Review- “Realism” dalam International Relations Theory: A Critical Introduction (2nd)

9:17 AM 0 Comments A+ a-

Pendahuluan
Realisme merupakan suatu perspektif (sudut pandang). Sebelum kita mempelajari lebih jauh tentang Realisme, sebaiknya kita memahami dulu apa yang dimaksud dengan perspektif. Perspektif merupakan sudut pandang pihak tertentu dalam melihat suatu masalah atau persoalan tertentu. Perspektif tidak mengenal benar atau salah. Karena masing-masing pihak mempunyai cara tersendiri dalam melihat persoalan maka hasil informasi dan hasil yang diperoleh juga berbeda. Perspektif ini bisa dianalogikan sebagai penglihatan dengan memakai kaca mata tertentu. Jika kita menggunakan kaca mata berwarna merah, maka benda yang kita lihat pun akan menjadi merah semua, jika memakai yang berwarna biru  maka seakan-akan menjadi biru semua.

“Realism is accepting the way things really are in life.”

Jika kita merujuk pada arti realisme secara harfiah, maka kita dapat memahami realisme sebagai pemikiran yang memandang sesuatu secara transparan, apa adanya dan sesuai kenyataan. Pemikir yang menganut realisme berpendapat bahwa pada sejatinya manusia itu egois dan mau menang sendiri. Istilah homo homini lupus juga mereka jadikan dasar pandangan. Setiap manusia akan selalu berusaha melakukan sesuatu untuk kepentingan diri mereka sendiri dan sering mengabaikan orang lain, sehingga potensi terjadinya konflik sangatlah besar. Jika manusia satu dengan manusia yang lain saja menimbulkan konflik, apalagi antar negara yang terdiri dari jutaan manusia?Apakah mungkin dapat hidup berdampingan secara damai?.

Asumsi Dasar di Kaca Mata Realisme?
Realisme memiliki beberapa asumsi dasar. Pertama, dalam Politik Internasional negara-negara yang terikat menjadi anggotanya tidak memiliki kekuatan yang lebih tinggi, padahal di satu sisi negara-negara anggota tersebut adalah negara yang berdaulat. Kalau seperti itu, apa artinya negara tersebut memiliki kedaulatan?. Sampai-sampai Biersteker dan Weber(1996) menyatakan bahwa kedaulatan adalah mitos.

Kedua, Realisme berasumsi bahwa pemerintahan dunia itu tidak ada. Setiap negara berdaulat atas wilayahnya sendiri dan tidak ada kekuatan yang lebih tinggi yang bisa memaksanya. Walaupun negara masuk menjadi anggota organisasi internasional tertentu, misal ASEAN, negara tersebut tetap mempunyai kedaulatan dan ASEAN tidak dapat memaksa ataupun mengintervensinya.

Asumsi ketiga menyimpulkan bahwa politik internasional adalah anarki. Karena tidak adanya pemerintahan dunia yang bisa mengatur suatu negara, maka sama halnya dengan memperbolehkan adanya peperangan.

Antara Realisme dan Neo-Realisme
Realisme dan Neo-realisme setuju bahwa tujuan utama dari negara-negara dalam anarki internasional ini adalah untuk bertahan hidup(survive). Negara melakukan hubungan dengan dunia internasional karena itulah kepentingan mereka. Negara menjalin hubungan dengan maksud membentuk suatu kekuatan yang besar. Jika suatu negara berdiri sendiri dan tidak bergabung dengan negara lain, maka kekuatan negara tersebut akan lemah. Sehingga memungkinkan negara tersebut akan diserang oleh negara lain yang mempunyai kekuatan yang lebih besar.

Realisme dan Neo-Realisme juga berpendapat bahwa tidak ada solusi dari anarki internasional. Suatu pemerintah dunia tidak akan pernah terbentuk karena setiap negara tidak akan secara sukarela menyerahkan kekuasaan mereka kepada pemerintahan dunia.

Letak perbedaan Realisme dan Neo-Realisme adalah tentang konsep anarki internasional. Salah satu tokoh realisme, Morgenthau, berpendapat bahwa pada dasarnya manusia itu cacat. Mungkin pada awalnya manusia tidak jahat, tapi dia akan tercemar oleh lingkungannya yang jahat. Sehingga dalam perilaku politik internasional akan anarkis dan menimbulkan konflik.

Sedangkan Kenneth Waltz dari Neo-Realisme menitikberatkan pada hubungan sosial antar negara daripada sifat manusia. internasional anarki dapat terbentuk karena hubungan sosial antar negara yang kurang baik. Pemikiran ini dapat dianalogikan sebagai berikut. Manusia yang baik dapat berperilaku buruk jika terpengaruh oleh lingkungan yang buruk, tetapi pada selanjutnya manusia yang berperilaku buruk tersebut dapat dihentikan jika mereka berada dalam lingkungan yang baik.


Perang, Kenapa Bisa Terjadi?

Pada tahun 1950, Waltz berpendapat bahwa penyebab perang dapat dilihat dari tiga kategori. Pertama Man, istilah ini merujuk pada sifat dasar(alamiah) manusia yang egois dan ingin menang sendiri. Jika setiap manusia tetap seperti itu, maka perang tidak akan bisa dihindari.

Kedua Negara, seperti yang pernah dikemukakan di awal, sifat manusia dapat dipengaruhi oleh lingkungan Diana mereka berada. Ketiga Perang itu sendiri, jika hubungan antar dua negara sudah panas dan tidak ada upaya untuk menghindari perang, maka perang akan terjadi.

Fungsi Ketakutan dalam Mitos anarki Waltz
Menurut Waltz, ketakutan berfungsi sebagai sarana pemersatu antar negara. Setiap negara berpikiran, jika mereka ingin tetap mempertahankan kehidupannya dan tidak diserang negara lain maka mereka harus bekerja sama dengan negara lain guna membentuk suatu kekuatan yang cukup besar. Setelah terbentuk kekuatan yang besar dan seimbang di dunia, maka perang dapat diminimalisir.  Di sinilah fungsi ketakutan diperlukan.

Kesimpulan
Realisme memiliki pandangan yang sesuai kenyataan dan apa adanya. Pada dasarnya manusia mempunyai potensi untuk bersifat anarki. Antar manusia saja akan terjadi konflik, apalagi antar negara di dunia.

Menurut saya, Konflik ini dapat ditekan dengan adanya organisasi internasional yang membentuk kekuatan yang besar dan menciptakan Balance of Power. Sehingga kemungkinan terjadinya perang akan dapat diminimalisir.
---


Review: Cynthia Weber- “Realism” dalam International Relations Theory: A Critical Introduction (2nd). 2005. New York: Routledge. 21 hal.

Referensi
Kamus Besar Bahasa Indonesia. www.kemendiknas.go.id
Longman Dictionary of American English. www.longman.com/dictionaries
Weber, Cynthia. 2005. “Realism” dalam International Relations Theory: A Critical Introduction (2nd). New York: Routledge.