 AM 0 Comments A+ a-

Masih aja seperti ini, dimana sebagian mahasiswa (yg mengaku sebagai) para aktivis 'mengajak, memaksa' sebagian mahasiswa yg lain untuk ikut berjuang bersama dalam menentang (indikasi) penindasan penguasa melalui aksi-aksi ala aktivis pergerakan.

Terburu-buru melabeli mahasiswa yg tak ikut mau aksi sebagai 'tak acuh, pura-pura tuli' dg isu di sekitar. Dianggap tak mau berjuang.

Padahal, jika kau mau perhatikan sejenak. Mereka sebetulnya bukannya tak acuh, mereka punya jalan lain untuk berjuang.

Sebagian sibuk riset dan menulis lalu ikut lomba di kampus sebelah bahkan negara sebelah. Ada pula yg sibuk membersihkan noda crayon di almamaternya akibat keaktivan anak-anak panti saat belajar mewarnai. Ada pula yg sibuk mengatur waktu agar bisa kuliah sambil kerja part-time (atau berwirausaha) karena niat tak mau bebankan orang tua, atau bahkan karena terpaksa keadaan orang tua sudah tidak ada.

*Yg sibuk garap revisian dan antri nunggu dosen juga banyak. :)

Singkat kata, aku dan mereka aktivis, tapi maaf, mungkin tak sepertimu. Kampus memang satu, tapi jalan perjuangan kita berbeda. Hormati jalan kami.

Mahasiswa dan bangun pagi

12:02 AM 0 Comments A+ a-

Melanjutkan tulisanku sebelumnya tentang “Bangun pagi itu, relatif”, sekarang aku akan mengajak kamu, iya kamu, para mahasiswa yang notabene kaum pemikir untuk berfikir dan merenung bersama. Ingat, berfikir dan merenung bersama, tanpa berniat menjudge apapun dan siapapun.

Bangun pagi merupakan momok bagi sebagian besar mahasiswa. Sulit benar untuk bangun pagi secara konsisten (betul? Semoga tidak). Mahasiswa terkadang hanya bangun pagi saat  ada jadwal kuliah jam 7 pagi. Kalo jadwal kuliah jam 12 siang ya ntar lah bangunnya, jam 10 aja masih males-malesan lepas bantal guling.

Padahal kebiasaan bangun tidur pagi sangat bermanfaat. Memang, bagi mahasiswa semester muda 1-4 masih belum terasa efeknya. Namun, bagi mahasiswa yang telah berumur akan terasa dampaknya. Bangun pagi ibarat garis start sebelum melaju balapan, berpacu mengejar target tugas akhir atau skripsi beserta revisian dari dosen yang selalu menyertainya. Semoga segera kelar skripsiku, amin….

Kamu mahasiswa muda belum percaya dengan ceritaku (yang notabene mahasiswa berumur). Oke lah, hak kamu untuk percaya atau tidak. Biarkan waktu yang bicara dan mengadilimu jika kebiasaan bangun siangmu belum diubah, hehe

Begini deh biar gampang ilustrasinya. Di saat kamu menginjak semester 5 atau 6, beberapa jurusan mewajibkan (ada yang mengajurkan, ada yang membebaskan) mahasiswa untuk lakukan Magang/Praktik Kerja Lapangan (PKL). Kegiatan ini bertujuan agar mahasiswa merasakan sedikit tentang manis-pahitnya dunia pekerjaan. Tempat magang biasanya punya aturan sendiri-sendiri yang mengatur jadwal kedatangan pemagang. Aku misalnya, saat magang di instansi pemerintah provinsi diberi kelonggaran untuk datang pukul 8 pagi dengan waktu perjalanan 45 menit tanpa menghitungkan resiko macet pakai angkutan umum. Jadi harus berangkat maksimal 7.15. Beda dengan temenku, walau sama-sama magang di instansi pemerintah, dia harus datang jam 7.00 untuk mengikuti apel pagi wajib. Dengan waktu tempuh 30 menit, dia harus berangkat jam 6.30. Kalo macet, ya telat apel, makanya dia berangkat lebih pagi lagi.

Masa-masa magang selesai, lanjut ke semester berikutnya. Semester 7 dan 8 kamu mulai mengambil makul Kuliah Kerja Nyata (KKN). Nah, makul ini lah yang akan mengadilimu berikutnya. Saat KKN, kamu bukan hanya bersinggungan dengan sesama mahasiswa saja, tapi kamu akan dihadapkan dengan hiruk-pikuk dunia masyarakat secara nyata. Apalagi jika ditenjunkan di pedesaan yang notabene tatanan masyarakat dan kepedulian antarwarga masih terjaga, otomatis, check and control masyarakat terhadap mahasiswa KKN masih kuat pula. Bangun siang dikit, masyarakat akan memperbincangkannya dan menyebar, meluas kabarnya.

“Mas, itu temen-temennya kok enggak ikut sarapan. Belum bangun ya?”
“Sudah kok bu, masih pada antri mandi”
Padahal antrinya sambil tergeletak di kasur. Aku terpaksa harus jawab begitu, demi kebaikan bersama kalo kata Pak RT.

Hmmmm…

Begitulah kira-kira sekilas gambaran tentang manfaat bangun pagi semasa kuliah. Seperti yang ku sampaikan di awal tulisan, mari berfikir dan merenung bersama. Merubah kebiasaan untuk bangun pagi terkadang sulit, tapi harus dimulai demi cita-cita bangun keluarga dan bangun negara. Toh, nantinya kebiasaan baik akan berdampak baik pula, bukan?

Bangun pagi itu, relatif

11:39 AM 2 Comments A+ a-

“Aku bangun pagi kok”
“Ha??? Jam 8 baru melek, kamu sebut bangun pagi?”

Memang, masih terjadi perselisihan pendapat tentang definisi bangun pagi.

“Bangun pagi itu jam berapa? Jam 4 dengan jam 6 pagian mana?”
“Ya jam 4”
“Jam 6 dibanding jam 9 pagian mana?”
“Ya pagi jam 6 lah”
“Kalo jam 9 dibanding jam 11 pagian mana? Pasti jam 9 kan?”
“iya”
sambil tertunduk malu

Nah kan, relativitas waktu ternyata ada (kayak teori Einstein aja). Bukan karena waktunya yang relatif, tetapi karena standar orang berbeda-beda.

Standar bangun pagi sesuai dengan norma, pekerjaan, dan kebiasaan lingkungannya. Norma Agama Islam misalnya, bangun pagi menunjukkan bangun sebelum waktu subuh (sekitar pukul 3.50) atau lebih pagi lagi. Bangun setelah subuh dianggap kesiangan.

Para petani padi harus berangkat ke sawah pagi buta. Mengairi tanaman padi tiap hari terutama saat masa padi baru ditanam. Matahari terbit dia sudah pulang dari sawah sambil membawa rumput dua keranjang untuk makan hewan ternak kambing atau sapi.

Koki restoran (warung makan), warung tegal misalnya, harus menyediakan makanan segar pagi-pagi sebelum pelanggan ramai sarapan ria. Ketika aku datang pukul 3.30 pagi, sayur-mayur dan lauk-pauk di warung tegal langgananku sudah pada matang. Jam segitu bisa makan makanan enak yang masih hangat baru angkat dari kompor. Bisa kamu bayangkan, jam berapa koki itu harus bangun untuk memasak begitu banyak makanan yang tertera di daftar menu.

Pekerja kantoran di kota besar yang rawan macet juga tak boleh bangun siang. Pernah suatu kali aku menginap di satu keluarga kantoran yang terletak di Jakarta Timur. Bapak ibu dan anak berangkat pakai satu mobil pukul 5.30 guna menghindari jebakan macet. Sebelum menuju kantor masing-masing, bapak ibu mengantar anak ke sekolah terlebih dahulu.

Guru, presiden, menteri, duta besar, pegawai pemerintah, karyawan MNC, enterpereneur, penyanyi, penyiar berita, wartawan, loper koran, buruh, abang cilok, dan masih banyak sederetan pekerjaan yang menuntut harus bangun pagi dengan artian sekitar pukul 5.00 atau sebelumnya.

“Tangi awan, rejekine dipatok pitik” (Bangun siang, rejekinya dimakan ayam)


Lalu, duhai para calon pemimpi, pemimpi yang memimpikan pekerjaan ideal dan berpenghasilan tinggi, kamu menginginkan pekerjaan apa besok kelak? Siap bangun pagi kan?

KKN dan Pacar, eh Jodoh

8:58 AM 2 Comments A+ a-

Sebagai pemuda, patut lah mengikuti pesan orang tua, termasuk kami mahasiswa semester tua yang bakal terjun ke masyarakat lakukan KKN.

Viral di media sosial bahkan di koran lokal kabar tentang pesan Rektor kampusku, kepada mahasiswa KKN agar tidak mencari pacar (red: calon jodoh) saat KKN demi menjaga nama baik kampus. Salah satu akun medsos menyebut Rektor berkata “Kalau ada yang dapat pacar saat KKN, saya do’akan supaya putus secepat-cepatnya.”

Walau ikut upacara pelepasan tersebut, jujur aku tak berani mengaransi kebenaran kabar tersebut. Apakah itu pesan beliau (red: Rektor) secara serius atau hanya bercandaan. Maklum, Prof  Y merupakan sosok yang ramah dan sering membumbui pembicaraan dengan guyonan renyah guna mencairkan suasana. Serius atau guyonan tergantung konteks pembicaraan dan gaya bahasa dan gaya tubuh saat mengucapkannya. Sedangkan aku tak memperhatikannya.

Terlepas dari benar atau tidaknya kabar tersebut, justru aku mendapat pesan sebaliknya. Pihak jajaran pemangku kebijakan di kecamatan aku ditempatkan justru mengharap ada pemuda-pemudi yang kecantol dengan Mahasiswa KKN. “Kalian datang sejumlah 127, semoga pulang pun sejumlah segitu, tidak kurang suatu apa dengan sehat semua. Syukur-syukur ada pemuda-pemudi sini yang kecantol dengan mas-mbak KKN. Tahun-tahun sebelumnya juga ada.” ujar salah satu perwakilan Kecamatan dalam sambutannya yang disambut tawa riuh mahasiswa KKN Tim I.
-----

“Ya nek misale oleh wong kana ya ora papa. Daripada oleh wong adoh-adoh, mundak ilang. Apa maning nek bocahe ora gelem manggon nang Jambangan. Simak wis tuwo, ora bisa nek tilik adoh-adoh. Temanggung kan cedak seko Bawang-Batang, bisa lah Simak wira-wiri.”

“Lha nek kulo angsale adoh, benten pulau, nek boten malah luar negeri sekalian?”
“Nek gelem manggon nang kene ya ora papa.”

Percakapan via telpon antara anak bungsu dengan Simaknya saat kasih kabar tentang penempatan tempat KKN. Aku sadar, kamu mungkin bingung dengan maksud percakapan itu. Gini deh, aku terjemahin:

“Ya misal kalo kamu dapet gadis sana ya tak apa. Daripada dapet gadis yang rumahnya jauh, ntar hilang. Apalagi kalo dianya gak mau tinggal di Jambangan (nama desaku). Simak (ibu, mama, bunda) dah tua, gak bisa jenguk anak cucu ntar kalo jauh-jauh. Temanggung kan deket dari Bawang-Batang, bisa lah Simak mondar-mandir ke situ,” petuah seorang ibu ke anaknya.

“Lha kalo aku dapatnya jauh, beda pulau, kalo tidak justru luar negeri sekalian?” godaku.

“Ya kalo mau tinggal di sini ya ndak apa,” jawabnya disambut tawa bersama.

-----

Intinya, mari menata hati, luruskan niat dalam ber-KKN. Lalu, kamu punya niat cari jodoh gak?