Terorisme, Isu Keamanan Non-Tradisional yang Mendesak


Isu keamanan non tradisional yang paling mendesak dihadapi ASEAN adalah isu terorisme. Alasan pemilihan isu terorisme sebagai agenda mendesak yang dihadapi ASEAN akan dikuatkan melalui argumen dan data. Dalam tulisan ini, saya membagi menjadi tiga bagian. Pertama, pendahuluan tentang terorisme di dunia dan ASEAN. Kedua alasan pemilihan isu melalui tiga argumen utama, yakni: dampak dan multi player effect saat terjadi insiden terorisme, urgensitas, dan kapasitas negara dan kebutuhan solidaritas ASEAN. 

Terorisme di ASEAN
Pasca perang dingin, tatanan internasional pun berubah. Disokong dengan globalisasi dan kemajuan teknologi informasi, hubungan internasional mempunyai tantangan, agenda, aktor, dan ancaman baru.[1] Meskipun ancaman keamanan tradisional seperti perang masih membayangi perdamaian dan stabilitas dunia, peristiwa-peristiwa seperti insiden teror, epidemi, dan bencana telah menunjukkan bahwa ancaman keamanan non-tradisional adalah ancaman yang nyata. Kedua ancaman ini terjalin mengancam kelangsungan hidup dan pembangunan manusia.[2] Ancaman yang nyata tersebut menimbulkan kekhawatiran dan mendorong negara-negara di dunia untuk memberikan perhatian yang serius terhadap isu-isu keamanan non-tradisional. Seringkali ancaman tersebut tidak mengenal batas kedaulatan wilayah negara, sehingga diperlukan kerjasama antar negara dalam upaya penanganannya termasuk kontra terorisme. 
Upaya kontra terorisme secara eksplisit disebutkan dalam ASEAN Political-Security Community (APSC) Blueprint bersama dengan isu-isu keamanan non-tradisional lainnya. Isu keamanan non-tradisional lainnya yang disebutkan dalam APSC Blueprint antara lain traficking in persons, people-smugling, drug-trafficking, IUU fishing, illicit trade in small arms and lighy weapons, cyber crimes, sea priracy, dan hijacking.[3]
Terorisme menurut Consurtium for the Study of Intelligence, pemaksaan kehendak oleh seseorang atau suatu kelompok dengan menggunakan tindakan kekerasan terhadap orang sipil/ non-combatan atau sasaran sipil dengan maksud menimbulkan rasa ketakutan yang luar biasa guna mencapai tujuan tertentu.[4] Sedangkan menurut UU No. 5 tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, terorisme adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal, dan/atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek vital yang strategis, Iingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan.[5] Sedangkan Kementrian Luar Negeri Indonesia mendefinisikan terorisme sebagai aksi kekerasan yang direncanakan secara matang dan dilakukan secara kladestin oleh kelompok radikal yang memilih sasaran masyarakat sipil yang tidak berdosa dengan tujuan untuk popularitas, melakukan teror psikologis, ataupun mencapai kepentingan politik tertentu.[6] Namun, saat ini tindakan terorisme juga bisa dilakukan secara perseorangan tanpa jaringan atau organisasi terstruktur yang bernama Lonewolf. Secara singkat, terorisme merupakan tindakan seseorang maupun kelompok di luar entitas negara menggunakan teror dengan tujuan tertentu.
Isu terorisme telah menjadi sebuah ancaman bersama di kawasan Asia Tenggara.  ASEAN melalui Treaty of Amity and Cooperation (TAC) mendorong hubungan kerja sama antarnegara anggotanya. Bentuk respons awal ASEAN, lebih merupakan tanggapan dengan perubahan situasi dan kondisi internasional, sehingga kerja sama yang dilakukan tampak sebagai tekanan dari negara besar dalam hal ini AS.[7]  
Selain itu, ASEAN memiliki ASEAN Ministerial Meeting on Transnational Crime (AMMTC). AMMTC merupakan pertemuan setingkat menteri yang khusus membahas mengenai isu-isu kejahatan lintas negara di ASEAN yang pertama kali dilaksanakan pada tahun 1997. Terdapat sepuluh jenis kejahatan lintas negara yang menjadi area kerja sama prioritas AMMTC meliputi: 1) terorisme; 2) perdagangan gelap narkoba (illicit drug trafficking); 3) perdagangan manusia (trafficking in person); 4) pencucian uang (money laundering); 5) penyelundupan senjata (arms smuggling); 6) pembajakan di laut (sea piracy); 7) kejahatan ekonomi internasional (international economic crime); 8) kejahatan dunia maya (cybercrime); 9) penyelundupan manusia (people smuggling); 10) penyelundupan hewan langka dan kayu ilegal (wildlife and timber trafficking). Program kerja SOMTC dalam penanggulangan isu-isu kejahatan lintas negara tertuang di dalam SOMTC Work Programme to Implement ASEAN Plan of Action to Combat Transnational Crime yang dikeluarkan secara periodik per tiga tahunan. SOMTC Work Programme yang berlaku saat ini adalah untuk periode 2016-2018. Tiga (3) area kerja sama di bawah mekanisme SOMTC yang telah memiliki pertemuan setingkat working group (WG), yakni: terrorism, trafficking in persons, dan cybercrime. Terkait hal ini, Indonesia merupakan voluntary lead shepherd area kerja sama Pemberantasan Terorisme.[8]

Dampak dan Multiplayer Effect Terorisme
Terorisme memang tidak setiap saat terjadi, namun tidak bisa diremehkan. Pada tahun 2016, terdapat 106 negara di dunia mengalami serangan teroris yang 77 negara di antaranya mengalami paling tidak satu orang tewas dalam insiden tersebut. Selain itu terdapat hal yang perlu untuk diperhatikan, menurut data global peace index serangan teroris dalam beberapa tahun terkahir tercatat semakin sering terjadi di negara-negara yang tidak berada dalam konteks perang.[9]
Terorisme tidak bisa diabaikan. Sekali terjadi insiden maka akan berdampak secara langsung maupun tidak langsung. Kerugian yang ditimbulkan bisa berupa kerugian immateril maupun materil. Kerugian immateril berupa nyawa, dampak psikologis, sosial, ekonomi, dan politik yang berkelanjutan. Sedangkan kerugian materil berupa benda dan kekayaan. 

Dampak Langsung
Dampak langsung merupakan dampak yang ditimbulkan saat itu juga di lokasi terjadinya insiden atau aksi terorisme. Misal saat terjadi kasus teror, maka korban nyawa bisa berjatuhan. Berikut data serangan dan kematian yang ditimbulkan.
Gambar 1. Frekuensi Serangan Terorisme dan Kematian per Bulan (2012-2017) Sumber: START Background Report © University of Maryland, August 2018
Hasil studi dari University of Maryland menunjukkan pada 2017 setidaknya terdapat 10.900 serangan teroris di seluruh dunia. Serangan tersebut membunuh lebih dari 26.400 orang, termasuk 8.075 pelaku dan 18.488 korban. Ini menurun dibandingkan puncak eskalasi tahun 2014 dengan jumlah serangan hampir 17.000 kali dan lebih dari 45.000 total kematian. Serangan teroris paling mematikan di tahun 2017 terjadi pada bulan Oktober, di Mogadishu, Somalia. Para penyerang meledakkan bom di sebuah truk di dekat Hotel Safari. Lebih dari 580 orang tewas dan lebih dari 300 lainnya terluka.[10] Ini menunjukkan bahwa kejahatan terorisme menjadi ancaman yang nyata. 

Memang, pada tahun 2017 ini serangan teroris masih berpusat di Irak (23%), Afghanistan (13%), India (9%), and Pakistan (7%). Namun tidak bisa diremehkan, total serangan di kawasan Asing Tenggara mencapai 7 kali serangan yang menimbulkan 16 orang meninggal turun 50% dibanding tahun 2016. [11]

Gambar 2. Frekuensi Serangan Terorisme dan Kematian per Wilayah (2012-2017) Sumber: START Background Report © University of Maryland, August 2018
Di Indonesia, insiden terorisme tercatat sudah ada sejak 1981 (lihat lampiran). Korban cukup banyak disebabkan insiden peledakan bom Bali I, tahun 2002. Serangan di Legian, Kuta, Bali tersebut mengakibatkan 202 orang meninggal dan 204 orang luka-luka. Sejak Januari 2017 hingga 30 September 2018, tercatat 50 orang tewas dan 68 orang luka-luka.[12] Data lain dari Yayasan Penyintas Indonesia menunjukkan bahwa pada tahun 2016, tercatat ada 544 korban terorisme di Indonesia, baik korban meninggal, cacat permanen, luka berat dan ringan, belum ada satu pun yang mendapatkan kompensasi dari negara.[13] Kompensasi saja tidak cukup, pemerintah perlu memperhatikan pemenuhan hak-hak korban yang lain, misalnya rehabilitasi medis, psikologis dan psiko sosial, serta kebutuhan ekonomi korban beserta keluarga atau ahli warisnya.
Selain kerugian nyawa, terdapat pula kerugian harta benda yang besar sebagai dampak langsung dari serangan terorisme. Insiden 11 September 2001 di Amerika Serikat, selain membunuh 2.996 orang dan melukai 6.000 orang, menurut Institute for the Analysis of Global Security (IAGS) menyebabkan kerugian mencapai $2 triliun. Jumlah klaim asuransi properti yang dibayarkan untuk kerusakan yang ditimbulkan mencapai $25,15 miliar. Ini hanya klaim untuk properti saja. Belum lagi klaim asuransi untuk pesawat yang dibajak, klaim asuransi kendaraan yang hancur, asuransi kesehatan, dan klaim asuransi jiwa. Selain itu, ada pula serangan teroris yang tak kalah besar. Tanggal 24 April 1993 terjadi pengeboman di London, Inggris oleh Provisional Irish Republican Army (PIRA) yang menghancurkan bangunan di sepanjang Bishopgate dengan total klaim asuransi properti sebesar $1,2 miliar.[14]

Dampak Tidak Langsung
Pengunaan kekerasan dalam melakukan aksi terorisme akan menyebarkan ketakutan atau teror pada masyarakat. Akibatnya, serangan terorisme akan memunculkan ketidakstabilan politik dan keamanan di suatu negara atau kawasan tertentu yang berdampak pada goyahnya sektor perekonomian baik investasi maupun pariwisata. 
Menurut Widajatun (2019), seluruh kejadian terorisme yang terjadi di Indonesia hampir seluruhnya memberikan dampak negatif pada performa nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing khususnya USD dan performa Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG).[15] Berikut data performa rupiah saat terjadi insiden terorisme. 
Gambar 3. Performa Rupiah Saat Insiden Terorisme di Indonesia. Sumber: Widajatun (2019)
Gambar tersebut menunjukkan penurunan rupiah yang sangat besar yang semula turun 0,05% menjai -3,4% pada kejadian bom Bali 2002 terjadi. Proses perencanaan dalam penanggulangan bencana khususnya terorisme masih belum maksimal terbukti dengan terjadinya penurunan kembali pada peristiwa bom bunuh diri Solo. Hal yang sama, insiden terorisme juga pengaruhi performa IHSG. 
Gambar 4. Performa IHSG Saat Insiden Terorisme di Indonesia. Sumber: Widajatun (2019)
Selain itu, terorisme juga berpengaruh pada sektor pariwisata yang secara otomatis mempengaruhi performa ekonomi suatu negara. Menurut World Travel and Tourism Council (WTTC), pariwisata berkontribusi sebesar 9,8% Produk Domestik Bruto dunia tahun 2015 dan mengalami peningkatan pada tahun 2016 dan 2017 sebesar 10,2% dan 10,4%.  Di ASEAN sendiri, terdapat negara yang mengandalkan sektor pariwisata sebagai sektor unggulan dalam perekonomian bahkan hingga 10% dari PDBnya.[16]
Gambar 5. Porsi Kontribusi Pariwisata Terhadap PDB 2011-2017 Sumber: Wardhana (2019)
Kejadian terorisme bom Bali pada tahun 2002 dan 2006 di Indonesia berpengaruh negatif terhadap kunjungan wisman asal Malaysia, Jepang, Australia, Amerika Serikat, dan Inggris. Secara otomatis, pendapatan dari sektor perekonomian berkurang. 
Selain itu, GDP sebagai salah satu indikator tingkat kesejahteraan suatu negara berpengaruh secara positif terhadap jumlah penduduk Indonesia yang pergi ke luar negeri selain pengaruh krisis multidimensi tahun 1998 dengan kerusuhan massal yang terjadi di kota-kota besar Indonesia yang mengakibatkan eksodus besar-besaran.[17] Data-data tersebut menunjukkan bagaimana terorisme berpengaruh terhadap sektor-sektor perekonomian. Semakin banyak terjadi teror, seringkali ekonomi negara akan goyah. 

Multiplayer Effect
Terorisme terorisme ini seringkali memiliki kaitan erat dengan isu keamanan non-tradisional lainnya seperti pembajakan pesawat maupun kapal, perdagangan gelap narkoba, pencucian uang, penyelundupan senjata, bahkan penyelundupan manusia. Keterkaitan tersebut tidak lepas dari upaya pendanaan terorisme mengunakan jalur ilegal. Dalam artian, penanganan isu terorisme harus paralel dengan penanganan isu lain. Atau bahkan jika isu terorisme ditangani dan dikelola dengan baik, maka isu multiplayer effect-nya juga akan bisa ditangani juga.


Gambar 6. Keterkaitan Terorisme dengan Isu Keamanan Non-Tradisional Lainnya
Kasus penculikan dua nelayan warga negara Indonesia (WNI) di Perairan Sabah, Malaysia pada 11 September 2018 misalnya. Penculikan tersebut diduga dilakukan oleh kelompok teroris Abu Sayyaf. Pelaku penculikan membawa senjata laras panjang dan berbicara dengan logat Suluk yang diduga warga Filipina. Penculikan nelayan WNI di Perairan Sabah sudah terjadi berulang kali hingga melibatkan pihak Kementerian Luar Negeri.[18] Biasanya, penculik akan meminta uang tebusan untuk melepaskan tawanan tersebut. Selain penculikan, terorisme juga berkaitan dengan penyelundupan senjata ilegal untuk menunjang operasinya. 

Urgensitas
Menurut saya, isu terorisme mendesak untuk segera ditangani. Seiring dengan adanya gelombang konflik di kawasan Timur Tengah dan sekitarnya, banyak warga negara di luar negara konflik yang bergabung dengan kelompok terorisme di kawasan tersebut. Dengan dimulainya pemberontakan di Suriah pada Maret 2011, diikuti oleh kemunculan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) pada 2013 dan oleh Kekhalifahan Negara Islam pada Juni 2014, Foreign Terrorist Fighters (FTF) berduyun-duyun datang ke daerah tersebut. Februari 2015, kepala Pusat Penanggulangan Terorisme bersaksi bahwa lebih dari 20.000 pejuang asing dari setidaknya 90 negara telah pergi ke Irak dan Suriah. Pada Juni 2017, lalu lintas FTF ISIS melalui Turki tercatat lebih dari 53.000 menurut penelitian The Soufan Center (2017). Namun, semenjak kemunduran kekuatan ISIS banyak warga negara yang awalnya bergabung tersebut kemudian menginginkan agar dapat kembali ke negara asal.[19]
Kembalinya FTF ke negara asal tidak serta merta dapat menghilangkan masalah, mengingat banyak FTF yang terkait dengan kelompok terorisme memiliki kecenderungan mengambil keterampilan, taktik, dan gagasan yang dapat mereka gunakan dalam konflik berikutnya termasuk setelah kembali ke negara asalnya. FTF juga membangun jaringan, mendapatkan kontak dari luar wilayah dan negara mereka guna aksi di masa depan.
Untuk kasus Indonesia sendiri, data dari The Soufyan Center (2017) diperkirakan terdapat 600 orang FTF yang sudah berusaha melakukan perjalanan ke Suriah dan Irak, dimana 384 di antaranya sudah melakukan pertempuran di sana dan kurang dari 50 orang telah kembali ke Indonesia. Tidak hanya itu, Malaysia dan Australia sebagai negara terdekat di kawasan, juga tercatat 8 dan lebih dari 40 FTF warganegaranya yang telah pulang ke negara masing-masing.[20] Jika tidak segera dikelola dengan baik, kembalinya mereka tidak memunculkan potensi gangguan stabilitas sosial dan keamanan serta perdamaian baik di negara masing-masing maupun kawasan Asia Tenggara.[21] Oleh karena itu, perlu sikap dari ASEAN beserta anggotanya untuk menanggulangi potensi masalah di kemudian hari. 

Kapasitas Negara dan Solidaritas ASEAN
Menurut saya kapasitas masing-masing negara ASEAN berbeda-beda. Ini tidak lepas dari pengalaman dalam penanganan teror dan kepentingan elit dalam memandang urgensitas isu terorisme. Dari kondisi negara-negara anggota yang berbeda-beda tersebut, secara otomatis kontribusi di ASEAN pun berbeda-beda. 
Respons ASEAN terhadap terorisme mencapai puncaknya pada November 2001 saat para pemimpin ASEAN mendeklarasikan perang terhadap terorisme (Choiruzzad, 2003 dalam Hidayat, 2015). Ini tidak lepas dari proyek global melawan terorisme yang diusung oleh Amerika Serikat pasca peristiwa 11 September di Amerika Serikat (AS) dan bom Bali 12 Oktober (Emmers, 2003 dalam Hidayat, 2015). Namun demikian, terlihat bahwa deklarasi tersebut tidak berasal dari konsensus nyata di antara negara-negara anggota. Adanya kepentingan domestik yang berbeda-beda antara Indonesia, Malaysia, Filipina dan Singapura membuat pencapaian kesepakatan regional dan perumusan langkah-langkah nyata tidak berjalan dengan baik (Emmers 2003 dalam Hidayat, 2015).[22]
Selain itu, terdapat dimensi politik domestik yang sangat kental dalam respon isu terorisme ini. Perdana Menteri Malaysia Mahathir dan Presiden Filipina Gloria Macapagal-Arroyo mendukung AS perang melawan terorisme guna kepentingan politik domestiknya. Sebaliknya, Presiden Indonesia Megawati mengalami dilema. Organisasi-organisasi muslim moderat yang punya pengaruh besar dalam politik domestik menentang respon pemerintah terhadap kelompok-kelompok teror yang diidentikkan dengan Islam. Megawati menagmbil langkah untuk tidak melakukan penangkapan terhadap pimpinan Jamaah Islamiyah (JI). Langkah ini mendapat protes dari Menteri Senior Singapura Lee Kuan Yew karena Singapura merasa terancam terkena serangan terorisme selama pemimpin ekstremis itu tidak ditangkap (Emmers 2003 dalam Hidayat, 2015).[23]
Permasalahan yang terkait dengan terorisme masih terus mengancam stabilitas keamanan negara-negara anggota ASEAN, walaupun rencana aksi diadakan secara rutin dalam ASEAN Ministerial Meeting on Transnational Crime(AMMTC), namun upaya masing-masing negara untuk menindak gerakan terorisme sebelum melakukan ekspansi ke negara anggota lainnya sangat dibutuhkan (ASEAN, 2011).[24]

Kesimpulan
Isu kontra terorisme mendesak untuk diagendakan oleh ASEAN. Ini bukan tanpa alasan memepertimbangkan dampak dan multi player effect saat terjadi insiden terorisme, urgensitas, dan kapasitas negara dan kebutuhan solidaritas ASEAN. Data-data menunjukkan bagaimana terorisme memiliki dampak yang besar baik langsung maupun tidak langsung yang berupa materil maupun immateril. Korban nyawa berjatuhan, kerusakan yang ditimbulkan besar, dan berpengaruh terhadap sektor-sektor perekonomian. Penanganan ini juga memiliki urgensitas mengingat adanya gelombang eksodus mantan ISIS kembali ke negaranya termasuk ke negara-negara ASEAN pasca kekalahan ISIS. 
Terorisme tidak bersifat lokal dan spontan, tetapi teroganisir, memiliki mobilitas yang tinggi dan luas karena operasinya dapat mencakup lebih dari satu negara. Perlu adanya kerja sama yang dilakukan ASEAN untuk menangani tindakan kejahatan terorisme beserta isu yang terkait seperti penyeludupan senjata maupun pencucian uang dan membangun informasi atau intelijen yang terpadu. Upaya reaktif harus dibarengi dengan upaya preventif agar bibit terorisme dan penyokongnya bisa diberantas. Alhasil, solidaritas negara-negara anggota ASEAN merupakan salah satu cara untuk menangani isu terorisme di ASEAN.




Referensi
Alami, Athiqah Nur (2015) Indonesian Foreign Policy and Non-Traditional Security Issues. Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 2 Desember 2015. Jakarta: LIPI
ASEAN Secretariat (2009) ASEAN Political-Security Community Blueprint. Jakarta: ASEAN Secretariat www.asean.org
Barrett, Richard (2017) Beyond The Caliphate: Foreign Fighters and The Threat of Returnees. The Soufyan Center
Graig, Susan L. (2007) China Perception of Traditional and NonTraditional Security Threat. The Strategic Studies Institute, https://www.globalsecurity.org/military/library/report/2007/ssi_craig.pdf
Habibie Center (2018) Kajian Kontra Terorisme dan Kebijakan: Aspek-aspek Penting Penanganan Korban Tindak Pidana Terorisme. Edisi 02/November 2018
Hidayat, Agung (2015) ASEAN dan Penanggulangan Terorisme: Beberapa Catatan. ASEAN Studies Center UGM. August 27, 2015 https://asc.fisipol.ugm.ac.id/2015/08/27/648/
Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) (2016) Minimnya Hak Korban dalam RUU Pemberantasan Terorisme Usulan Rekomendasi atas RUU Pemberantasan terorisme di Indonesia (DIM terkait Hak Korban Terorisme), Mei 2016
Lumaksono, Adi (2012) Dampak Ekonomi Pariwisata Internasional pada Perekonomian Indonesia. Forum Pascasarjana Vol. 35 No. 1 Januari 2012:53-68
Marwan, Faiz B. (2019) Pesantren Perdamaian: Instrumen Deradikalisasi Bagi Foreign Terrorist Fighters (FTF) Islamic State of Iraq and Syiria (ISIS). Kompetisi Kemenag Jateng 2019
Mursita, Novari (2004) Kerja Sama ASEAN dalam Penanganan Terorisme. Tesis S2. UGM
Rizki, Ramadhan (2018) Polisi Duga Dua WNI Diculik Kelompok Abu Sayyaf di Malaysia. CNN Indonesia. https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180913164849-12-329996/polisi-duga-dua-wni-diculik-kelompok-abu-sayyaf-di-malaysia Kamis, 13/09/2018 17:26 WIB
Sekretariat Nasional ASEAN- Indonesia http://setnas-asean.id/asean-ministerial-meeting-on-transnational-crime-ammtc
START (2018) Background Report Global Terrorism in 2017. University of Maryland, August 2018 www.start.umd.edu/gtd.
Subhan, Muhammad (2014) Efektifitas Upaya Deradikalisasi Terhadap Keluarga Teroris yang Dilaksanakan BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme). PKM. Semarang: Universitas Diponegoro
UU Nomor 5 Tahun 2018 Tentang Perubahan Atas UU Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi UU 
Wardhana, Adhitya (2019) Dampak Sektor Pariwisata Terhadap Pertumbuhan Ekonomi (TLG Hipotesis, Studi Kasus: 8 Negara ASEAN) E-Jurnal Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana 8.10 (2019):1193-12081193 ISSN : 2337-3067
Widajatun, Vincentia Wahju (2019) Kejadian Aksi Teroris dan Dampaknya Pada Performa Nilai Tukar Dolar Amerika Serikat Dan Performa IHSG. Jurnal Muara Ilmu Ekonomi dan Bisnis ISSN 2579-6224 (Versi Cetak) Vol. 3, No. 1, April 2019
Zuhra, Wan Ulfa Nur (2016) Risiko dari Terorisme Juga Butuh Payung Asuransi https://tirto.id/risiko-dari-terorisme-juga-butuh-payung-asuransi-caYY 23 Desember 2016
Zulfikar, Achmad (2013) Efektivitas Peran ASEAN dalam Mengatasi Masalah Human Security di Kawasan Asia Tenggara. Universitas Muhammadiyah Yogyakarta 

Dialog
Fida, Abu (2019) Mantan Partisipan ISIS. Diungkapkan dalam Seminar Publik “Mewaspadai Ancaman Terorisme Jelang Pelantikan Jokowi.” di Jakarta, 4 Oktober 2019


[1] Athiqah Nur Alami (2015) Indonesian Foreign Policy and Non-Traditional Security Issues. Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 2 Desember 2015. Jakarta: LIPI hlm. 88
[2] Susan L. Graig (2007) China Perception of Traditional and NonTraditional Security Threat. The Strategic Studies Institute, https://www.globalsecurity.org/military/library/report/2007/ssi_craig.pdf hlm. 101. 
[3] ASEAN Secretariat (2009) ASEAN Political-Security Community Blueprint. Jakarta: ASEAN Secretariat www.asean.org hlm. 12-13
[4] Muhammad Subhan (2014) Efektifitas Upaya Deradikalisasi Terhadap Keluarga Teroris yang Dilaksanakan BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme). PKM. Semarang: Universitas Diponegoro
[5] UU Nomor 5 Tahun 2018 Tentang Perubahan Atas UU Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi UU 
[6] Abu Fida, Mantan Partisipan ISIS. Diungkapkan dalam Seminar Publik “Mewaspadai Ancaman Terorisme Jelang Pelantikan Jokowi.” di Jakarta, 4 Oktober 2019
[7] Novari Mursita (2004) Kerja Sama ASEAN dalam Penanganan Terorisme. Tesis S2. UGM
[8] Sekretariat Nasional ASEAN- Indonesia http://setnas-asean.id/asean-ministerial-meeting-on-transnational-crime-ammtc
[9] Habibie Center (2018) Kajian Kontra Terorisme dan Kebijakan: Aspek-aspek Penting Penanganan Korban Tindak Pidana Terorisme. Edisi 02/November 2018 hlm. 3
[10] START (2018) Background Report Global Terrorism in 2017. University of Maryland, August 2018 www.start.umd.edu/gtd.
[11] ibid
[12] Habibie Center (2018) Kajian Kontra Terorisme dan Kebijakan: Aspek-aspek Penting Penanganan Korban Tindak Pidana Terorisme. Edisi 02/November 2018 hlm. 3-4
[13] Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) (2016) Minimnya Hak Korban dalam RUU Pemberantasan Terorisme Usulan Rekomendasi atas RUU Pemberantasan terorisme di Indonesia (DIM terkait Hak Korban Terorisme), Mei 2016
[14] Wan Ulfa Nur Zuhra (2016) Risiko dari Terorisme Juga Butuh Payung Asuransi https://tirto.id/risiko-dari-terorisme-juga-butuh-payung-asuransi-caYY 23 Desember 2016
[15] Vincentia Wahju Widajatun (2019) Kejadian Aksi Teroris dan Dampaknya Pada Performa Nilai Tukar Dolar Amerika Serikat Dan Performa IHSG. Jurnal Muara Ilmu Ekonomi dan Bisnis ISSN 2579-6224 (Versi Cetak) Vol. 3, No. 1, April 2019 : hlm 150-153
[16] Adhitya Wardhana (2019) Dampak Sektor Pariwisata Terhadap Pertumbuhan Ekonomi (TLG Hipotesis, Studi Kasus: 8 Negara ASEAN) E-Jurnal Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana 8.10 (2019):1193-12081193 ISSN : 2337-3067 Hlm. 1195
[17] Adi Lumaksono (2012) Dampak Ekonomi Pariwisata Internasional pada Perekonomian Indonesia. Forum Pascasarjana Vol. 35 No. 1 Januari 2012:53-68 hlm. 63
[18] Ramadhan Rizki (2018) Polisi Duga Dua WNI Diculik Kelompok Abu Sayyaf di Malaysia. CNN Indonesia. https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180913164849-12-329996/polisi-duga-dua-wni-diculik-kelompok-abu-sayyaf-di-malaysia Kamis, 13/09/2018 17:26 WIB
[19] Richard Barrett (2017) Beyond The Caliphate: Foreign Fighters and The Threat of Returnees. The Soufyan Center
[20] ibid
[21] Faiz B. Marwan (2019) Pesantren Perdamaian: Instrumen Deradikalisasi Bagi Foreign Terrorist Fighters (FTF) Islamic State of Iraq and Syiria (ISIS). Kompetisi Kemenag Jateng 2019
[22] Agung Hidayat (2015) ASEAN dan Penanggulangan Terorisme: Beberapa Catatan. ASEAN Studies Center UGM. August 27, 2015 https://asc.fisipol.ugm.ac.id/2015/08/27/648/
[23] ibid
[24] Achmad Zulfikar (2013) Efektivitas Peran ASEAN dalam Mengatasi Masalah Human Security di Kawasan Asia Tenggara. Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Hlm. 9

The Hurt Locker (2009)


Source: IMDb

Film yang dirilis tahun 2009 ini memberikan sajian menarik tentang perang. Dalam film-film perang biasanya perang digambarkan dengan baku tembak peralatan militer seperti tank, pesawat tempur, kapal perang atau senjata ‘tenteng’ saja. Tapi dalam film ini menggambarkan sisi lain perang yakni suasana sunyi mencekam dalam perang. Dimana ketegangan penonton akan muncul ketika sekelompok pasukan penjinak bom US Army -EOD (Explosive Ordnance Disposa) sedang lakukan tugasnya. Walaupun di beberapa scene ada adegan baku tembak dengan musuh.

Latar yang dipakai film ini adalah suasana Irak khususnya Kota Baghdad pasca Invasi besar-besaran yang dilakukan Amerika Serikat. Saat itu, Irak masih berserakan ranjau darat sisa perlawanan melawan pasukan AS yang datang tanpa permisi. Irak menjadi tempat dimana ledakan paling banyak terjadi, baik dari bom ranjau atau bom bunuh diri.

Film ini seperti film-film keluaraan AS pada umumnya. Lebih ingin menonjolkan ke-heroik-an salah satu anggota pasukan Penjinak Bom Angkatan Darat AS, William James. Dimana dia rela meninggalkan anak istrinya karena merasa terpanggil dengan tugas abdi negara. James juga digambarkan dengan sosok yang pemberani dan tidak takut mati dalam menjalankan tugasnya. Ini nampak saat James menjinakkan bom dengan tangannya sendiri setelah penjinakan bom dengan robot gagal dilakukan.

Ada hal yang membuat tertawa di film tersebut. Sindiran yang lucu saat robot penjinak bom yang membawa ‘gerobak’ pengangkut bom alami kerusakan as roda. Percakapan
“Apakah ini kamu yang membuat?” merujuk robot gerobak yang rodanya patah tersebut.
Rekannya menjawab, “Bukan, US Army dong.”
Ini seakan-akan menyindir kalo buatan US Army kualitasnya jelek. Tidak semuanya berkualitas bagus yang tanpa cacat. Cukup menghibur. :)

Sisi humanitas tentara dalam perang juga dimunculkan dalam film tersebut. Salah satunya ketika pasukan penjinak menggrebek rumah yang diduga markas musuh. Dalam rumah tersebut, James menemukan mayat anak kecil yang perutnya sudah dijahit. Sesuai SOP yang ada, harusnya mayat itu diledakkan karena perutnya telah dipasangi bom. Namun, James tidak melakukannya karena tidak tega ledakkan anak kecil yang dia kira (padahal bukan) adalah anak kecil penjual DVD yang biasa main sepak bola dengannya di camp. Dia justru membedah perut mayat tersebut, mengambil bom lalu menyerahkan mayat ke warga untuk dikuburkan.

Secara garis besar, film tersebut bagus dan recommended untuk ditonton bagi kamu yang ingin nuansa baru dalam film action-perang. Film ini juga menggambarkan karakter tokoh dalam kondisi perang, ada yang panik, tertekan, frustasi maupun penuh keberanian tanpa takut mati. Film ini mengubah persepsi kita, perang bukan hanya riuh ramai dor dor dor desingan peluru dan ranjau, melainkan terkadang sunyi mencekam, seperti yang tentara alami. Sekian.

Edukasi Asik, Tanpa Meninggalkan Sisi Historis

Mbiloro atau Kambilloro, begitu pengucapan nama yang familiar di lidah warga lokal untuk menyebut kawasan yang kini jadi Camp Bell 2 Educational Park yang dibuka untuk umum pada 25 Oktober 2018.

Pengembangan kawasan baru dituntut untuk menyesuaikan kondisi zaman. Penyesuaian tersebut selain diaplikasikan dalam penyusunan konsep dan konten wisata yang asik dan kekinian, juga bisa diaplikasikan dalam nama dan ikon suatu kawasan wisata. Campbell 2 Edupark salah satunya.
Konsep dan konten wisata di Campbell 2 Edupark memuat unsur-unsur local wisdom (budaya lokal) yang ada di masyarakat. Pencaharian penduduk lokal yang terdiri dari petani dan peternak diwujudkan dengan adanya wahana edukasi pertanian padi dan peternakan sapi perah. Wajah desa yang sangat mendukung dengan penghijauan kawasan disimbolkan dengan kawasan yang asri dan rimbun pepohonn. Desa yang konsen terhadap pengelolaan sampah, diwujudkan dengan adanya edukasi pengolahan sampah terpadu. Budaya gotong royong dan kekompakan masyarakat serta permainan tradisional yang masih lestari menjadi formulasi untuk menyusun wisata outbound dan dolanan anak.

Selain itu, penentuan nama Campbell 2 Edupark juga tidak lepas dari local wisdom yang ada. Campbell 2 Edupark disarikan dari nama Mbilloro atau Kambilloro, sebuah nama yang pengucapannya mirip. Nama tersebut merupakan nama yang dilafalkan oleh warga lokal secara turun-temurun untuk menyebut kawasan yang sekarang menjadi kawasan Campbell 2 Edupark. Nama Mbilloro atau Kambilloro berasal dari bahasa jawa yang bermakna kelapa dua. Menurut penuturan warga lokal, zaman dulu di kawasan tersebut terdapat dua pohon kelapa kembar yang menjulang kelihatan dari jalan raya. Mafhum dalam tradisi jawa menyebut nama suatu wilayah dengan kondisi yang terlihat oleh mata dan mudah diingat serta lekat dalam benak masyarakat.

Dalam penyusunan ikon Cambell 2 Edupark juga tidak lepas dari upaya mengakomodir local wisdom. Ikon berupa dua pohon kelapa yang berlatar belakang siluet dua gunung yakni Gunung Merapi dan Sindoro serta sebuah gazebo merupakan pemandangan yang benar-benar dapat dinikmati saat berkunjung di Campbell 2 Edupark.

Pertamina dan masyarakat lokal membuktikan, pembangunan kawasan wisata asik dan kekinian tidak harus meninggalkan unsur-unsur local wisdom yang ada. Bahkan dapat memunculkan budaya-budaya tersebut menjadi suatu ciri khas tersendiri. Kawasan wisata di suatu desa wisata dapat menjadi miniatur yang dapat merepresentasikan keseluruhan wajah desa. Dengan begitu, budaya lokal tidak akan sirna tergerus dengan arus modernisasi, melainkan bertransformasi. Budaya Tetap Lestari!.

Penasaran dengan tampaknya kini? Kunjungi laman instagramnya di @dolan.tawangsari

Bukan Sekadar Tempat Piknik, Melainkan Gudang Informasi

"Kawasan ini tidak hanya sebagai tempat piknik, tapi lebih dari itu. Kawasan ini menyuguhkan segudang informasi yang dapat menambah pengetahuan bagi masyarakat." 
-General Manager MOR 4 Yanuar Budi Hartanto.

Dibangun sejak 2016, Pertamina Terminal BBM Boyolali memberdayakan kawasan yang semula berupa lahan kritis menjadi sumber penghasilan bagi desa dan warga sekitarnya. Lahan kritis yang semula tidak dapat ditanami sayur dan padi karena krisis air, kini dapat dialiri air berkat inovasi Pertamina yang menghadirkan Kincir Pompa Hidrolik (KiPolik) untuk memompa air dengan tenaga hidrolik. Pompa yang mampu mendorong air hingga debit 960 liter/jam ini digunakan untuk memenuhi kebutuhan air bersih terutama untuk mengisi kolam-kolam sebagai sarana outbound di kawasan Edu Park.

Inovasi lainnya adalah pengunjung kawasan ini dapat melihat edukasi peternakan sapi yang mampu mengolah produk olahan susu dan mengubah limbah kotoran sapi menjadi energi terbarukan yaitu biogas. Biogas ini kemudian menjadi sumber energi untuk penerangan kawasan edupark dan untuk memasak beragam produk susu dari peternakan. Hingga saat ini produk olahan susu di Kawasan ini telah dipasarkan di berbagai instansi di Kab. Boyolali dan menghasilkan omset hingga 3,2 juta per bulan.

Untuk menghijaukan Kawasan Edupark, Pertamina bersama warga juga menanam Tanaman Buah Naga yang kemudian buahnya diolah menjadi Produk Karaks tanpa Boraks yang dapat dinikmati oleh para pengunjung di lokasi.

Wahana Edukasi lainnya yang dapat dikunjungi adalah lokasi Pengolahan Sampah Terpadu Organik dan Anorganik untuk mengolah sampah organik menjadi kompos dan sampah anorganik menjadi Bahan Bakar Alternatif (BBA). Khusus sampah plastic/anorganik, sampah-sampah ini diolah menggunakan mesin Petik Jami (Pengubah Plastik Jadi BBA). Sesuai dengan misi kawasan ini yaitu "zero waste", BBA yang dihasilkan mesin Petik Jami akan menjadi sumber energi untuk mesin pencacah sampah organik.

Sebagai informasi, Petik Jami hingga saat ini telah berhasil mengubah 3,6 ton sampah plastik menjadi 1800 liter BBA/tahun. 24 ton sampah organik pun juga telah terolah dan termanfaatkan hingga menghasilkan Potensi sebesar Rp 48 juta/tahun. Program tersebut sangat mendorong pertumbuhan ekonomi di Desa Tawangsari, Kecamatan Teras, Kabupaten Boyolali.

Bupati Boyolali, Seno Samudro mengapresiasi langkah pertamina Terminal BBM Boyolali yang merangkul warga untuk mengembangkan potensi desa dan menciptakan kemandirian bagi warga desa. "Kami harapkan desa wisata ini dapat menjadi contoh bagi desa desa lainnya untuk berdaya dan bangkit," jelas Seno.

Penasaran dengan tampaknya kini? Kunjungi laman instagramnya di @dolan.tawangsari