LUNTURNYA NILAI-NILAI PANCASILA DALAM MASYARAKAT

9:13 AM 8 Comments A+ a-

LUNTURNYA NILAI-NILAI PANCASILA DALAM MASYARAKAT*
Oleh : Beutari Octaviani, dkk.**

ABSTRAK
        Di zaman yang sudah serba modern ini, dimana efek dari suatu proses dari kemajuan kehidupan manusia yang dinamakan “ Globalisasi “ bisa dirasakan diseluruh sendi-sendi kehidupan manusia. Ekonomi, kesehatan, pendidikan, lifestyle, fashion, transportasi, telekomunikasi, dan berita terbaru dari negara yang jauh dari negara tempat kita berada pun bisa dengan sangat mudah diketahui lewat telekomunikasi yang semakin modern dan canggih. Bangsa Indonesia sebagai bangsa yang dikenal masih berkembang atau “ The Third World “ harus bisa melindungi warga negaranya dari ‘ hantaman ‘ globalisasi yang begitu deras, pemerintah pada umumnya dan warga Indonesia itu sendiri pada khususnya harus bisa memilah dan memilih hasil atau segala sesuatu dari globalisasi mana yang bisa diimplementasikan dalam kehidupan tanpa harus merusak nilai-nilai luhur sebagai warga Indonesia. Hal ini penting karena sebagai negara berkembang, Indonesia sudah sepantasnya dan seharusnya mempunyai fondasi dan rangka kenegaraan yang kuat dan mandiri terlebih dahulu, karena apabila Indonesia belum memiliki kedua hal tersebut, maka bukan tidak mungkin Indonesia akan kehilangan jati diri dan ciri-ciri sebagai suatu bangsa yang disebut “ Indonesia “. Ideologi bangsa Indonesia adalah Pancasila, suatu ideologi yang dihasilkan oleh salah satu Founding Father bangsa Indonesia, Sukarno. Pancasila sejatinya memiliki dasar-dasar konsep yang mengatur segala permasalahan baik hukum atau non-hukum, perilaku, sampai hal-hal mendasar baik itu berkaitan dengan kehidupan sesama warga negara atau urusan ketatanegaraan/pemerintahan. Dalam makalah yang kami buat ini, kami menekankan kepada ancaman lunturnya nilai-nilai Pancasila dalam masyarakat saat ini dan sekaligus kami memberikan berbagai contoh atas belum ter-implementasikannya nilai-nilai Pancasila. Perlu juga kami tambahkan bahwa makalah kami ini bersifat Common Paper ( Neutral ), atau dengan kata lain kami tidak memihak kepada siapapun.
Keyword : Pancasila, Ideologi, Globalisasi, Indonesia




PENDAHULUAN
Ancaman dari derasnya arus globalisasi terhadap suatu ideologi suatu bangsa tidak bisa dipandang sebelah mata. Banyaknya informasi yang dengan mudahnya masuk dan diketahui oleh siapapun di dunia ini termasuk Indonesia, secara tidak langsung akan merubah pola pikir masyarakat itu sendiri dalam berbagai aspek kehidupan. Hal ini kami khawatirkan akan menyebabkan masyarakat Indonesia melupakan ‘ siapa dirinya sesungguhnya ’ , yaitu warga negara Indonesia yang berdasarkan kepada Pancasila. Bisa dibayangkan apabila kita sebagai warga negara Indonesia, akan tetapi kita tidak memiliki ciri khusus dan jati diri sebagai orang Indonesia?.
Pancasila sebagai dasar negara dan ciri-ciri negara Indonesia adalah suatu patokan dan acuan bangsa Indonesia dalam menjalankan seluruh aspek kehidupan POLEKSOSBUDHANKAM. Seluruh nilai-nilai yang terkandung dalam setiap butir poin Pancasila, dari sila pertama sampai sila kelima sejatinya adalah suatu nilai luhur yang apabila diimplementasikan kedalam kehidupan POLOKESOSBUDHANKAM akan membawa bangsa Indonesia ini menuju negara yang maju dan sejahtera ( Welfare State ). Sebagai contoh, apabila sila pertama berhasil diimplemantasikan sepenuhnya, dapat dipastikan tidak akan ada lagi sentimisme, diskriminasi, dan pembatasan dalam beragama di Indonesia. Hal ini sesuai dengan bunyi dari sila pertama tersebut yaitu “ Ketuhanan Yang Maha Esa “, sila ini berarti bahwa kita sebagai warga negara harus menghormati setiap agama atau kepercayaan yang ada di Indonesia ini. Tidak membedakan setiap warga negara Indonesia sendiri atau warga negara lain hanya karena berbeda kepercayaan, menghormati agama apapun untuk menjalankan ibadah, dan yang terpenting adalah tidak adanya pemaksaan untuk menganut suatu agama tertentu. Namun, sudahkah semua poin dari Pancasila berhasil diimplementasikan kedalam kehidupan POLEKSOSBUDHANKAM ? atau bahkan nilai-nilai dari Pancasila itu sendiri justru menjadi luntur karena derasnya arus globalisasi  ?.




PEMBAHASAN
Di era globalisasi ini banyak nilai-nilai Pancasila yang begitu penting telah tergeser oleh nilai-nilai dan pola pikir kebaratan yang tidak sesuai dengan budaya Indonesia yang ketimuran. Hal berakibat adanya krisis moral yang terjadi pada bangsa Indonesia di berbagai lapisan masyarakat, mulai dari para elite-elite politik hingga individu-individu. Selain itu hal ini merupakan ancaman bagi bangsa Indonesia untuk menjaga nilai-nilai Pancasila agar tidak tenggelam dengan selalu mengimplementasikan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Tindakan kriminal seperti pengeboman, pemerkosaan, perampokan, pembunuhan, korupsi, kolusi, dan nepotisme sudah menjadi masalah yang sering terjadi. Hal ini terjadi karena manusia telah melupakan hakekatnya sebagai makhluk yang berTuhan, makhluk sosial, dan makhluk pribadi sehingga tidak lagi menjalankan tugas sebagai khalifah di bumi. Sifat dasar manusia yang serakah dan selalu ingin mendapatkan lebih adalah salah satu hal penyebabnya. Selain itu manusia tidak bisa mengendalikan sifat dasarnya yaitu menghalalkan segala cara hingga mengesampingkan bahkan menghilangkan etika dan moral kehidupan serta menyimpang dari norma Pancasila. Dari situlah awal mula masalah tersebut muncul. Kami meyakini bahwa selain faktor-faktor yang bersifat internal seperti yang diatas, ada peran dari faktor-faktor eksternal yang ikut menggeser dan ‘ melunturkan ‘  nilai-nilai Pancasila, sebagai contoh adalah kehadiran internet. Di dalam internet terdapat berbagai macam informasi yang kita butuhkan apabila kita adalah seorang akademisi, akan tetapi di dalam internet pula banyak hal-hal negatif yang apabila kita tidak menjaga diri kita dari pengaruh buruk internet, maka akan terjadi suatu degradasi sosial dan degradasi moral karena kita tidak bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Sehingga pada akhirnya masyarakat luas akan semakin melupakan jati dirinya sebagai warga Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan bukan tidak mungkin apabila kita tidak menjaga diri kita dari ancaman lunturnya nilai-nilai Pancasila di masyarakat, kita akan menjadi negara tanpa ciri-ciri khusus yang menunjukkan kita sebagai seorang warga negara Indonesia.
Bangsa Indonesia bertekad mengimplementasikan Pancasila untuk mewujudkan kesejahteraan umum dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Anak kalimat, memajukan kesejahteraan umum dan mewujudkan keadilan sosial dalam Pembukaan UUD 1945, merupakan amanat bagi bangsa Indonesia dalam membangun perekonomian nasional, guna memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Bangsa Indonesia harus cerdas untuk mengolah sumber daya nasionalnya serta mengakses semua kemajuan dunia agar mampu menciptakan kesejahteraan  umum yang terus berkembang ke arah kemajuan. Usaha menyejahterakan dan mencerdaskan bangsa haruslah dilandasi lima faktor yakni : (1) Bebasnya bangsa Indonesia dari segala bentuk penjajahan, termasuk penjajahan ekonomi. (2) Secara politik dan keamanan nasional, bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia harus dilindungi dari segala bentuk gangguan dan ancaman. (3) Kecerdasan kehidupan bangsa, baik individu maupun masyarakat harus terwujud. (4) Aktivitas bangsa untuk ikut serta menciptakan perdamaian dan ketertiban dunia. (5) Mengimplementasikan konsep, prinsip dan nilai Pancasila, sehingga keadilan sosial dapat terwujud.
1.      Hilangnya manusia yang ber-“ Ketuhanan Yang Maha Esa “
Dalam pemberitaan di berbagai media akhir-akhir ini kita sering dilihatkan dan dihadapkan kepada fakta bahwa banyak terjadi aksi-aksi anarkis yang ditujukan kepada suatu kelompok agama tertentu yang diduga dilakukan oleh suatu Ormas Keagamaan tertentu. Ini adalah adalah satu contoh dan bukti dari belum diimplementasikannya nilai-nilai sila pertama yang menjunjung kebebasan beragama bagi setiap warga Indonesia. Tindakan anarkis yang mengatasnamakan suatu agama tertentu dijadikan tameng untuk melawan aparat hukum dan mengahakimi suatu agama tertentu. Masyarakat Indonesia saat ini yang sudah berlabel modern sepertinya tidak lagi memakai cara pandang dari sisi keagamaan dengan benar. Masyarakat Indonesia saat ini yang sudah dikenal pintar sepertinya sudah tidak lagi memandang sila pertama yaitu “ Ketuhanan Yang Maha Esa “ sebagai salah satu acuan dalam menjalani kehidupan beragama di Indonesia melainkan hanya sebuah hafalan saat di SD.
Nilai-nilai kegamaan yang bersumber langsung dari Tuhan sejatinya adalah suatu kebenaran yang harus ditaati oleh setiap orang yang beragama dan dijadikan suatu ‘ batas ‘ dan ‘ pengingat ‘ saat melakukan suatu tindakan agar tidak melenceng dari norma dan nilai kebenaran.
Namun fakta yang sering dihadapkan kepada kita banyak yang memperlihatkan betapa rusaknya moral masyarakat Indonesia saat ini. Bahkan lunturnya nilai-nilai dari sila pertama ini sudah sampai kepada urusan pemerintahan dan ketatanegaraan. Aksi-aksi KKN ( Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme ) sepertinya sudah mendarah daging dan menjadi hal yang lumrah bagi para elite-elite politik, baik ditingkat terendah seperti desa hingga ke tingkat yang paling tinggi seperti jajaran wakil rakyat ( DPR ) dan pejabat-pejabat negeri. Hal ini tentu saja tidak akan terjadi apabila para pelaku KKN tersebut memiliki kesadaran dan modal yang berlandaskan kepada nilai-nilai keagamaan dan keimanan yang terkandung dalam sila pertama. Sebagai perbandingan, kita bisa melihat saat di era Orde Baru dimana pada saat itu masyarakat Indonesia bisa dengan tenang beragama selama apa yang mereka lakukan tidak mengganggu kenyamanan umum. Selain itu saat penentuan Hilal sebagai acuan umat Islam dalam menentukan Hari Raya Idul Fitri, tidak banyak perdebatan dan pertentangan antara kelompok Islam tertentu ( NU, Muhammadiyah dll ), hal ini membuktikan bahwa hari demi hari sejak Orde Baru hingga pasca Reformasi sekarang, nilai-nilai dari Pancasila semakin ditinggalkan.
Lunturnya nilai-nilai yang terkandung dalam sila pertama ini diperparah dengan adanya globalisasi yang hari demi hari semakin tidak ter-filter antara yang baik dan buruk. Misalnya saja, makin banyaknya tontonan di televisi yang mengajarkan kita kepada suatu sifat Hedonisme yang suka berfoya-foya dan berhura-hura, makin banyaknya tayangan televisi yang mengumbar bagian tubuh wanita dengan bebasnya, makin banyaknya acara televisi yang mengajarkan kita kepada suatu pola hidup yang sangat tidak sesuai dengan kepribadian Indonesia. Baik secara langsung atau tidak langsung, efek buruk yang dihasilkan dari contoh tersebut akan memengaruhi pola pikir masyarakat Indonesia agar berperilaku seperti apa yang ada di televisi tersebut. Efek buruk dari contoh diatas terbukti dengan meningkatnya aksi seks bebas yang dilakukan oleh para remaja dengan rentangan umur 15-23 tahun, meningkatnya pemakai Narkoba di Indonesia yang didominasi oleh para remaja, dan meningkatnya aksi-aksi kriminalitas yang disebabkan pelaku merasa terprovokasi oleh apa yang ia lihat di televisi.
Kemajuan teknologi sejatinya bisa memberikan kemudahan dan peningkatan mutu kehidupan siapapun yang menggunakan kemajuan teknologi tersebut, akan tetapi kemajuan teknologi ini pula yang bisa membawa manusia pada umumnya dan masyarakat Indonesia pada khususnya lupa akan jati dirinya yang harus berpegang teguh atas nilai-nilai sila pertama, yaitu sebagai mahluk yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa.
2.      Langkanya “ Kemanusiaan yang adil dan beradab “
Nilai-nilai yang terkandung dalam sila kedua ini kami jabarkan sebagai berikut :
a.       Mengakui persamaan derajat, persamaan hak, dan persamaan kewajiban antara sesama manusia.Saling mencintai sesama manusia.
b.      Mengembangkan sikap tenggang rasa.
c.       Tidak semena-mena terhadap orang lain.
d.       Menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dan Hak Asasi Manusia.
e.       Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan.
f.       Menjaga sifat dan sikap Gotong Royong.
Nilai-nilai diatas apabila bisa dijalankan dan diimplementasikan sepenuhnya didalam kehidupan bermasyarakat kami yakin Indonesia akan menjadi sebuah bangsa yang memiliki tingkat kemiskinan rendah, sifat keramah-tamahan yang mendunia, sekaligus menjadi sebuah bangsa yang unik dimata dunia karena keadilan dan keberadabannya dalam kehidupan masyarakatnya tetap terjaga. Namun masih ingatkah pembaca dengan kejadian seorang nenek tua yang karena tekanan ekonomi yang dialaminya terpaksa memungut dua buah kakao yang ditemukannya di jalan lantas nenek tersebut dituntut dijatuhi hukuman di persidangan ? Atau ingatkah pembaca tentang kejadian memalukan yang diperlihatkan oleh para elite politik yang menamai dirinya sebagai “ Dewan Perwakilan Rakyat “ saat berlangsungnya Sidang Paripurna terlibat aksi baku-hantam antar sesama anggota dewan lainnya? Dan ingatkah pembaca dengan tingkah salah satu anggota dewan saat acara Rapat Paripurna justru membuka situs porno? Semua contoh ini adalah bukti dari bergesernya nilai-nilai dari sila kedua.
Kemanusiaan yang adil dan beradab semakin jauh dari kata terwujud apabila kita melihat fakta-fakta yang terjadi di masyarakat. Dari sisi hukum kita dihadapkan kepada ketidak adilan hukum yang berlaku di Indonesia yang seperti ‘ Pisau ‘ tajam kebawah, akan tetapi tumpul keatas. Hal ini terbukti dengan banyaknya para pelaku korupsi yang merampok milyaran bahkan trilyunan uang rakyat yang hanya dihukum kurang dari lima tahun penjara. Sebagai contoh adalah Anggodo Widjojo yang terbukti merekayasa kriminaslisasi dua anggota KPK masih bisa bebas seakan tidak terjerat oleh hukum. Tentu saja ini sangat berlawanan dengan kisah seorang nenek yang bernama Minah yang secara terpaksa memungut dua buah kakao seharga Rp. 2100 yang ditemukannya dijalan untuk dimakan oleh dirinya yang saat itu kelaparan, akan tetapi ia harus menjalani hukuman penjara selama 1.5 tahun dengan masa percobaan selama 3 bulan. Selain itu masih ingatkah pembaca dengan kejadian memalukan yang terjadi saat sidang Paripurna terkait masalah Bank Century beberapa anggota dewan yang terhormat terlibat aksi baku hantam? Hal ini salah satu bukti bahwa keberadaban yang terdapat di sila kedua belum sepenuhnya terlaksana.
3.      Retaknya “ Persatuan Indonesia “
Indonesia adalah negara kepulauan dengan jajaran pulau-pulaunya yang berjumlah lebih dari 17.560 pulau. Para Founding Father kita dengan susah payah berusaha untuk mempersatukan seluruh kepulauan bekas jajahan untuk bersatu menjadi suatu negara yang disebut Indonesia. Kita sebagai generasi penerus haruslah bisa menjaga harta warisan dari generasi sebelumnya dengan sebaik mungkin. Selain itu, hal ini sudah tentu menjadi tugas wajib pemerintah untuk memerhatikan kesejahterahan rakyatnya dimanapun mereka tinggal. Namun, sudahkah hal ini dilakukan oleh pemerintah? Kita bisa melihat bahwa di Pulau Jawa kemajuan teknologi, transportasi, telekomunikasi, akses pendidikan dan kesehatan sudah sangat maju dan mudah didapatkan, hal ini sangat kontradiksi dengan keadaan yang terjadi di pulau-pulau yang jauh dari Ibukota Jakarta, misalnya saja pulau Papua. Papua adalah pulau yang  memiliki berbagai kekayaan alam yang melimpah, akan tetapi pemerintah seakan menutup mata terhadap kondisi yang dihadapi oleh masyarakat lokal Papua. Pemerintah justru cenderung memanfaatkan situasi sulit yang dihadapi oleh masyarakat Papua untuk menjual berbagai macam aset milik masyarakat Papua seperti tambang emas kepada PT. Freeport. Hal ini bisa saja menjadi salah satu alasan dari retaknya “ Persatuan Indonesia “ karena masyarakat lokal merasa di “ anak tirikan “ oleh pemerintah. Sebagai contoh, di Papua terdapat organisasi separatisme bernama OPM ( Organisasi Papua Merdeka ), di Maluku terdapat organisasi separatisme bernama RMS ( Republik Maluku Serikat ), dan sebagai pengingat di Aceh ada GAM ( Gerakan Aceh Merdeka ), akan tetapi antara pihak GAM dan pemerintah sudah setuju untuk berdamai berdasarkan hasil konferensi di Den Haag Belanda. Dengan adanya gerakan separatisme dari beberbagai daerah seperti contoh diatas, hal ini menandakan bahwa adanya rasa kekecewaan dari masyarakat yang merasa “ dilupakan “ oleh pemerintah dalam segi kehidupan seperti ekonomi, kesehatan, pendidikan, dan berbagai macam sarana penunjang kemajuan daerahnya. Kekecewaan masyarakat ini ditunjukkan dengan aksi-aksi pengibaran bendera dari organisasi separatisme mereka sebagai penanda bahwa mereka ingin melepaskan diri dari Republik Indonesia, inilah salah satu bukti dari Retaknya “ Persatuan Indonesia “
Selain itu, kami memberikan contoh dari sisi yang berbeda atas lunturnya nilai-nilai sila ketiga. Misalnya saja dari sisi sesama individu dalam hal olahraga, kita sering mendengar terjadinya kerusuhan antar suporter yang terjadi seusai tim kesayangannya berlaga, hal ini menandakan bahwa mereka tidak memilik rasa persatuan sebagai sesama warga negara Indonesia dan tidak memiliki semangat untuk memajukan persepakbolaan di Indonesia. Dalam hal ini kami mempercayai bahwa ada pengaruh negastif yang secara tidak langsung diberikan dari para politic figure yang mengurusi PSSI. Para pecinta sepak bola tanah air baik secara langsung atau tidak langsung terpengaruh dari situasi politik yang memanas didalam tubuh PSSI, dan hal ini berujung dengan dibuatnya dua laga kompetisi yang berbeda dibawah PSSI yaitu , ISL ( Indonesia Super League ) dengan IPL ( Indonesia Premier League ).
Pada dasarnya perbedaan makna dari persatuan dan kesatuan adalah, persatuan adalah konsep awal yang dibuat oleh para Founding Father sebelum Indonesia merdeka, dengan asumsi bahwa semua ras, agama, etnis, suku bangsa, dan bahasa yang terdapat di Indonesia harus bisa bersatu dahulu sebelum menjadi sebuah kesatuan. Sedangkan makna dari kesatuan adalah, seluruh perbedaan primordial yang ada di Indonesia sudah bersatu dan melebur menjadi satu jati diri dan menjadi satu bangsa dan negara yaitu Indonesia tanpa harus menghilangkan ciri khas dari masing-masing kriteria primordial tersebut.
Pemerintah tidak bisa menutup mata lagi terhadap kondisi rakyatnya yang berada di pulau-pulau terluar dari batas wilayah Indonesia dan daerah-daerah perbatasan, karena mereka pada dasarnya mengakui bahwa mereka adalah warga negara Indonesia yang rela berkorban hidup dalam segala keterbatasan yang ada, dan selalu setia untuk mengibarkan bendera merah putih di daerahnya. Apakah pemerintah masih bisa untuk mengutamakan pembangunan di daerah perkotaan? Apakah pemerintah masih bisa untuk mengutamakan jaminan kesehatan, pendidikan, transportasi hanya untuk daerah perkotaan? Sedangkan di satu sisi, banyak warga negaranya yang dengan setia, rela berkorban, dan tanpa pamrih bersedia untuk hidup dibawah garis kemiskinan sekaligus mengakui bahwa mereka adalah warga negara Indonesia. Apabila pemerintah masih bersikap acuh tak acuh, maka bukan tidak mungkin dalam 30-40 tahun kemudian akan banyak organisasi-organisasi separatisme akan bermunculan di berbagai daerah dengan tujuan yang sama yaitu untuk melepaskan diri dari Republik Indonesia.
4.      Tidak adanya “ Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan “
Pemimpin yang amanah, adil, bertanggung jawab, dan bijaksana adalah sosok ideal dari seorang pemimpin suatu bangsa. Pemimpin dengan kriteria semacam ini peluang keberhasilannya dalam memimpin suatu organisasi atau negara akan lebih besar, terlebih apabila pemimpin semacam ini mengedepankan kepentingan bersama daripada kepentingan pribadi. Indonesia yang sejak merdeka pada tahun 1945 sudah mengalami pergantian presiden sebanyak enam kali dimana presiden terakhir adalah Susilo Bambang Yudhoyono sudah menjadi presiden dalam dua periode kepresidenan. Namun sudahkah rakyat Indonesia saat ini benar-benar dipimpin oleh hikmat kebijaksaan dalam permusyawaratan dan perwakilan ? .
            Apabila kita melihat dari fakta dan kenyataan yang ada di masyarakat, mungkin Indonesia bisa dikatakan masih belum sepenuhnya menerapkan nilai-nilai yang terkandung dalam sila keempat. Hal ini bisa dilihat dari hasil-hasil sidang, rapat, atau berbagai pertemuan para elite politik dimana kebanyakan tidak menghasilkan sesuatu hal yang secara konkrit memihak rakyat. Sebagai contoh, masih ingatkah pembaca dengan kelakuan para petinggi elite politik saat isu kenaikan harga bahan bakar di awal bulan April kemarin ? Dalam sidang tersebut terlihat jelas bahwa para elite politik tidak sepenuhnya memihak kepada rakyat dan terkesan ragu-ragu dalam mengambil keputusan yang berani dan memihak kepada rakyat. Perlu kami tambahkan bahwa para wakil rakyat sekarang cenderung lebih mengutamakan kepentingan pribadinya dibandingkan dengan kepentingan rakyat, dengan asumsi bahwa kesempatan untuk memperkaya diri sendiri selama menjabat menjadi anggota dewan atau wakil rakyat tidak datang dua kali. Tentu hal ini bisa dikatakan adalah suatu tindakan yang menciderai hati rakyat dan menodai nilai-nilai Pancasila. Para pemimpin sekarang lebih menyukai untuk memaksakan kehendak daripada bersikap sabar dalam mengambil keputusan demi kepentingan rakyat Indonesia. Hal ini diperparah dengan metode yang dipakai para anggota Dewan Perwakilan Rakyat dalam menentukan suatu keputusan, mereka lebih menyukai cara pengambilan keputusan dengan Voting. Voting adalah cara menentukan keputusan yang paling buruk, karena voting tidak mengedepankan pemikiran rasional melainkan tergantung dari jumlah suara terbanyak. Kami berpendapat bahwa seharusnya apabila kita menelaah lebih dalam dari nilai Pancasila khususnya sila keempat, Indonesia memiliki suatu cara khusus dalam menyatukan suara dan memutuskan suatu permasalahan yaitu dengan cara Musyawarah. Hasil musyawarah tidak akan tercapai apabila belum tercapainya kesepakatan bersama, dengan metode ini maka tidak akan ada perasaan dari masing-masing anggota yang merasa tersakiti saat hasil musyawarah ditetapkan.
Pancasila sebagai dasar negara dan landasan idiil bangsa Indonesia, dewasa ini pada zaman reformasi saat ini pengimplementasian pancasila sangat dibutuhkan oleh masyarakat, karena di dalam pancasila terkandung nilai-nilai luhur bangsa Indonesia yang sesuai dengan kepribadian bangsa. Selain itu, pada era globalisasi ini begitu cepat mempengaruhi negara-negara di seluruh dunia termasuk Indonesia. Gelombang demokratisasi, hak asasi manusia, neo-liberalisme, serta neo-konservatisme dan globalisme bahkan telah memasuki cara pandang dan cara berfikir masyarakat Indonesia. Hal demikian bisa melunturkan Pancasila dan dapat menghadirkan sistem nilai dan idealisme baru yang bertentangan dengan kepribadian bangsa.
Pancasila, dalam fungsinya sebagai dasar negara, merupakan sumber kaidah hukum yang mengatur negara Republik Indonesia, termasuk di dalamnya seluruh unsur-unsurnya yakni pemerintah, wilayah dan rakyat. Pancasila sebagai dasar negara mempunyai arti menjadikan Pancasila sebagai dasar untuk mengatur penyelenggaraan pemerintahan. Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum.
Hal ini menempatkan Pancasila sebagai dasar negara yang berarti melaksanakan nilai-nilai Pancasila dalam semua peraturan perundang-undangan yang berlaku. Oleh karena itu, sudah seharusnya semua peraturan perundang-undangan di negara Republik  Indonesia bersumber pada Pancasila. Pancasila sebagai dasar negara Republik  Indonesia mempunyai implikasi bahwa Pancasila terikat oleh suatu kekuatan secara hukum, terikat oleh struktur kekuasaan secara formal, dan meliputi suasana kebatinan atau cita-cita hukum yang menguasai dasar negara (Suhadi, 1998).
5.      Mimpi Indonesia tentang “ Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia “
Kondisi Indonesia saat ini masih jauh dari kata sejahtera, hal ini bisa dilihat dari berbagai macam indikator, misalnya dengan melihat masih banyaknya rakyat miskin diberbagai daerah diseluruh Indonesia. Tingkat kemiskinan di Indonesia sangat tinggi, data terakhir yang dikeluarkan pemerintah pada tahun 2011 menunjukkan angka sebesar 17.7 juta orang masih hidup dibawah garus kemiskinan Indonesia. Selain itu dari bidang kesehatan pun masyarakat miskin di Indonesia seperti melihat jarak atau gap yang jauh antara mereka dengan masyarakat yang mampu. Jaminan kesehatan yang seharusnya berhak dimiliki oleh semua rakyat Indonesia pada kenyataannya tidak berjalan dengan semestinya. Selain itu dari sisi pendidikan, mayoritas mereka yang mengenyam pendidikan dengan fasilitas baik infrastruktur dan intrastruktur yang layak adalah mereka yang mampu dalam segi ekonomi atau dengan kata lain hidup diatas garis kemiskinan di Indonesia. Hal ini tentu saja tidak sesuai dengan bunyi dari sila kelima yang berbunyi “ keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia “. Jika kita melihat dari sudut pandang antar daerah pun, kita akan dihadapkan pada kenyataan atas ketimpangan dalam hal pembangunan yang terjadi. Daerah kota seperti lebih diistimewakan oleh pemerintah dalam hal pembangunan, sedangkan daerah-daerah yang jauh dari keramaian kota seakan-akan dilupakan dan pemerintah bagai menutup mata. Ketimpangan sosial di tingkat antar daerah banyak terjadi, hal ini terlihat jelas dari perkembangan ekonomi di daerah tersebut.
6.      Faktor dan penyebab lunturnya nilai-nilai Pancasila
Pertama, longgarnya pegangan terhadap agama . Sudah menjadi tragedi dari dunia maju, dimana segala sesuatu hampir dapat dicapai dengan ilmu pengetahuan, sehingga keyakinan beragam mulai terdesak, kepercayaan kepada Tuhan hanya sebagai simbol, larangan-larangan dan perintah-perintah Tuhan tidak diindahkan lagi. Dengan longgarnya pegangan seseorang peda ajaran agama, maka hilanglah kekuatan pengontrol yang ada didalam dirinya. Dengan demikian satu-satunya alat pengawas dan pengatur moral yang dimilikinya adalah masyarakat dengan hukum dan peraturanya. Namun pada umumnya pengawasan masyarakat itu tidak sekuat pengawasan dari dalam diri sendiri. Karena pengawasan masyarakat itu datang dari luar, jika orang luar tidak tahu, atau tidak ada orang yang disangka akan mengetahuinya, maka dengan senang hati orang itu akan berani melanggar peraturan-peraturan dan hukum-hukum sosial itu. Sedangkan apabila dalam masyarakat itu banyak ornag yang melakukuan pelanggaran moral, dengan sendirinya orang yang kurang iman tadi tidak akan mudah pula meniru melakukan pelanggaran-pelanggaran yang sama. Tetapi jika setiap orang teguh keyakinannya kepada Tuhan serta menjalankan agama dengan sungguh-sungguh, tidak perlu lagi adanya pengawasan yang ketat, karena setiap orang sudah dapat menjaga dirinya sendiri, tidak mau melanggar hukum-hukum dan ketentuan-ketentuan Tuhan. Sebaliknya dengan semakin jauhnya masyarakat dari agama, semakin sudah memelihara moral orang dalam masyarakat itu, dan semakin kacaulah suasana, karena semakin banyak pelanggaran-pelanggaran, hak, hukum dan nilai moral.
Kedua, kurang efektifnya pembinaan moral yang dilakukan oleh rumah tangga, sekolah maupun masyarakat. Pembinaan moral yang dilakukan oleh ketiga institusi ini tidak berjalan menurut semsetinya atau yang sebiasanya. Pembinaan moral dirumah tangga misalnya harus dilakukan dari sejak anak masih kecil, sesuai dengan kemampuan dan umurnya. Karena setiap anak lahir, belum mengerti mana yang benar dan mana yang salah, dan belum tahu batas-batas dan ketentuan moral yang tidak berlaku dalam lingkungannya. Tanpa dibiasakan menanamkan sikap yang dianggap baik untuk manumbuhkan moral, anak-anak akan dibesarkan tanpa mengenal moral itu. Pembinaan moral pada anak dirumah tangga bukan dengan cara menyuruh anak menghapalkan rumusan tentang baik dan buruk, melainkan harus dibiasakan. Zakiah Darajat mangatakan, moral bukanlah suatu pelajaran yang dapat dicapai dengan mempelajari saja, tanpa membiasakan hidup bermoral dari sejak keci. Moral itu tumbuh dari tindakan kepada pengertian dan tidak sebaliknya. Seperti halnya rumah tangga, sekolahpun dapat mengambil peranan yang penting dalam pembinaan moral anak didik. Hendaknya dapat diusahakan agar sekolah menjadi lapangan baik bagi pertumbuhan dan perkembangan mental dan moral anak didik. Di samping tempat pemberian pengetahuan, pengembangan bakat dan kecerdasan. Dengan kata lain, supaya sekolah merupakan lapangan sosial bagi anak-anak, dimana pertumbuhan mental, moral dan sosial serta segala aspek kepribadian berjalan dengan baik. Untuk menumbuhkan sikap moral yang demikian itu, pendidikan agama diabaikan di sekolah, maka didikan agama yang diterima dirumah tidak akan berkembang, bahkan mungkin terhalang. Selanjutnya masyarakat juga harus mengambil peranan dalam pembinaan moral. Masyarakat yang lebih rusak moralnya perlu segera diperbaiki dan dimulai dari diri sendiri, keluarga dan orang-orang terdekat dengan kita. Karena kerusakan masyarakat itu sangat besar pengaruhnya dalam pembinaan moral anak-anak. Terjadinya kerusakan moral dikalangan pelajar dan generasi muda sebagaimana disebutakan diatas, karena tidak efektifnnya keluarga, sekolah dan masyarakat dalam pembinaan moral. Bahkan ketiga lembaga tersebut satu dan lainnya saling bertolak belakang, tidak seirama, dan tidak kondusif bagi pembinaan moral.
Ketiga, semua penyebab lunturnya nilai Pancasilan pada dasarnya karena  budaya materialistis, hedonistis dan sekularistis. Sekarang ini sering kita dengar dari radio atau bacaan dari surat kabar tentang anak-anak sekolah menengah yang ditemukan oleh gurunya atau polisi mengantongi obat-obat, gambar-gambar porno, alat-alat kotrasepsi seperti kondom dan benda-banda tajam. Semua alat-alat tersebut biasanya digunakan untuk hal-hal yang dapat merusak moral. Namun gajala penyimpangan tersebut terjadi karena pola hidup yang semata-mata mengejar kepuasan materi, kesenangan hawa nafsu dan tidak mengindahkan nilai-nilai agama. Timbulnya sikap tersebut tidak bisa dilepaskan dari derasnya arus budaya matrealistis, hedonistis dan sekularistis yang disalurkan melalui tulisan-tulisan, bacaan-bacaan, lukisan-lukisan, siaran-siaran, pertunjukan-pertunjukan dan sebagainya. Penyaluran arus budaya yang demikian itu didukung oleh para penyandang modal yang semata-mata mengeruk keuntungan material dan memanfaatkan kecenderungan para remaja, tanpa memperhatikan dampaknya bagi kerusakan moral. Derasnya arus budaya yang demikian diduga termasuk faktor yang paling besar andilnya dalam menghancurkan moral para remaja dan generasi muda umumnya.
Keempat, belum adanya kemauan yang sungguh-sungguh dari pemerintah. Pemerintah yang diketahui memiliki kekuasaan ( power ), uang, teknologi, sumber daya manusia dan sebagainya tampaknya belum menunjukan kemauan yang sungguh-sunguh untuk melakuka pembinaan moral bangsa. Hal yang demikian semaikin diperparah lagi oleh adanya ulah sebagian elit penguasa yang semata-mata mengejar kedudukan, peluang, kekayaan dan sebagainya dengan cara-cara tidak mendidik, seperti korupsi, kolusi dan nepotisme yang hingga kini belum adanya tanda-tanda untuk hilang. Mereka asik memperebutkan kekuasaan, mareri dan sebagainya dengan cara-cara tidak terpuji itu, dengan tidak memperhitungkan dampaknya bagi kerusakan moral bangsa. Bangsa jadi ikut-ikutan, tidak mau mendengarkan lagi apa yang disarankan dan dianjurkan pemerintah, karena secara moral mereka sudah kehiangan daya efektifitasnya. Sikap sebagian elit penguasa yang demikian itu semakin memperparah moral bangsa, dan sudah waktunya dihentikan. Kekuasaan, uang, teknologi dan sumber daya yang dimiliki pemerintah seharusnya digunakan untuk merumuskan konsep pembinaan moral bangsa dan aplikasinya secara bersungguh-sungguh dan berkesinambungan.
Kelima, situasi dan lingkungan kehidupan bangsa yang telah berubah baik di tingkat domestik,regional maupun global. Situasi dan lingkungan kehidupan bangsa pada tahun 1945-66 tahun yang lalu, telah mengalami perubahan yang amat nyata pada saat ini, dan akan terus berubah pada masa yang akan datang. Beberapa perubahan yang kita alami antara lain : terjadinya proses globalisasi dalam segala aspeknya; perkembangan gagasan hak asasi manusia ( HAM ) yang tidak diimbagi dengan kewajiban asasimanusia ( KAM ); lonjakan pemanfaatan teknologi informasi oleh masyarakat, di mana informasi menjadi kekuatan yang amat berpengaruh dalam berbagai aspek kehidupan, tapi juga yang rentan terhadap “ manipulasi ” informasi dengan segala dampaknya.
            Keenam, terjadinya euphoria reformasi sebagai akibat dari traumatisnya masyarakat terhadap penyalahgunaan kekuasaan di masa lalu yang mengatasnamakan Pancasila. Semangat generasi reformasi untuk menanggalkan segala hal yang dipahaminya sebagai bagian dari masa lalu dan menggantinya dengan sesuatu yang baru, berimplikasi pada munculnya ‘ amnesia nasional ’ tentang pentingnya kehadiran Pancasila sebagai ground norm ( norma dasar ) yang mampu menjadi payung kebangsaan yang menaungi seluruh warga yang beragam suku bangsa, adat istiadat, budaya, bahasa, agama dan afiliasi politik. Memang, secara formal Pancasila diakui sebagai dasar negara, tetapi tidak dijadikan pilar dalam membangun bangsa yang penuh problematika saat ini. Sebagai ilustrasi misalnya, penolakan terhadap segala hal yang berhubungan dengan Orde Baru, menjadi penyebab mengapa Pancasila kini absen dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Harus diakui, di masa lalu memang terjadi mistifikasi dan ideologisasi Pancasila secara sistematis, terstruktur dan massive yang tidak jarang kemudian menjadi senjata ideologis untuk mengelompokkan mereka yang tak sepaham dengan pemerintah sebagai “ tidak Pancasilais ” atau “anti Pancasila ”. Pancasila diposisikan sebagai alat penguasa melalui monopoli pemaknaan dan penafsiran Pancasila yang digunakan untuk kepentingan melanggengkan kekuasaan.  Akibatnya, ketika terjadi pergantian rezim di era reformasi, muncul lah demistifikasi dan dekonstruksi Pancasila yang dianggapnya sebagai simbol, sebagai ikon dan instrumen politik rezim sebelumnya. Pancasila ikut dipersalahkan karena dianggap menjadi ornamen sistem politik yang represif dan bersifat monolitik sehingga membekas sebagai trauma sejarah yang harus dilupakan. Pengaitan Pancasila dengan sebuah rezim pemerintahan tertentu, menurut saya, merupakan kesalahan mendasar. Pancasila bukan milik sebuah era atau ornamen kekuasaan pemerintahan pada masa tertentu. Pancasila juga bukan representasi sekelompok orang, golongan atau orde tertentu. Pancasila adalah dasar negara yang akan menjadi pilar penyangga bangunan arsitektural yang bernama Indonesia. Sepanjang Indonesia masih ada, Pancasila akan menyertai perjalanannya. Rezim pemerintahan akan berganti setiap waktu dan akan pergi menjadi masa lalu, akan tetapi dasarnegara akan tetap ada dan tak akan menyertai kepergian sebuah era pemerintahan.
Ketujuh, perubahan tersebut telah mendorong terjadinya pergeseran nilai yang dialami bangsa Indonesia, sebagaimana terlihat dalam pola hidup masyarakat pada umumnya, termasuk dalam corak perilaku kehidupan politik dan ekonomi yang terjadi saat ini. Dengan terjadinya perubahan tersebut diperlukan reaktualisasi nilai-nilai pancasila agar dapat dijadikan acuan bagi bangsa Indonesia dalam menjawab berbagai persoalan yang dihadapi saat ini dan yang akan datang, baik persoalan yang datang dari dalam maupun dari luar. Kebelum-berhasilan kita melakukan reaktualisasi nilai-nilai Pancasila tersebut menyebabkan keterasingan Pancasila dari kehidupan nyata bangsa Indonesia.
7.      Antisipasi
a.       Menumbuhkan semangat nasionalisme yang tangguh, misal semangat  mencintai produk dalam negeri.
b.      Menanamkan dan mengamalkan nilai- nilai Pancasila dengan sebaik- baiknya.
c.       Menanamkan dan melaksanakan ajaran agama dengan sebaik- baiknya.
d.      Mewujudkan supremasi hukum, menerapkan dan menegakkan hukum dalam arti sebenar- benarnya dan seadil- adilnya.
e.       Selektif terhadap pengaruh globalisasi di bidang politik, ideologi, ekonomi, sosial budaya bangsa.

Dengan adanya langkah- langkah antisipasi tersebut diharapkan mampu menangkis pengaruh globalisasi yang dapat mengubah nilai nasionalisme terhadap bangsa dan lunturnya nilai-nilai Pancasila dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat Indonesia. Sehingga kita tidak akan kehilangan kepribadian bangsa sebagai Bangsa Indonesia.



KESIMPULAN
Pada akhirnya kami dapat menarik satu kesimpulan bahwa, hampir 75% nilai-nilai yang terdapat dalam Pancasila sudah luntur atau bahkan dilupakan oleh masyarakat Indonesia. Hal ini dikarenakan beberapa faktor internal dan eksternal yang telah kami jabarkan di atas. Apabila masyarakat Indonesia tidak segera berbenah diri dan mulai untuk mengimplementasikan nilai-nilai yang ada di dalam Pancasila kedalam kehidupan pribadi dan bernegara, maka bukan tidak mungkin bangsa kita akan menjadi bangsa yang tidak memiliki identitas, baik identitas ideologi ataupun identitas dari POLEKSOSBUDHANKAM. Jadi, masih bisakah kita memandang permasalahan lunturnya nilai-nilai Pancasila ini dengan sebelah mata? Masih bisakah kita untuk tetap melupakan nilai-nilai asli dari bangsa kita yang susah payah dirumuskan dan dikonsepkan oleh para Founding Father negara kita ?. Nasib bangsa Indonesia berada di tangan kita masing-masing.

DAFTAR PUSTAKA
http://nasional.kompas.com/read/2010/03/02/13444168/Presiden.Saksikan.Baku.Hantam.Anggota.DPR.Lewat.TV.
http://mylinekerr.blogspot.com/2012/03/dpr-nyaris-baku-hantam-kemarin-saat.html
http://www.pikiran-rakyat.com/node/171290
http://research.am3ikom.ac.id/index.php/STI/article/view/6402
http://www.scribd.com/doc/45198632/PANCASILA-4
http://news.okezone.com/read/extend/2009/12/04/343/281835/nenek-minah-pencuri-semangka-anggodo
http://www.scribd.com/doc/94263093/artikel-pancasila
http://hightek-bet.blogspot.com/2001/11/wujud-aplikasi-pancasila-sebagai-dasar.html
http://blog.tp.ac.id/pendidikan-sebagai-wahana-pembudayaan-pancasila





*Makalah Mata Kuliah Pendidikan Kewarganegaraan, Hubungan Internasional Universitas Diponegoro Semarang.
** Disusun Oleh :
1.    Beutari Octaviani
2.    Dea Tunjung Jatra Saputra
3.    Encik Mochammad Burhansyah
4.    Galih Kusumo Wardani
5.    Tahta Dika Rahardianto
6.    Nitya Amalia

Dosen Pengampu :Ibu Lusi Astrika, SIP, M.Si.

8 comments

Write comments
creamheroes
AUTHOR
Wednesday, 10 August, 2016 delete

Terimakasih banyak atas informasinya. Sangat sangat membantu ^_^

Reply
avatar
Unknown
AUTHOR
Tuesday, 31 October, 2017 delete

artikel ya tulisan ya baik, sangat membantu cuma sayang nggak bisa di copy ya mau ngak mau di ketik ulang makasih yah

Reply
avatar
Faiz Marwan
AUTHOR
Tuesday, 31 October, 2017 delete

Dengan menulis ulang, pemahaman akan tulisan semakin baik.

Reply
avatar
Faiz Marwan
AUTHOR
Tuesday, 31 October, 2017 delete

Silakan dapat dimanfaatkan seperlunya.

Reply
avatar
Unknown
AUTHOR
Friday, 30 March, 2018 delete

https://kholifaharifstyawan.wordpress.com/2014/12/25/makalah-lunturnya-nilai-nilai-budaya-pancasila/

kok tulisannya hampir sama persis ya dengan blog diatas

Reply
avatar
Faiz Marwan
AUTHOR
Monday, 02 April, 2018 delete

Hai Guruh Setyawan, terima kasih atensinya.
Lebih baik lagi kalau komentar ini juga dilontarkan ke blog tsb.
Dimana tulisan ini diposting Sep 2013, dan blog tsb memosting Des 2014.

:)

Reply
avatar

Terima kasih atas komentar anda.