Politik Luar Negeri China

11:53 PM 0 Comments A+ a-

Perang Candu
Istilah Perang Candu dikenal orang, tatkala timbul pertempuran sengit di Cina melawan penjajah di negerinya. Ya, banyak literatur mengatakan bahwa Perang Candu I (1839-1842) adalah peperangan antara Cina versus Britania Raya atau Inggris. Penyulut konflik ialah maraknya opium yang dibawa pedagang Inggris ke Cina, sementara di bawah kekuasaan Dinasti Qing, ia tengah keras menerapkan aturan tentang obat-obatan. Sedangkan Perang Candu II (1856-1860) tak hanya bertempur melawan Inggris tapi Prancis pun terlibat. Menurut beberapa catatan, substansi kedua perang di atas sesungguhnya bukan menjadikan Cina sebagai jajahan, akan tetapi lebih kepada kepentingan perdagangan Barat sekaligus melemahkan daya juang rakyat.
Konon awal abad ke-19, opium dibawa oleh para pedagang Inggris ke Tiongkok sebagai pengimbang ekspor teh Cina ke Inggris. Di bawah kekuasaan Dinasti Yung Cheng, opium begitu populer karena selain komoditi dagang juga dihisap menggunakan pipa khas dari tanah liat serta diminum dengan arak. Sebenarnya warga dan penduduk memanfaatkan candu untuk pengobatan tradisional, tetapi sebagian menyalahgunakan sekedar mabuk-mabukan.
Zaman Kaisar Ming dan Ching berkuasa, ada kebijakan menutup jalur perniagaan dengan Barat karena anggapan selain mampu memenuhi keperluan rakyatnya sendiri, ia juga tak mau bergantung kepada asing. Sebuah sikap kemandirian yang dahsyat dari Ming, akan tetapi justru inilah embrio konflik. Ya, kebijakan Ming jelas merugikan Inggris, karena hasil produk dan barang-barang Cina semacam sutera, rempah, tembikar serta teh yang dimonopoli Inggris diminati berbagai kalangan di Eropa. Hubungan kedua pihak menegang. Setelah lewat liku-liku perundingan, akhirnya perdagangan dibuka kembali dengan syarat Inggris boleh dagang hanya di Guangzhou (Canton) saja.
Pada masa Kekasiaran Tao Kwang era 1839-an, diambil suatu langkah tegas guna mengatasi kecanduan dan peredarannya di masyarakat. Adalah Komisaris Lin Tse-Hsu diperintah oleh Kaisar guna memusnahkan candu ilegal di Guangzhou. Sepintas tentang Lin adalah pejabat jujur, ahli kaligrafi, filsuf, sekaligus seorang penyair. Ia terkenal karena konsistensi serta komitmen dalam menentang peredaran opium di Tiongkok. Salah satu inti dan substansi statement Lin yang dijadikan acuan dalam Perang Panah ialah “bahwa konsumsi opium selain akan menghabiskan kekayaan negara, juga membuat tak satupun lelaki mampu bertempur di medan perang!”.
Sudah barang tentu tindakan Lin membuat kemarahan Inggris, kemudian meletuslah Perang Cina-Anglo I (1839-1842). Ya, perang selama tiga tahun itu dimenangkan Inggris. Ada 30.000-an rakyat menjadi korban dan memaksa Cina menandatangani Treaty of Nanjing (1842) dan The British Supplementary Treaty of the Bogue (1843). Inti Treaty of Nanjing atau Perjanjian Nanjing ialah kewajiban Cina membayar upeti 21 juta kepada Inggris sebagai ganti rugi peperangan, membuka kembali perniagaan dengan Barat via pelabuhan-pelabuhan Guangzhou, Jinmen, Fuzhou, Ningbo serta Shanghai, dan Inggris meminta Hong Kong menjadi tanah jajahan.
Sebagaimana diurai sekilas tadi, Perang Candu II terjadi antara Inggris, Prancis, dan Cina. Sebagai pemicu ialah pencarian kapal The Arrow milik Inggris oleh Cina secara ilegal di Guangzhou. Hal ini membuat geram Inggris dan kembali mengobarkan perang. Lagi-lagi konflik tersebut dimenangkan oleh Barat dan Guangzhou diduduki oleh pasukan Inggris-Prancis. Apa boleh buat, Cina kembali menandatangai Treaty of Nanjing (1858) dimana Prancis, Rusia dan Amerika telah ikut ambil bagian. Isi perjanjian: Cina membuka sebelas pelabuhan, diizinkan pendirian kedutaan negara luar, melegalkan impor candu dan memberi ruang pada aktivitas misionaris Kristen.  
Dekade 1859-an ---setahun pasca Perjanjian Nanjing--- perang meletus lagi akibat Cina menghalangi masuknya para diplomat asing ke Beijing, sementara dari pihak Inggris ingin memaksakan beberapa pasal baru di perjanjian. Tatkala Inggris dengan bantuan Perancis berhasil menguasai Beijing, ia dipaksa mematuhi kembali pointers dalam Treaty of Nanjing serta beberapa pasal tambahan, salah satunya ialah Taiwan menjadi milik Barat.
Lompatan Jauh ke Depan
Lompatan Jauh ke Depan atau Great Leap Forward adalah sebuah program yang disusun oleh Partai Komunis Cina di Republik Rakyat Cina, yang berlangsung dari tahun 1958 hingga 1960 dengan tujuan membangkitkan ekonomi Cina melalui industrialisasi secara besar-besaran dan memanfaatkan jumlah tenaga kerja murah. Sepanjang tahun 1950-an, Cina telah melakukan program redistribusi tanah bagi penduduk Cina dibarengi dengan industrialisasi di bawah sistem kepemilikan negara. Proses ini dilakukan dengan bantuan teknis dari Uni Soviet.

Masalah timbul ketika pemimpin Soviet pasca-Stalin, yaitu Nikita Khruschev dalam Kongres ke dua puluh Partai Komunis Uni Soviet, mencanangkan langkah untuk "mengejar dan menyusul" Barat, sehingga ekonomi Soviet tidak lagi tertinggal. Oleh Mao Zedong hal ini dirasakan sebagai ancaman, karena kemajuan ekonomi Uni Soviet akan berarti semakin tergantungnya Cina pada kekuatan. Lompatan Jauh ke Depan menjiplak sistem yang telah dilakukan Uni Soviet, sambil memasukkan unsur tradisional Cina. Pelaksanaan program ini dilakukan melalui dua jalur, yaitu pada peningkatan produksi baja sebagai bahan baku, pendirian industri ringan serta konstruksi.

Sejarah Revolusi Kebudayaan
Revolusi Kebudayaan adalah revolusi besar yang terjadi di Cina antara tahun 1966 dan 1969. revolusi Kebudayaan merupakan revolusi di segala bidang untuk mengembalikan Cina kepada ajaran Maoisme yang dirasakan semakin lama semakin luntur karena digerogoti anasir-anasir Barat. Revolusi ini digerakkan oleh Mao Tse Tung sebagai puncak perseteruannya dengan pejabat Presiden Liu Shaoqi dan kelompoknya yang dituduh beraliran kanan, mendukung intelektualisme dan kaapitalisme. Revolusi ini ditandai dengan dibentuknya Pengawal Merah, sebuah unit paramiliter yang mayoritas anggotanya adalah mahasiswa-mahasiswa yang mendukung Mao dan ajaran-ajaranya.
Revolusi Kebudayaan sesungguhnya merupakan reaksi atas kegagalan pelaksanaan kebijakan Lompat Jauh ke Depan, yang dicanangkan Mao Tse Tung pada awal 1958. Setelah kegagalan ekonomi yang dramatis tersebut, Mao mundur dari jabatannya sebagai Presiden Cina. Kongres Rakyat Nasional melantik Liu Shaoqi sebagai pengganti Mao. Mao tetap menjadi Ketua Partai Komunis, namun dilepas dari tugas ekonomi sehari-hari yang dikontrol dengan lebih lunak oleh Liu Shaoqi, Deng Xiaoping dan lainnya yang memulai reformasi keuangan. Liu Shaoqi sebagai Presiden Cina, diberikan tugas untuk melakukan pemulihan dan penyesuaian kembali keadaan perekonomian negara dari krisis besar dan kekacauan parah yang menimpa Cina akibat gerakan Lompat Jauh ke Depan. Liu mendapat tugas menstabilkan lagi perekonomian, setidaknya seperti keadaan Pelita I dijalankan, sehingga upaya untuk mewujudkan pembangunan Cina ke arah yang lebih baik dapat segera dilaksanakan.

Pemerintah menyatakan bahwa sektor pertanian perlu dijadikan basis untuk menggerakan program industrialisasi di masa yang akan datang. Sedangkan sektor industri diarahkan secara umum untuk membantu pembangunan sektor pertanian. Perencanaan disusun atas dasar tahunan, dimana terdapat desentralisasi administrasi perekonomian yang cukup besar pada tingkat propinsi dan lokal. Sementara kegiatan swasta kecil-kecilan sebagai cerminan dari daya kreatifitas anggota masyarakat yang dalam Pelita I telah memperlihatkan perkembangan positif dalam pertumbuhan ekonomi negara akan diperkenankan kembali. Pada masa Pemulihan dan Penyesuaian Kembali (1961-1965) ini, Liu Shaoqi berusaha menanamkan aliran liberalisme dalam perencanaan-perencanaan pembangunan demi perbaikan sistem ekonomi sosialis Cina. Oleh karena itu di daerah pedesaan diberikan kelonggaran terhadap pelaksanaan sistem kolektifitas dan sistem ekonomi tanpa pasar yang autokratis. Gagasan tersebut diperluas dan dikembangkan dengan sistem pertanian dalam skala kecil; penggarapan tanah-tanah milik individu; perdagangan dalm pasar bebas, walaupun dalam skala kecil yang terbatas dan berbeda dengan di negara-negara kapitalis; serta pemberian kesempatan kepada perusahaan-perusahaan kecil yang berbasis pada rumah tangga perseorangan, termasuk dalam hal menanggung untung-rugi. Selain itu, Liu juga mempropagandakan kebebasan untuk menerapkan sistem kredit bunga, mempekerjakan kaum buruh, menjual tanah dan menyelenggarakan perusahaan perseorangan.

Menurut Mao, pendirian ideoloi dan prestasi politik rakyat harus diperbaiki, untuk mecegah matinya semangat revolusioner dan hidup kembalinya kapitalisme akibat diadakanya Program Pemulihan dan Penyesuaian Kembali ekonomi Cina pasca Lompat Jauh ke Depan. Perbaikan ini juga perlu megingat semakin besarnya kesangsian massa terhadap kesetiaan kader-kader partai terhadap mereka. Oleh karena itu, bagi Mao organisasi-organisasi tingkat bawah, terutama massa itu sendiri perlu diberikan wewenang untuk mengawasi partai. Mao Tse Tung meresmikan suatu tim Revolusi Kebudayaan dengan Cheng Bo da sebagai ketuanya. Pada awal Agustus 1966 Komite sentral PKC mengadakan sidang untuk merumuskan garis kebijakan dalam mengendalikan Revolusi Kebudayaan. Rumusan tersebut terdiri dari 18 pasal, sebagai berikut:
  1. Revolusi sosialis yang telah mencapai suatu tahapan baru itu telah menegakan Orde Baru yang mengembangkan gagasan dan kebudayaan baru.
  2. Keberanian untuk melangkah maju telah berhasil menumbangkan mereka yang menganut jalan kapitalis.
  3. Keberanian harus dilimpahkan kepada rakyat massa, sehingga dapat membongkar pengkhianatan terhadap pikiran Mao Tse Tung.
  4. Rakyat massa dipersilahkan mendidik diri dalam mengobarkan revolusi Kebudayaan.
  5. ”Poster Berhuruf Besar” supaya dimanfaatkan sebanyak-banyaknya agar dapat diperbaiki kesalahan-kesalahan serta membeberkan pandangan-pandangan yang keliru”
  6. Diserukan agar ditegaskan siapa kawan dan siapa lawan.
  7. Sasaran pokok dari Revolusi Kebudayaan adalah menumbangkan unsur-unsur dalam Partai Komunis yang menganut paham kapitalis.
  8. Metodenya adalah :
    1. mengemukakan fakta-fakta
    2. mengadakan ajakan untuk memperbincangkan fakta-fakta tersebut
    3. menghindari tindakan kekerasan
  9. Mencegah terjadinya tuduhan keliru terhadap rakyat revolusioner.
  10. Mengadakan perbedaan antara :
    1. Yang baik
    2. Yang sedang
    3. Yang berbuat salah, tetapi tidak anti-Partai dan tidak anti-sosialisme
  11. Organisasi yang telah ada supaya dianggap sebagai alat kekuasaan dari Revolusi Kebudayaan.
  12. Sistem dan prinsip-prinsip, dan cara mengajar yang lama harus diganti dengan sistem pengajaran yang mengabdi pada politik proletar, dalam kaitanya dengan kerja produktif.
  13. Kritik dengan menyebut nama, baru dapat dijalankan setelah diperbincangkan oleh Komite Partai setempat, dan setelah mendapat persetujuan dari tingkat atasan.
  14. Kritik terhadap para sarjana dan teknisi yang tidak anti-Partai / anti-Sosialisme dan tidak berhubungan gelap dengan negara asing, harus dijalankan atas dasar ”Persatuan kritik persatuan”.
  15. Sasaran pokoknya adalah; satuan-satuan kultural, pendidikan, dan pemerintah di kota-kota besar dan kota-kota sedang.
  16. Tujuan dari Revolusi Kebudayaan adalah merevolusionerkan ideologi rakyat, dan menambah produksi serta mutunya.
  17. Di lingkungan Angkatan Bersenjata, edukasi sosial dan Revolusi Kebudayaan harus sesuai dengan instruksi dari Komisi.
  18. Pikiran Mao Tse Tung menjadi pedoman dari seluruh kegiatan.

Demikian sekilas tentang rentetan sejarah dari Negara yang sekarang cukup diperhitungkan dalam kancah Dunia Internasional. Semoga kita bisa mengambil suatu pelajaran dari materi ini. Harapannya pelajaran yang kita peroleh dapat menjadikan salah satu pertimbangan kita dalam menentukan langkah dan mengambil kebijakan ketika kita berhubungan dengan Negara lain. Sekian dan terima kasih.

Review- The Modern State and Its Origins dalam An Introduction to International Relations: Australian Perspective

9:19 AM 0 Comments A+ a-

Pendahuluan
Negara merupakan salah satu aktor(pelaku) dalam sistem politik dan Hubungan Internasional. Suatu negara berhubungan dengan negara yang lain baik dalam hal kerjasama maupun permusuhan. Beberapa negara juga membentuk suatu perserikatan atau Organisasi Internasional tertentu dalam rangka mewujudkan kepentingan bersama, misalkan kerjasama dalam bidang ekonomi, politik, sosial, budaya, militer, dan pendidikan.

Sebagian negara telah ada mulai abad pertengahan, dan ada pula yang mulai lahir pada masa dekolonisasi di Asia dan Afrika. Hal ini bisa dilihat dari daftar negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa(PBB), ketika tahun 1945 ada 51 negara yang tergabung. Akan tetapi, menurut data statistik 1983, sejak masa dekolonisasi jumlahnya meningkat menjadi 157 negara.

Apakah Negara itu?
“The state is a human society that (succesfully) claims the monopoli of the legitimate use of physical force within a given territory”.

Dalam pendapat Max Weber tersebut, bisa diambil pengertian bahwa negara adalah suatu masyarakat yang mempunyai monopoli dalam penggunaan kekerasan fisik secara sah (legitimasi) dalam suatu wilayah tertentu yang mempunyai batasan.

Negara di dunia mempunyai bentuk yang bermacam-macam, ada negara-kota, kerajaan, negara feodal, dan negara berdaulat atau negara-bangsa (negara modern). Masing-masing negara juga mempunyai ideologi yang berbeda, ideologi tersebut merupakan hasil dari political experience negara itu sendiri. Jadi setiap negara akan mempunyai karakter dan ciri khas dalam ideologinya.

Asal-mula Negara ModernSebelum muncul negara modern, pada abad pertengahan(800-1200 M) telah muncul berbagai negara feodal. Salah satu ciri dari negara pada abad pertengahan adalah masih adanya kekuasaan yang tinggi dari raja, perlemen, maupun pemuka agama(Paus). Negara pada masa ini identik dengan kerusakan dikarenakan adanya perebutan kekuasaan atau perang saudara.

Pada abad ke-19 muncul gerakan nasionalis di Eropa. Bersamaan dengan itu, muncul pula konsep tentang kedaulatan yang selanjutnya berkembang beberapa negara modern di Eropa. Kemunculan konsep kedaulatan negara ini menjadikan Eropa sebagai kiblat dalam kekuasaan, otoritas, dan loyalitas.

Konsep Negara Berdaulat
Negara berdaulat muncul sejak Prancis dikuasai oleh pemuka agama. Pada masa tersebut kekuasaan masing simpang-siur, kekuasaan raja sebagai kepala kepemerintahan tidak absolut karena masih bisa dicampuri oleh kekuasaan seorang pemuka agama(paus). Sehingga terjadi kebingungan, pihak manakah yang sebetulnya mempunyai kekuasaan tertinggi dan absolut. Kemudian muncul pemikiran tentang konsep negara absolut.

Menurut Bodin, kekuasaan dan otoritas seharusnya dikonsentrasikan terhadap pengambilan keputusan oleh raja, kerena masyarakat bisa tertib dengan adanya kekuasaan absolut dan kesetiaan. Raja mempunyai kekuasaan penuh tanpa adanya pihak manapun yang dapat memaksanya. Hubungan antara raja dan masyarakat(rakyat) disini saling bergantungan, dimana raja memutuskan kebijakan dan mengawasi pelaksanaan kebijakan, sedangkan rakyat sebagai pemberi masukan terhadap raja.

Perang dan Pembangunan Negara?
Politik dan militer merupakan organ penting dalam pembangunan sebuah negara. Politik mengatur bagaimana cara mengurus sistem sebuah negara baik dalam negeri maupun hubungan dengan negara lain, sedangkan militer mempertahankan kedaulatan sebuah negara agar tidak ada intervensi maupun ikut campur negara lain.

Karena hukum di Eropa tidak mempunyai kekuatan yang mampu menjaga keamanan maka perang pun tidak bisa dihindarkan. Antara tahun 1559(tahun terjadinya Perjanjian Augsburg) sampai 1648(tahun terjadinya Perjanjian Damai Westphalia) tercatat ada 112 perang di Eropa. Negara sebagai pelaku perang harus menanggung biaya yang sangat besar. Kas keuangan negara di Eropa mengalami krisis. Akhirnya pada abad ke-16 negara memberlakukan wajib pajak untuk menghidupkan lagi kas negara yang hampir habis tersebut.

Kemanakah Arah Negara Berdaulat?
Dalam masa globalisasi ini, batas-batas negara seakan-akan telah hilang. Semua negara mau tidak mau harus selalu berhubungan dengan negara lain. Baik negara modern maupun negara berdaulat yang notabene mempunyai kekuasaan penuh dalam mengatur negaranya sendiri pun harus mengikuti arus globalisasi.

Semua negara di dunia dalam membuat kebijakan baik politik, ekonomi, sosial, dan pertahanan harus mempertimbangkan cuaca politik di dunia. Sebaliknya, kebijakan setiap negara juga mempengaruhi sistem internasional. Bahkan Spruyt dan Thomson menyatakan bahwa prinsip kedaulatan itu mengubah sistem internasional.

Kesimpulan
Negara modern adalah negara yang mempunyai sistem pemerintahan yang berdaulat tanpa tekanan maupun campur tangan negara lain dan mempunyai warga negara yang percaya dan setia kepada pemimpinnya.

Menurut saya, dalam masa globalisasi dewasa ini pengertian negara berdaulat masih simpang-siur dan banyak perdebatan. Karena dinamakan negara berdaulat tetapi masih ada pengaruh negara lain dalam pembuatan kebijakan, sedangkan dinamakan negara tidak berdaulat tapi adanya kekuasaan penuh dalam membuat kebijakan dan negara lain tidak bisa memaksanya.
---

Review: Richard Devetak- “The Modern State and Its Origins” dalam Richard Devtak & Anthony Burke, dkk (eds). An Introduction to International Relations: Australian Perspective. 2008. New York: Cambridge University Press. 11 hal.

Referensi
Budiardjo, Miriam. 2010. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Devetak, Richard. 2008. “The Modern State and Its Origins” dalam Richard Devtak & Anthony Burke, dkk (eds). An Introduction to International Relations: Australian Perspective. New York: Cambridge University Press.
Sitepu, P. Anthonius. 2011. Studi Hubungan Internasional. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Review- “Realism” dalam International Relations Theory: A Critical Introduction (2nd)

9:17 AM 0 Comments A+ a-

Pendahuluan
Realisme merupakan suatu perspektif (sudut pandang). Sebelum kita mempelajari lebih jauh tentang Realisme, sebaiknya kita memahami dulu apa yang dimaksud dengan perspektif. Perspektif merupakan sudut pandang pihak tertentu dalam melihat suatu masalah atau persoalan tertentu. Perspektif tidak mengenal benar atau salah. Karena masing-masing pihak mempunyai cara tersendiri dalam melihat persoalan maka hasil informasi dan hasil yang diperoleh juga berbeda. Perspektif ini bisa dianalogikan sebagai penglihatan dengan memakai kaca mata tertentu. Jika kita menggunakan kaca mata berwarna merah, maka benda yang kita lihat pun akan menjadi merah semua, jika memakai yang berwarna biru  maka seakan-akan menjadi biru semua.

“Realism is accepting the way things really are in life.”

Jika kita merujuk pada arti realisme secara harfiah, maka kita dapat memahami realisme sebagai pemikiran yang memandang sesuatu secara transparan, apa adanya dan sesuai kenyataan. Pemikir yang menganut realisme berpendapat bahwa pada sejatinya manusia itu egois dan mau menang sendiri. Istilah homo homini lupus juga mereka jadikan dasar pandangan. Setiap manusia akan selalu berusaha melakukan sesuatu untuk kepentingan diri mereka sendiri dan sering mengabaikan orang lain, sehingga potensi terjadinya konflik sangatlah besar. Jika manusia satu dengan manusia yang lain saja menimbulkan konflik, apalagi antar negara yang terdiri dari jutaan manusia?Apakah mungkin dapat hidup berdampingan secara damai?.

Asumsi Dasar di Kaca Mata Realisme?
Realisme memiliki beberapa asumsi dasar. Pertama, dalam Politik Internasional negara-negara yang terikat menjadi anggotanya tidak memiliki kekuatan yang lebih tinggi, padahal di satu sisi negara-negara anggota tersebut adalah negara yang berdaulat. Kalau seperti itu, apa artinya negara tersebut memiliki kedaulatan?. Sampai-sampai Biersteker dan Weber(1996) menyatakan bahwa kedaulatan adalah mitos.

Kedua, Realisme berasumsi bahwa pemerintahan dunia itu tidak ada. Setiap negara berdaulat atas wilayahnya sendiri dan tidak ada kekuatan yang lebih tinggi yang bisa memaksanya. Walaupun negara masuk menjadi anggota organisasi internasional tertentu, misal ASEAN, negara tersebut tetap mempunyai kedaulatan dan ASEAN tidak dapat memaksa ataupun mengintervensinya.

Asumsi ketiga menyimpulkan bahwa politik internasional adalah anarki. Karena tidak adanya pemerintahan dunia yang bisa mengatur suatu negara, maka sama halnya dengan memperbolehkan adanya peperangan.

Antara Realisme dan Neo-Realisme
Realisme dan Neo-realisme setuju bahwa tujuan utama dari negara-negara dalam anarki internasional ini adalah untuk bertahan hidup(survive). Negara melakukan hubungan dengan dunia internasional karena itulah kepentingan mereka. Negara menjalin hubungan dengan maksud membentuk suatu kekuatan yang besar. Jika suatu negara berdiri sendiri dan tidak bergabung dengan negara lain, maka kekuatan negara tersebut akan lemah. Sehingga memungkinkan negara tersebut akan diserang oleh negara lain yang mempunyai kekuatan yang lebih besar.

Realisme dan Neo-Realisme juga berpendapat bahwa tidak ada solusi dari anarki internasional. Suatu pemerintah dunia tidak akan pernah terbentuk karena setiap negara tidak akan secara sukarela menyerahkan kekuasaan mereka kepada pemerintahan dunia.

Letak perbedaan Realisme dan Neo-Realisme adalah tentang konsep anarki internasional. Salah satu tokoh realisme, Morgenthau, berpendapat bahwa pada dasarnya manusia itu cacat. Mungkin pada awalnya manusia tidak jahat, tapi dia akan tercemar oleh lingkungannya yang jahat. Sehingga dalam perilaku politik internasional akan anarkis dan menimbulkan konflik.

Sedangkan Kenneth Waltz dari Neo-Realisme menitikberatkan pada hubungan sosial antar negara daripada sifat manusia. internasional anarki dapat terbentuk karena hubungan sosial antar negara yang kurang baik. Pemikiran ini dapat dianalogikan sebagai berikut. Manusia yang baik dapat berperilaku buruk jika terpengaruh oleh lingkungan yang buruk, tetapi pada selanjutnya manusia yang berperilaku buruk tersebut dapat dihentikan jika mereka berada dalam lingkungan yang baik.


Perang, Kenapa Bisa Terjadi?

Pada tahun 1950, Waltz berpendapat bahwa penyebab perang dapat dilihat dari tiga kategori. Pertama Man, istilah ini merujuk pada sifat dasar(alamiah) manusia yang egois dan ingin menang sendiri. Jika setiap manusia tetap seperti itu, maka perang tidak akan bisa dihindari.

Kedua Negara, seperti yang pernah dikemukakan di awal, sifat manusia dapat dipengaruhi oleh lingkungan Diana mereka berada. Ketiga Perang itu sendiri, jika hubungan antar dua negara sudah panas dan tidak ada upaya untuk menghindari perang, maka perang akan terjadi.

Fungsi Ketakutan dalam Mitos anarki Waltz
Menurut Waltz, ketakutan berfungsi sebagai sarana pemersatu antar negara. Setiap negara berpikiran, jika mereka ingin tetap mempertahankan kehidupannya dan tidak diserang negara lain maka mereka harus bekerja sama dengan negara lain guna membentuk suatu kekuatan yang cukup besar. Setelah terbentuk kekuatan yang besar dan seimbang di dunia, maka perang dapat diminimalisir.  Di sinilah fungsi ketakutan diperlukan.

Kesimpulan
Realisme memiliki pandangan yang sesuai kenyataan dan apa adanya. Pada dasarnya manusia mempunyai potensi untuk bersifat anarki. Antar manusia saja akan terjadi konflik, apalagi antar negara di dunia.

Menurut saya, Konflik ini dapat ditekan dengan adanya organisasi internasional yang membentuk kekuatan yang besar dan menciptakan Balance of Power. Sehingga kemungkinan terjadinya perang akan dapat diminimalisir.
---


Review: Cynthia Weber- “Realism” dalam International Relations Theory: A Critical Introduction (2nd). 2005. New York: Routledge. 21 hal.

Referensi
Kamus Besar Bahasa Indonesia. www.kemendiknas.go.id
Longman Dictionary of American English. www.longman.com/dictionaries
Weber, Cynthia. 2005. “Realism” dalam International Relations Theory: A Critical Introduction (2nd). New York: Routledge.

Review- “Introduction” dalam International Relations Theory: A Critical Introduction (2nd)

9:16 AM 0 Comments A+ a-

Pendahuluan
Dalam mempelajari Ilmu Hubungan Internasional, kita selalu disuguhkan dengan berbagai teori tertentu. Selanjutnya, akan dipelajari pula mata kuliah Teori Hubungan Internasional. Sebetulnya, apa yang dimaksud teori? Apa peranan teori dalam kajian ilmu Hubungan Internasional?.

“Theory is statement intended to explain a fact or event”

Jika kita merujuk dari pengertian dalam kamus, Teori adalah pernyataan yang bermaksud menjelaskan suatu fakta atau kejadian tertentu. Jadi ada keselarasan antara teori dan kenyataan, bukannya saling bertentangan. Pengertian ini diperkuat oleh pendapat Cox, dia menyatakan bahwa teori didasarkan pada kenyataan. Teori juga menjadi acuan dan membentuk kenyataan.

Hubungan Internasional dapat dianggap sebagai sebuah disiplin ilmu tentang ketidaksepakatan teoritis. Teori dalam Hubungan Internasional tidak hanya menyajikan apa yang sedang atau telah terjadi di dunia luar sana, tetapi teori Hubungan Internasional juga berusaha meraba-raba apa yang akan terjadi dikemudian hari. Kami bisa mengambil sedikit benang merah, bahwa teori Hubungan Internasional adalah suatu kumpulan dari berbagai cerita tentang kejadian di Dunia Internasional, terutama Politik Dunia Internasional.

Kita menggunakan teori Hubungan Internasional dalam upaya untuk memahami politik internasional. Sedangkan teori dalam Hubungan Internasional tidaklah sedikit, ada (neo) realisme, (neo) idealisme, materialisme historis, kontruktivisme, globalisasi, (neo) Marxisme, modernisasi, dan teori pembangunan.

Teori dalam Hubungan Internasional bergantung pada mitos Hubungan Internasional. Sehingga kita dapat melihat teori Hubungan Internasional yang sejatinya hanyalah kumpulan cerita masa lampau menjadi sebuah hal yang menarik dan terlihat benar. Mitos adalah suatu kebenaran jelas yang menjadi blok bangunan dari teori Hubungan Internasional. Mitos diperlukan dalam teori Hubungan Internasional agar bisa tampil seakan-akan benar.

Budaya dan Ideologi
Seringkali kita mengatakan bahwa Pancasila, tolong-menolong, gotong-royong, ramah dan sopan santun adalah budaya Indonesia. Batik, rendang dan dangdut adalah hasil budaya di Indonesia. Kita dengan mudah bisa mengidentifikasi tentang budaya, tetapi sulit jika disuruh menjelaskan pengertiannya. Kesulitan ini juga dirasakan oleh Raymond Williams, seorang pelopor dalam bidang kajian budaya dan teori budaya. Raymond menyatakan bahwa culture adalah salah satu dari dua atau tiga kata yang paling rumit dalam bahasa Inggris(1983: 87).

Menurut Stuart Hall, budaya berkaitan dengan produksi dan pertukaran makna (proses memberi makna dan mengambil makna) antar anggota masyarakat atau kelompok tertentu. John Hartley mendefinisikan bahwa budaya adalah suatu produksi sosial dan re-produksi rasa, makna, dan kesadaran(1994:68). Jadi bisa diambil benang merah bahwa budaya adalah penciptaan dan pertukaran rasa, makna, dan kesadaran antar anggota dalam suatu kelompok masyarakat tertentu(bangsa).

Ideologi adalah seperangkat gagasan yang menjelaskan dan mengevaluasi kondisi sosial, membantu memahami posisi mereka dalam masyarakat, dan menyediakan program untuk aksi sosial dan politik(Ball dan Dagger, 1995: 9). Kerena ideologi merupakan gagasan, berarti ideologi merupakan sesuatu yang secara sadar diadakan.

Jadi bisa dibedakan bahwa budaya adalah cara berpikir, cara memaknai, cara merasakan yang tanpa sadar, sedangkan ideologi secara sadar. Keduanya berpengaruh dalam upaya penyampaian teori-teori Hubungan Internasional, karena setiap generasi yang menyampaikan akan memasukkan unsur budaya dan ideologinya dalam teori tersebut.

Apa Fungsi Mitos dalam Hubungan Internasional dan Kenapa Harus Ada Mitos?
Jika teori hubungan Internasional(IR) menceritakan pandangan tertentu tentang dunia dari berbagai perspektif, maka mitos IR-lah yang membantu tampilan dunia tertentu sehingga tampak menjadi kenyataan. Fungsi mitos dalam teori IR adalah mentransformasikan budaya dan ideologi menjadi tampak nyata(fakta). Tanpa mitos, teori akan terlihat tabu dan tidak jelas.

Mitos dalam Hubungan Internasional adalah kebenaran yang jelas, Biasanya dinyatakan sebagai suatu slogan. Seperti slogan yang digembor-gemborkan oleh kalangan Realis bahwa “Anarki Internasional adalah penyebab permisif perang”, atau slogan yang diagung-agungkan kalangan idealis bahwa “suatu saat akan terjadi perdamaian dunia, dimana ada suatu sistem Internasional yang mengatur negara-negara di dunia ini”. Entah mana mitos yang paling benar, biarlah waktu yang menjawab. Kita hanya menggunakan mitos-mitos tersebut dalam rangka memahami teori-teori dalam ilmu Hubungan Internasional.

Kesimpulan
Dalam mempelajari teori Hubungan Internasional kita disuguhkan berbagai cerita-cerita tentang keadaan di dunia ini, baik sekarang atau masa lampau. Dalam memahami suatu cerita, masing-masing kelompok mempunyai pemaknaan tersendiri. Pemaknaan itu berdasarkan budaya dan ideologi mereka. Sehingga cerita yang disampaikan juga akan mengandung makna tertentu yang sesuai dengan budaya dan ideologinya.

Dalam penyampaian suatu cerita juga dibutuhkan kerangka atau dasar pemikiran tertentu yang dapat membuat cerita yang disampaikan seolah-olah nyata adanya dan menarik. Kerangka atau dasar inilah yang dinamakan mitos.

Menurut saya, dalam mempelajari teori Hubungan internasional sangatlah diperlukan suatu mitos tertentu, sehingga pemikiran kita tentang teori tersebut tidak mengambang dan kabur. Dengan mitos kita juga bisa memaknai apa maksud dari cerita yang disampaikan oleh pemikir-pemikir terdahulu.
---


Review: Cynthia Weber- “Introduction” dalam International Relations Theory: A Critical Introduction (2nd). 2005. New York: Routledge. 11 hal.

Referensi
Burchill, Scott & Andrew Linklater. 1996. Theories of International Relations. New York: ST. Martin’s Press.
Longman Dictionary of American English. www.longman.com/dictionaries
Weber, Cynthia. 2005. “Introduction” dalam International Relations Theory: A Critical Introduction (2nd). New York: Routledge.

LUNTURNYA NILAI-NILAI PANCASILA DALAM MASYARAKAT

9:13 AM 8 Comments A+ a-

LUNTURNYA NILAI-NILAI PANCASILA DALAM MASYARAKAT*
Oleh : Beutari Octaviani, dkk.**

ABSTRAK
        Di zaman yang sudah serba modern ini, dimana efek dari suatu proses dari kemajuan kehidupan manusia yang dinamakan “ Globalisasi “ bisa dirasakan diseluruh sendi-sendi kehidupan manusia. Ekonomi, kesehatan, pendidikan, lifestyle, fashion, transportasi, telekomunikasi, dan berita terbaru dari negara yang jauh dari negara tempat kita berada pun bisa dengan sangat mudah diketahui lewat telekomunikasi yang semakin modern dan canggih. Bangsa Indonesia sebagai bangsa yang dikenal masih berkembang atau “ The Third World “ harus bisa melindungi warga negaranya dari ‘ hantaman ‘ globalisasi yang begitu deras, pemerintah pada umumnya dan warga Indonesia itu sendiri pada khususnya harus bisa memilah dan memilih hasil atau segala sesuatu dari globalisasi mana yang bisa diimplementasikan dalam kehidupan tanpa harus merusak nilai-nilai luhur sebagai warga Indonesia. Hal ini penting karena sebagai negara berkembang, Indonesia sudah sepantasnya dan seharusnya mempunyai fondasi dan rangka kenegaraan yang kuat dan mandiri terlebih dahulu, karena apabila Indonesia belum memiliki kedua hal tersebut, maka bukan tidak mungkin Indonesia akan kehilangan jati diri dan ciri-ciri sebagai suatu bangsa yang disebut “ Indonesia “. Ideologi bangsa Indonesia adalah Pancasila, suatu ideologi yang dihasilkan oleh salah satu Founding Father bangsa Indonesia, Sukarno. Pancasila sejatinya memiliki dasar-dasar konsep yang mengatur segala permasalahan baik hukum atau non-hukum, perilaku, sampai hal-hal mendasar baik itu berkaitan dengan kehidupan sesama warga negara atau urusan ketatanegaraan/pemerintahan. Dalam makalah yang kami buat ini, kami menekankan kepada ancaman lunturnya nilai-nilai Pancasila dalam masyarakat saat ini dan sekaligus kami memberikan berbagai contoh atas belum ter-implementasikannya nilai-nilai Pancasila. Perlu juga kami tambahkan bahwa makalah kami ini bersifat Common Paper ( Neutral ), atau dengan kata lain kami tidak memihak kepada siapapun.
Keyword : Pancasila, Ideologi, Globalisasi, Indonesia




PENDAHULUAN
Ancaman dari derasnya arus globalisasi terhadap suatu ideologi suatu bangsa tidak bisa dipandang sebelah mata. Banyaknya informasi yang dengan mudahnya masuk dan diketahui oleh siapapun di dunia ini termasuk Indonesia, secara tidak langsung akan merubah pola pikir masyarakat itu sendiri dalam berbagai aspek kehidupan. Hal ini kami khawatirkan akan menyebabkan masyarakat Indonesia melupakan ‘ siapa dirinya sesungguhnya ’ , yaitu warga negara Indonesia yang berdasarkan kepada Pancasila. Bisa dibayangkan apabila kita sebagai warga negara Indonesia, akan tetapi kita tidak memiliki ciri khusus dan jati diri sebagai orang Indonesia?.
Pancasila sebagai dasar negara dan ciri-ciri negara Indonesia adalah suatu patokan dan acuan bangsa Indonesia dalam menjalankan seluruh aspek kehidupan POLEKSOSBUDHANKAM. Seluruh nilai-nilai yang terkandung dalam setiap butir poin Pancasila, dari sila pertama sampai sila kelima sejatinya adalah suatu nilai luhur yang apabila diimplementasikan kedalam kehidupan POLOKESOSBUDHANKAM akan membawa bangsa Indonesia ini menuju negara yang maju dan sejahtera ( Welfare State ). Sebagai contoh, apabila sila pertama berhasil diimplemantasikan sepenuhnya, dapat dipastikan tidak akan ada lagi sentimisme, diskriminasi, dan pembatasan dalam beragama di Indonesia. Hal ini sesuai dengan bunyi dari sila pertama tersebut yaitu “ Ketuhanan Yang Maha Esa “, sila ini berarti bahwa kita sebagai warga negara harus menghormati setiap agama atau kepercayaan yang ada di Indonesia ini. Tidak membedakan setiap warga negara Indonesia sendiri atau warga negara lain hanya karena berbeda kepercayaan, menghormati agama apapun untuk menjalankan ibadah, dan yang terpenting adalah tidak adanya pemaksaan untuk menganut suatu agama tertentu. Namun, sudahkah semua poin dari Pancasila berhasil diimplementasikan kedalam kehidupan POLEKSOSBUDHANKAM ? atau bahkan nilai-nilai dari Pancasila itu sendiri justru menjadi luntur karena derasnya arus globalisasi  ?.




PEMBAHASAN
Di era globalisasi ini banyak nilai-nilai Pancasila yang begitu penting telah tergeser oleh nilai-nilai dan pola pikir kebaratan yang tidak sesuai dengan budaya Indonesia yang ketimuran. Hal berakibat adanya krisis moral yang terjadi pada bangsa Indonesia di berbagai lapisan masyarakat, mulai dari para elite-elite politik hingga individu-individu. Selain itu hal ini merupakan ancaman bagi bangsa Indonesia untuk menjaga nilai-nilai Pancasila agar tidak tenggelam dengan selalu mengimplementasikan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Tindakan kriminal seperti pengeboman, pemerkosaan, perampokan, pembunuhan, korupsi, kolusi, dan nepotisme sudah menjadi masalah yang sering terjadi. Hal ini terjadi karena manusia telah melupakan hakekatnya sebagai makhluk yang berTuhan, makhluk sosial, dan makhluk pribadi sehingga tidak lagi menjalankan tugas sebagai khalifah di bumi. Sifat dasar manusia yang serakah dan selalu ingin mendapatkan lebih adalah salah satu hal penyebabnya. Selain itu manusia tidak bisa mengendalikan sifat dasarnya yaitu menghalalkan segala cara hingga mengesampingkan bahkan menghilangkan etika dan moral kehidupan serta menyimpang dari norma Pancasila. Dari situlah awal mula masalah tersebut muncul. Kami meyakini bahwa selain faktor-faktor yang bersifat internal seperti yang diatas, ada peran dari faktor-faktor eksternal yang ikut menggeser dan ‘ melunturkan ‘  nilai-nilai Pancasila, sebagai contoh adalah kehadiran internet. Di dalam internet terdapat berbagai macam informasi yang kita butuhkan apabila kita adalah seorang akademisi, akan tetapi di dalam internet pula banyak hal-hal negatif yang apabila kita tidak menjaga diri kita dari pengaruh buruk internet, maka akan terjadi suatu degradasi sosial dan degradasi moral karena kita tidak bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Sehingga pada akhirnya masyarakat luas akan semakin melupakan jati dirinya sebagai warga Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan bukan tidak mungkin apabila kita tidak menjaga diri kita dari ancaman lunturnya nilai-nilai Pancasila di masyarakat, kita akan menjadi negara tanpa ciri-ciri khusus yang menunjukkan kita sebagai seorang warga negara Indonesia.
Bangsa Indonesia bertekad mengimplementasikan Pancasila untuk mewujudkan kesejahteraan umum dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Anak kalimat, memajukan kesejahteraan umum dan mewujudkan keadilan sosial dalam Pembukaan UUD 1945, merupakan amanat bagi bangsa Indonesia dalam membangun perekonomian nasional, guna memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Bangsa Indonesia harus cerdas untuk mengolah sumber daya nasionalnya serta mengakses semua kemajuan dunia agar mampu menciptakan kesejahteraan  umum yang terus berkembang ke arah kemajuan. Usaha menyejahterakan dan mencerdaskan bangsa haruslah dilandasi lima faktor yakni : (1) Bebasnya bangsa Indonesia dari segala bentuk penjajahan, termasuk penjajahan ekonomi. (2) Secara politik dan keamanan nasional, bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia harus dilindungi dari segala bentuk gangguan dan ancaman. (3) Kecerdasan kehidupan bangsa, baik individu maupun masyarakat harus terwujud. (4) Aktivitas bangsa untuk ikut serta menciptakan perdamaian dan ketertiban dunia. (5) Mengimplementasikan konsep, prinsip dan nilai Pancasila, sehingga keadilan sosial dapat terwujud.
1.      Hilangnya manusia yang ber-“ Ketuhanan Yang Maha Esa “
Dalam pemberitaan di berbagai media akhir-akhir ini kita sering dilihatkan dan dihadapkan kepada fakta bahwa banyak terjadi aksi-aksi anarkis yang ditujukan kepada suatu kelompok agama tertentu yang diduga dilakukan oleh suatu Ormas Keagamaan tertentu. Ini adalah adalah satu contoh dan bukti dari belum diimplementasikannya nilai-nilai sila pertama yang menjunjung kebebasan beragama bagi setiap warga Indonesia. Tindakan anarkis yang mengatasnamakan suatu agama tertentu dijadikan tameng untuk melawan aparat hukum dan mengahakimi suatu agama tertentu. Masyarakat Indonesia saat ini yang sudah berlabel modern sepertinya tidak lagi memakai cara pandang dari sisi keagamaan dengan benar. Masyarakat Indonesia saat ini yang sudah dikenal pintar sepertinya sudah tidak lagi memandang sila pertama yaitu “ Ketuhanan Yang Maha Esa “ sebagai salah satu acuan dalam menjalani kehidupan beragama di Indonesia melainkan hanya sebuah hafalan saat di SD.
Nilai-nilai kegamaan yang bersumber langsung dari Tuhan sejatinya adalah suatu kebenaran yang harus ditaati oleh setiap orang yang beragama dan dijadikan suatu ‘ batas ‘ dan ‘ pengingat ‘ saat melakukan suatu tindakan agar tidak melenceng dari norma dan nilai kebenaran.
Namun fakta yang sering dihadapkan kepada kita banyak yang memperlihatkan betapa rusaknya moral masyarakat Indonesia saat ini. Bahkan lunturnya nilai-nilai dari sila pertama ini sudah sampai kepada urusan pemerintahan dan ketatanegaraan. Aksi-aksi KKN ( Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme ) sepertinya sudah mendarah daging dan menjadi hal yang lumrah bagi para elite-elite politik, baik ditingkat terendah seperti desa hingga ke tingkat yang paling tinggi seperti jajaran wakil rakyat ( DPR ) dan pejabat-pejabat negeri. Hal ini tentu saja tidak akan terjadi apabila para pelaku KKN tersebut memiliki kesadaran dan modal yang berlandaskan kepada nilai-nilai keagamaan dan keimanan yang terkandung dalam sila pertama. Sebagai perbandingan, kita bisa melihat saat di era Orde Baru dimana pada saat itu masyarakat Indonesia bisa dengan tenang beragama selama apa yang mereka lakukan tidak mengganggu kenyamanan umum. Selain itu saat penentuan Hilal sebagai acuan umat Islam dalam menentukan Hari Raya Idul Fitri, tidak banyak perdebatan dan pertentangan antara kelompok Islam tertentu ( NU, Muhammadiyah dll ), hal ini membuktikan bahwa hari demi hari sejak Orde Baru hingga pasca Reformasi sekarang, nilai-nilai dari Pancasila semakin ditinggalkan.
Lunturnya nilai-nilai yang terkandung dalam sila pertama ini diperparah dengan adanya globalisasi yang hari demi hari semakin tidak ter-filter antara yang baik dan buruk. Misalnya saja, makin banyaknya tontonan di televisi yang mengajarkan kita kepada suatu sifat Hedonisme yang suka berfoya-foya dan berhura-hura, makin banyaknya tayangan televisi yang mengumbar bagian tubuh wanita dengan bebasnya, makin banyaknya acara televisi yang mengajarkan kita kepada suatu pola hidup yang sangat tidak sesuai dengan kepribadian Indonesia. Baik secara langsung atau tidak langsung, efek buruk yang dihasilkan dari contoh tersebut akan memengaruhi pola pikir masyarakat Indonesia agar berperilaku seperti apa yang ada di televisi tersebut. Efek buruk dari contoh diatas terbukti dengan meningkatnya aksi seks bebas yang dilakukan oleh para remaja dengan rentangan umur 15-23 tahun, meningkatnya pemakai Narkoba di Indonesia yang didominasi oleh para remaja, dan meningkatnya aksi-aksi kriminalitas yang disebabkan pelaku merasa terprovokasi oleh apa yang ia lihat di televisi.
Kemajuan teknologi sejatinya bisa memberikan kemudahan dan peningkatan mutu kehidupan siapapun yang menggunakan kemajuan teknologi tersebut, akan tetapi kemajuan teknologi ini pula yang bisa membawa manusia pada umumnya dan masyarakat Indonesia pada khususnya lupa akan jati dirinya yang harus berpegang teguh atas nilai-nilai sila pertama, yaitu sebagai mahluk yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa.
2.      Langkanya “ Kemanusiaan yang adil dan beradab “
Nilai-nilai yang terkandung dalam sila kedua ini kami jabarkan sebagai berikut :
a.       Mengakui persamaan derajat, persamaan hak, dan persamaan kewajiban antara sesama manusia.Saling mencintai sesama manusia.
b.      Mengembangkan sikap tenggang rasa.
c.       Tidak semena-mena terhadap orang lain.
d.       Menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dan Hak Asasi Manusia.
e.       Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan.
f.       Menjaga sifat dan sikap Gotong Royong.
Nilai-nilai diatas apabila bisa dijalankan dan diimplementasikan sepenuhnya didalam kehidupan bermasyarakat kami yakin Indonesia akan menjadi sebuah bangsa yang memiliki tingkat kemiskinan rendah, sifat keramah-tamahan yang mendunia, sekaligus menjadi sebuah bangsa yang unik dimata dunia karena keadilan dan keberadabannya dalam kehidupan masyarakatnya tetap terjaga. Namun masih ingatkah pembaca dengan kejadian seorang nenek tua yang karena tekanan ekonomi yang dialaminya terpaksa memungut dua buah kakao yang ditemukannya di jalan lantas nenek tersebut dituntut dijatuhi hukuman di persidangan ? Atau ingatkah pembaca tentang kejadian memalukan yang diperlihatkan oleh para elite politik yang menamai dirinya sebagai “ Dewan Perwakilan Rakyat “ saat berlangsungnya Sidang Paripurna terlibat aksi baku-hantam antar sesama anggota dewan lainnya? Dan ingatkah pembaca dengan tingkah salah satu anggota dewan saat acara Rapat Paripurna justru membuka situs porno? Semua contoh ini adalah bukti dari bergesernya nilai-nilai dari sila kedua.
Kemanusiaan yang adil dan beradab semakin jauh dari kata terwujud apabila kita melihat fakta-fakta yang terjadi di masyarakat. Dari sisi hukum kita dihadapkan kepada ketidak adilan hukum yang berlaku di Indonesia yang seperti ‘ Pisau ‘ tajam kebawah, akan tetapi tumpul keatas. Hal ini terbukti dengan banyaknya para pelaku korupsi yang merampok milyaran bahkan trilyunan uang rakyat yang hanya dihukum kurang dari lima tahun penjara. Sebagai contoh adalah Anggodo Widjojo yang terbukti merekayasa kriminaslisasi dua anggota KPK masih bisa bebas seakan tidak terjerat oleh hukum. Tentu saja ini sangat berlawanan dengan kisah seorang nenek yang bernama Minah yang secara terpaksa memungut dua buah kakao seharga Rp. 2100 yang ditemukannya dijalan untuk dimakan oleh dirinya yang saat itu kelaparan, akan tetapi ia harus menjalani hukuman penjara selama 1.5 tahun dengan masa percobaan selama 3 bulan. Selain itu masih ingatkah pembaca dengan kejadian memalukan yang terjadi saat sidang Paripurna terkait masalah Bank Century beberapa anggota dewan yang terhormat terlibat aksi baku hantam? Hal ini salah satu bukti bahwa keberadaban yang terdapat di sila kedua belum sepenuhnya terlaksana.
3.      Retaknya “ Persatuan Indonesia “
Indonesia adalah negara kepulauan dengan jajaran pulau-pulaunya yang berjumlah lebih dari 17.560 pulau. Para Founding Father kita dengan susah payah berusaha untuk mempersatukan seluruh kepulauan bekas jajahan untuk bersatu menjadi suatu negara yang disebut Indonesia. Kita sebagai generasi penerus haruslah bisa menjaga harta warisan dari generasi sebelumnya dengan sebaik mungkin. Selain itu, hal ini sudah tentu menjadi tugas wajib pemerintah untuk memerhatikan kesejahterahan rakyatnya dimanapun mereka tinggal. Namun, sudahkah hal ini dilakukan oleh pemerintah? Kita bisa melihat bahwa di Pulau Jawa kemajuan teknologi, transportasi, telekomunikasi, akses pendidikan dan kesehatan sudah sangat maju dan mudah didapatkan, hal ini sangat kontradiksi dengan keadaan yang terjadi di pulau-pulau yang jauh dari Ibukota Jakarta, misalnya saja pulau Papua. Papua adalah pulau yang  memiliki berbagai kekayaan alam yang melimpah, akan tetapi pemerintah seakan menutup mata terhadap kondisi yang dihadapi oleh masyarakat lokal Papua. Pemerintah justru cenderung memanfaatkan situasi sulit yang dihadapi oleh masyarakat Papua untuk menjual berbagai macam aset milik masyarakat Papua seperti tambang emas kepada PT. Freeport. Hal ini bisa saja menjadi salah satu alasan dari retaknya “ Persatuan Indonesia “ karena masyarakat lokal merasa di “ anak tirikan “ oleh pemerintah. Sebagai contoh, di Papua terdapat organisasi separatisme bernama OPM ( Organisasi Papua Merdeka ), di Maluku terdapat organisasi separatisme bernama RMS ( Republik Maluku Serikat ), dan sebagai pengingat di Aceh ada GAM ( Gerakan Aceh Merdeka ), akan tetapi antara pihak GAM dan pemerintah sudah setuju untuk berdamai berdasarkan hasil konferensi di Den Haag Belanda. Dengan adanya gerakan separatisme dari beberbagai daerah seperti contoh diatas, hal ini menandakan bahwa adanya rasa kekecewaan dari masyarakat yang merasa “ dilupakan “ oleh pemerintah dalam segi kehidupan seperti ekonomi, kesehatan, pendidikan, dan berbagai macam sarana penunjang kemajuan daerahnya. Kekecewaan masyarakat ini ditunjukkan dengan aksi-aksi pengibaran bendera dari organisasi separatisme mereka sebagai penanda bahwa mereka ingin melepaskan diri dari Republik Indonesia, inilah salah satu bukti dari Retaknya “ Persatuan Indonesia “
Selain itu, kami memberikan contoh dari sisi yang berbeda atas lunturnya nilai-nilai sila ketiga. Misalnya saja dari sisi sesama individu dalam hal olahraga, kita sering mendengar terjadinya kerusuhan antar suporter yang terjadi seusai tim kesayangannya berlaga, hal ini menandakan bahwa mereka tidak memilik rasa persatuan sebagai sesama warga negara Indonesia dan tidak memiliki semangat untuk memajukan persepakbolaan di Indonesia. Dalam hal ini kami mempercayai bahwa ada pengaruh negastif yang secara tidak langsung diberikan dari para politic figure yang mengurusi PSSI. Para pecinta sepak bola tanah air baik secara langsung atau tidak langsung terpengaruh dari situasi politik yang memanas didalam tubuh PSSI, dan hal ini berujung dengan dibuatnya dua laga kompetisi yang berbeda dibawah PSSI yaitu , ISL ( Indonesia Super League ) dengan IPL ( Indonesia Premier League ).
Pada dasarnya perbedaan makna dari persatuan dan kesatuan adalah, persatuan adalah konsep awal yang dibuat oleh para Founding Father sebelum Indonesia merdeka, dengan asumsi bahwa semua ras, agama, etnis, suku bangsa, dan bahasa yang terdapat di Indonesia harus bisa bersatu dahulu sebelum menjadi sebuah kesatuan. Sedangkan makna dari kesatuan adalah, seluruh perbedaan primordial yang ada di Indonesia sudah bersatu dan melebur menjadi satu jati diri dan menjadi satu bangsa dan negara yaitu Indonesia tanpa harus menghilangkan ciri khas dari masing-masing kriteria primordial tersebut.
Pemerintah tidak bisa menutup mata lagi terhadap kondisi rakyatnya yang berada di pulau-pulau terluar dari batas wilayah Indonesia dan daerah-daerah perbatasan, karena mereka pada dasarnya mengakui bahwa mereka adalah warga negara Indonesia yang rela berkorban hidup dalam segala keterbatasan yang ada, dan selalu setia untuk mengibarkan bendera merah putih di daerahnya. Apakah pemerintah masih bisa untuk mengutamakan pembangunan di daerah perkotaan? Apakah pemerintah masih bisa untuk mengutamakan jaminan kesehatan, pendidikan, transportasi hanya untuk daerah perkotaan? Sedangkan di satu sisi, banyak warga negaranya yang dengan setia, rela berkorban, dan tanpa pamrih bersedia untuk hidup dibawah garis kemiskinan sekaligus mengakui bahwa mereka adalah warga negara Indonesia. Apabila pemerintah masih bersikap acuh tak acuh, maka bukan tidak mungkin dalam 30-40 tahun kemudian akan banyak organisasi-organisasi separatisme akan bermunculan di berbagai daerah dengan tujuan yang sama yaitu untuk melepaskan diri dari Republik Indonesia.
4.      Tidak adanya “ Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan “
Pemimpin yang amanah, adil, bertanggung jawab, dan bijaksana adalah sosok ideal dari seorang pemimpin suatu bangsa. Pemimpin dengan kriteria semacam ini peluang keberhasilannya dalam memimpin suatu organisasi atau negara akan lebih besar, terlebih apabila pemimpin semacam ini mengedepankan kepentingan bersama daripada kepentingan pribadi. Indonesia yang sejak merdeka pada tahun 1945 sudah mengalami pergantian presiden sebanyak enam kali dimana presiden terakhir adalah Susilo Bambang Yudhoyono sudah menjadi presiden dalam dua periode kepresidenan. Namun sudahkah rakyat Indonesia saat ini benar-benar dipimpin oleh hikmat kebijaksaan dalam permusyawaratan dan perwakilan ? .
            Apabila kita melihat dari fakta dan kenyataan yang ada di masyarakat, mungkin Indonesia bisa dikatakan masih belum sepenuhnya menerapkan nilai-nilai yang terkandung dalam sila keempat. Hal ini bisa dilihat dari hasil-hasil sidang, rapat, atau berbagai pertemuan para elite politik dimana kebanyakan tidak menghasilkan sesuatu hal yang secara konkrit memihak rakyat. Sebagai contoh, masih ingatkah pembaca dengan kelakuan para petinggi elite politik saat isu kenaikan harga bahan bakar di awal bulan April kemarin ? Dalam sidang tersebut terlihat jelas bahwa para elite politik tidak sepenuhnya memihak kepada rakyat dan terkesan ragu-ragu dalam mengambil keputusan yang berani dan memihak kepada rakyat. Perlu kami tambahkan bahwa para wakil rakyat sekarang cenderung lebih mengutamakan kepentingan pribadinya dibandingkan dengan kepentingan rakyat, dengan asumsi bahwa kesempatan untuk memperkaya diri sendiri selama menjabat menjadi anggota dewan atau wakil rakyat tidak datang dua kali. Tentu hal ini bisa dikatakan adalah suatu tindakan yang menciderai hati rakyat dan menodai nilai-nilai Pancasila. Para pemimpin sekarang lebih menyukai untuk memaksakan kehendak daripada bersikap sabar dalam mengambil keputusan demi kepentingan rakyat Indonesia. Hal ini diperparah dengan metode yang dipakai para anggota Dewan Perwakilan Rakyat dalam menentukan suatu keputusan, mereka lebih menyukai cara pengambilan keputusan dengan Voting. Voting adalah cara menentukan keputusan yang paling buruk, karena voting tidak mengedepankan pemikiran rasional melainkan tergantung dari jumlah suara terbanyak. Kami berpendapat bahwa seharusnya apabila kita menelaah lebih dalam dari nilai Pancasila khususnya sila keempat, Indonesia memiliki suatu cara khusus dalam menyatukan suara dan memutuskan suatu permasalahan yaitu dengan cara Musyawarah. Hasil musyawarah tidak akan tercapai apabila belum tercapainya kesepakatan bersama, dengan metode ini maka tidak akan ada perasaan dari masing-masing anggota yang merasa tersakiti saat hasil musyawarah ditetapkan.
Pancasila sebagai dasar negara dan landasan idiil bangsa Indonesia, dewasa ini pada zaman reformasi saat ini pengimplementasian pancasila sangat dibutuhkan oleh masyarakat, karena di dalam pancasila terkandung nilai-nilai luhur bangsa Indonesia yang sesuai dengan kepribadian bangsa. Selain itu, pada era globalisasi ini begitu cepat mempengaruhi negara-negara di seluruh dunia termasuk Indonesia. Gelombang demokratisasi, hak asasi manusia, neo-liberalisme, serta neo-konservatisme dan globalisme bahkan telah memasuki cara pandang dan cara berfikir masyarakat Indonesia. Hal demikian bisa melunturkan Pancasila dan dapat menghadirkan sistem nilai dan idealisme baru yang bertentangan dengan kepribadian bangsa.
Pancasila, dalam fungsinya sebagai dasar negara, merupakan sumber kaidah hukum yang mengatur negara Republik Indonesia, termasuk di dalamnya seluruh unsur-unsurnya yakni pemerintah, wilayah dan rakyat. Pancasila sebagai dasar negara mempunyai arti menjadikan Pancasila sebagai dasar untuk mengatur penyelenggaraan pemerintahan. Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum.
Hal ini menempatkan Pancasila sebagai dasar negara yang berarti melaksanakan nilai-nilai Pancasila dalam semua peraturan perundang-undangan yang berlaku. Oleh karena itu, sudah seharusnya semua peraturan perundang-undangan di negara Republik  Indonesia bersumber pada Pancasila. Pancasila sebagai dasar negara Republik  Indonesia mempunyai implikasi bahwa Pancasila terikat oleh suatu kekuatan secara hukum, terikat oleh struktur kekuasaan secara formal, dan meliputi suasana kebatinan atau cita-cita hukum yang menguasai dasar negara (Suhadi, 1998).
5.      Mimpi Indonesia tentang “ Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia “
Kondisi Indonesia saat ini masih jauh dari kata sejahtera, hal ini bisa dilihat dari berbagai macam indikator, misalnya dengan melihat masih banyaknya rakyat miskin diberbagai daerah diseluruh Indonesia. Tingkat kemiskinan di Indonesia sangat tinggi, data terakhir yang dikeluarkan pemerintah pada tahun 2011 menunjukkan angka sebesar 17.7 juta orang masih hidup dibawah garus kemiskinan Indonesia. Selain itu dari bidang kesehatan pun masyarakat miskin di Indonesia seperti melihat jarak atau gap yang jauh antara mereka dengan masyarakat yang mampu. Jaminan kesehatan yang seharusnya berhak dimiliki oleh semua rakyat Indonesia pada kenyataannya tidak berjalan dengan semestinya. Selain itu dari sisi pendidikan, mayoritas mereka yang mengenyam pendidikan dengan fasilitas baik infrastruktur dan intrastruktur yang layak adalah mereka yang mampu dalam segi ekonomi atau dengan kata lain hidup diatas garis kemiskinan di Indonesia. Hal ini tentu saja tidak sesuai dengan bunyi dari sila kelima yang berbunyi “ keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia “. Jika kita melihat dari sudut pandang antar daerah pun, kita akan dihadapkan pada kenyataan atas ketimpangan dalam hal pembangunan yang terjadi. Daerah kota seperti lebih diistimewakan oleh pemerintah dalam hal pembangunan, sedangkan daerah-daerah yang jauh dari keramaian kota seakan-akan dilupakan dan pemerintah bagai menutup mata. Ketimpangan sosial di tingkat antar daerah banyak terjadi, hal ini terlihat jelas dari perkembangan ekonomi di daerah tersebut.
6.      Faktor dan penyebab lunturnya nilai-nilai Pancasila
Pertama, longgarnya pegangan terhadap agama . Sudah menjadi tragedi dari dunia maju, dimana segala sesuatu hampir dapat dicapai dengan ilmu pengetahuan, sehingga keyakinan beragam mulai terdesak, kepercayaan kepada Tuhan hanya sebagai simbol, larangan-larangan dan perintah-perintah Tuhan tidak diindahkan lagi. Dengan longgarnya pegangan seseorang peda ajaran agama, maka hilanglah kekuatan pengontrol yang ada didalam dirinya. Dengan demikian satu-satunya alat pengawas dan pengatur moral yang dimilikinya adalah masyarakat dengan hukum dan peraturanya. Namun pada umumnya pengawasan masyarakat itu tidak sekuat pengawasan dari dalam diri sendiri. Karena pengawasan masyarakat itu datang dari luar, jika orang luar tidak tahu, atau tidak ada orang yang disangka akan mengetahuinya, maka dengan senang hati orang itu akan berani melanggar peraturan-peraturan dan hukum-hukum sosial itu. Sedangkan apabila dalam masyarakat itu banyak ornag yang melakukuan pelanggaran moral, dengan sendirinya orang yang kurang iman tadi tidak akan mudah pula meniru melakukan pelanggaran-pelanggaran yang sama. Tetapi jika setiap orang teguh keyakinannya kepada Tuhan serta menjalankan agama dengan sungguh-sungguh, tidak perlu lagi adanya pengawasan yang ketat, karena setiap orang sudah dapat menjaga dirinya sendiri, tidak mau melanggar hukum-hukum dan ketentuan-ketentuan Tuhan. Sebaliknya dengan semakin jauhnya masyarakat dari agama, semakin sudah memelihara moral orang dalam masyarakat itu, dan semakin kacaulah suasana, karena semakin banyak pelanggaran-pelanggaran, hak, hukum dan nilai moral.
Kedua, kurang efektifnya pembinaan moral yang dilakukan oleh rumah tangga, sekolah maupun masyarakat. Pembinaan moral yang dilakukan oleh ketiga institusi ini tidak berjalan menurut semsetinya atau yang sebiasanya. Pembinaan moral dirumah tangga misalnya harus dilakukan dari sejak anak masih kecil, sesuai dengan kemampuan dan umurnya. Karena setiap anak lahir, belum mengerti mana yang benar dan mana yang salah, dan belum tahu batas-batas dan ketentuan moral yang tidak berlaku dalam lingkungannya. Tanpa dibiasakan menanamkan sikap yang dianggap baik untuk manumbuhkan moral, anak-anak akan dibesarkan tanpa mengenal moral itu. Pembinaan moral pada anak dirumah tangga bukan dengan cara menyuruh anak menghapalkan rumusan tentang baik dan buruk, melainkan harus dibiasakan. Zakiah Darajat mangatakan, moral bukanlah suatu pelajaran yang dapat dicapai dengan mempelajari saja, tanpa membiasakan hidup bermoral dari sejak keci. Moral itu tumbuh dari tindakan kepada pengertian dan tidak sebaliknya. Seperti halnya rumah tangga, sekolahpun dapat mengambil peranan yang penting dalam pembinaan moral anak didik. Hendaknya dapat diusahakan agar sekolah menjadi lapangan baik bagi pertumbuhan dan perkembangan mental dan moral anak didik. Di samping tempat pemberian pengetahuan, pengembangan bakat dan kecerdasan. Dengan kata lain, supaya sekolah merupakan lapangan sosial bagi anak-anak, dimana pertumbuhan mental, moral dan sosial serta segala aspek kepribadian berjalan dengan baik. Untuk menumbuhkan sikap moral yang demikian itu, pendidikan agama diabaikan di sekolah, maka didikan agama yang diterima dirumah tidak akan berkembang, bahkan mungkin terhalang. Selanjutnya masyarakat juga harus mengambil peranan dalam pembinaan moral. Masyarakat yang lebih rusak moralnya perlu segera diperbaiki dan dimulai dari diri sendiri, keluarga dan orang-orang terdekat dengan kita. Karena kerusakan masyarakat itu sangat besar pengaruhnya dalam pembinaan moral anak-anak. Terjadinya kerusakan moral dikalangan pelajar dan generasi muda sebagaimana disebutakan diatas, karena tidak efektifnnya keluarga, sekolah dan masyarakat dalam pembinaan moral. Bahkan ketiga lembaga tersebut satu dan lainnya saling bertolak belakang, tidak seirama, dan tidak kondusif bagi pembinaan moral.
Ketiga, semua penyebab lunturnya nilai Pancasilan pada dasarnya karena  budaya materialistis, hedonistis dan sekularistis. Sekarang ini sering kita dengar dari radio atau bacaan dari surat kabar tentang anak-anak sekolah menengah yang ditemukan oleh gurunya atau polisi mengantongi obat-obat, gambar-gambar porno, alat-alat kotrasepsi seperti kondom dan benda-banda tajam. Semua alat-alat tersebut biasanya digunakan untuk hal-hal yang dapat merusak moral. Namun gajala penyimpangan tersebut terjadi karena pola hidup yang semata-mata mengejar kepuasan materi, kesenangan hawa nafsu dan tidak mengindahkan nilai-nilai agama. Timbulnya sikap tersebut tidak bisa dilepaskan dari derasnya arus budaya matrealistis, hedonistis dan sekularistis yang disalurkan melalui tulisan-tulisan, bacaan-bacaan, lukisan-lukisan, siaran-siaran, pertunjukan-pertunjukan dan sebagainya. Penyaluran arus budaya yang demikian itu didukung oleh para penyandang modal yang semata-mata mengeruk keuntungan material dan memanfaatkan kecenderungan para remaja, tanpa memperhatikan dampaknya bagi kerusakan moral. Derasnya arus budaya yang demikian diduga termasuk faktor yang paling besar andilnya dalam menghancurkan moral para remaja dan generasi muda umumnya.
Keempat, belum adanya kemauan yang sungguh-sungguh dari pemerintah. Pemerintah yang diketahui memiliki kekuasaan ( power ), uang, teknologi, sumber daya manusia dan sebagainya tampaknya belum menunjukan kemauan yang sungguh-sunguh untuk melakuka pembinaan moral bangsa. Hal yang demikian semaikin diperparah lagi oleh adanya ulah sebagian elit penguasa yang semata-mata mengejar kedudukan, peluang, kekayaan dan sebagainya dengan cara-cara tidak mendidik, seperti korupsi, kolusi dan nepotisme yang hingga kini belum adanya tanda-tanda untuk hilang. Mereka asik memperebutkan kekuasaan, mareri dan sebagainya dengan cara-cara tidak terpuji itu, dengan tidak memperhitungkan dampaknya bagi kerusakan moral bangsa. Bangsa jadi ikut-ikutan, tidak mau mendengarkan lagi apa yang disarankan dan dianjurkan pemerintah, karena secara moral mereka sudah kehiangan daya efektifitasnya. Sikap sebagian elit penguasa yang demikian itu semakin memperparah moral bangsa, dan sudah waktunya dihentikan. Kekuasaan, uang, teknologi dan sumber daya yang dimiliki pemerintah seharusnya digunakan untuk merumuskan konsep pembinaan moral bangsa dan aplikasinya secara bersungguh-sungguh dan berkesinambungan.
Kelima, situasi dan lingkungan kehidupan bangsa yang telah berubah baik di tingkat domestik,regional maupun global. Situasi dan lingkungan kehidupan bangsa pada tahun 1945-66 tahun yang lalu, telah mengalami perubahan yang amat nyata pada saat ini, dan akan terus berubah pada masa yang akan datang. Beberapa perubahan yang kita alami antara lain : terjadinya proses globalisasi dalam segala aspeknya; perkembangan gagasan hak asasi manusia ( HAM ) yang tidak diimbagi dengan kewajiban asasimanusia ( KAM ); lonjakan pemanfaatan teknologi informasi oleh masyarakat, di mana informasi menjadi kekuatan yang amat berpengaruh dalam berbagai aspek kehidupan, tapi juga yang rentan terhadap “ manipulasi ” informasi dengan segala dampaknya.
            Keenam, terjadinya euphoria reformasi sebagai akibat dari traumatisnya masyarakat terhadap penyalahgunaan kekuasaan di masa lalu yang mengatasnamakan Pancasila. Semangat generasi reformasi untuk menanggalkan segala hal yang dipahaminya sebagai bagian dari masa lalu dan menggantinya dengan sesuatu yang baru, berimplikasi pada munculnya ‘ amnesia nasional ’ tentang pentingnya kehadiran Pancasila sebagai ground norm ( norma dasar ) yang mampu menjadi payung kebangsaan yang menaungi seluruh warga yang beragam suku bangsa, adat istiadat, budaya, bahasa, agama dan afiliasi politik. Memang, secara formal Pancasila diakui sebagai dasar negara, tetapi tidak dijadikan pilar dalam membangun bangsa yang penuh problematika saat ini. Sebagai ilustrasi misalnya, penolakan terhadap segala hal yang berhubungan dengan Orde Baru, menjadi penyebab mengapa Pancasila kini absen dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Harus diakui, di masa lalu memang terjadi mistifikasi dan ideologisasi Pancasila secara sistematis, terstruktur dan massive yang tidak jarang kemudian menjadi senjata ideologis untuk mengelompokkan mereka yang tak sepaham dengan pemerintah sebagai “ tidak Pancasilais ” atau “anti Pancasila ”. Pancasila diposisikan sebagai alat penguasa melalui monopoli pemaknaan dan penafsiran Pancasila yang digunakan untuk kepentingan melanggengkan kekuasaan.  Akibatnya, ketika terjadi pergantian rezim di era reformasi, muncul lah demistifikasi dan dekonstruksi Pancasila yang dianggapnya sebagai simbol, sebagai ikon dan instrumen politik rezim sebelumnya. Pancasila ikut dipersalahkan karena dianggap menjadi ornamen sistem politik yang represif dan bersifat monolitik sehingga membekas sebagai trauma sejarah yang harus dilupakan. Pengaitan Pancasila dengan sebuah rezim pemerintahan tertentu, menurut saya, merupakan kesalahan mendasar. Pancasila bukan milik sebuah era atau ornamen kekuasaan pemerintahan pada masa tertentu. Pancasila juga bukan representasi sekelompok orang, golongan atau orde tertentu. Pancasila adalah dasar negara yang akan menjadi pilar penyangga bangunan arsitektural yang bernama Indonesia. Sepanjang Indonesia masih ada, Pancasila akan menyertai perjalanannya. Rezim pemerintahan akan berganti setiap waktu dan akan pergi menjadi masa lalu, akan tetapi dasarnegara akan tetap ada dan tak akan menyertai kepergian sebuah era pemerintahan.
Ketujuh, perubahan tersebut telah mendorong terjadinya pergeseran nilai yang dialami bangsa Indonesia, sebagaimana terlihat dalam pola hidup masyarakat pada umumnya, termasuk dalam corak perilaku kehidupan politik dan ekonomi yang terjadi saat ini. Dengan terjadinya perubahan tersebut diperlukan reaktualisasi nilai-nilai pancasila agar dapat dijadikan acuan bagi bangsa Indonesia dalam menjawab berbagai persoalan yang dihadapi saat ini dan yang akan datang, baik persoalan yang datang dari dalam maupun dari luar. Kebelum-berhasilan kita melakukan reaktualisasi nilai-nilai Pancasila tersebut menyebabkan keterasingan Pancasila dari kehidupan nyata bangsa Indonesia.
7.      Antisipasi
a.       Menumbuhkan semangat nasionalisme yang tangguh, misal semangat  mencintai produk dalam negeri.
b.      Menanamkan dan mengamalkan nilai- nilai Pancasila dengan sebaik- baiknya.
c.       Menanamkan dan melaksanakan ajaran agama dengan sebaik- baiknya.
d.      Mewujudkan supremasi hukum, menerapkan dan menegakkan hukum dalam arti sebenar- benarnya dan seadil- adilnya.
e.       Selektif terhadap pengaruh globalisasi di bidang politik, ideologi, ekonomi, sosial budaya bangsa.

Dengan adanya langkah- langkah antisipasi tersebut diharapkan mampu menangkis pengaruh globalisasi yang dapat mengubah nilai nasionalisme terhadap bangsa dan lunturnya nilai-nilai Pancasila dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat Indonesia. Sehingga kita tidak akan kehilangan kepribadian bangsa sebagai Bangsa Indonesia.



KESIMPULAN
Pada akhirnya kami dapat menarik satu kesimpulan bahwa, hampir 75% nilai-nilai yang terdapat dalam Pancasila sudah luntur atau bahkan dilupakan oleh masyarakat Indonesia. Hal ini dikarenakan beberapa faktor internal dan eksternal yang telah kami jabarkan di atas. Apabila masyarakat Indonesia tidak segera berbenah diri dan mulai untuk mengimplementasikan nilai-nilai yang ada di dalam Pancasila kedalam kehidupan pribadi dan bernegara, maka bukan tidak mungkin bangsa kita akan menjadi bangsa yang tidak memiliki identitas, baik identitas ideologi ataupun identitas dari POLEKSOSBUDHANKAM. Jadi, masih bisakah kita memandang permasalahan lunturnya nilai-nilai Pancasila ini dengan sebelah mata? Masih bisakah kita untuk tetap melupakan nilai-nilai asli dari bangsa kita yang susah payah dirumuskan dan dikonsepkan oleh para Founding Father negara kita ?. Nasib bangsa Indonesia berada di tangan kita masing-masing.

DAFTAR PUSTAKA
http://nasional.kompas.com/read/2010/03/02/13444168/Presiden.Saksikan.Baku.Hantam.Anggota.DPR.Lewat.TV.
http://mylinekerr.blogspot.com/2012/03/dpr-nyaris-baku-hantam-kemarin-saat.html
http://www.pikiran-rakyat.com/node/171290
http://research.am3ikom.ac.id/index.php/STI/article/view/6402
http://www.scribd.com/doc/45198632/PANCASILA-4
http://news.okezone.com/read/extend/2009/12/04/343/281835/nenek-minah-pencuri-semangka-anggodo
http://www.scribd.com/doc/94263093/artikel-pancasila
http://hightek-bet.blogspot.com/2001/11/wujud-aplikasi-pancasila-sebagai-dasar.html
http://blog.tp.ac.id/pendidikan-sebagai-wahana-pembudayaan-pancasila





*Makalah Mata Kuliah Pendidikan Kewarganegaraan, Hubungan Internasional Universitas Diponegoro Semarang.
** Disusun Oleh :
1.    Beutari Octaviani
2.    Dea Tunjung Jatra Saputra
3.    Encik Mochammad Burhansyah
4.    Galih Kusumo Wardani
5.    Tahta Dika Rahardianto
6.    Nitya Amalia

Dosen Pengampu :Ibu Lusi Astrika, SIP, M.Si.