Membasmi Tikus

8:17 AM 0 Comments A+ a-

Sejenak, memoriku melayang menuju lima tahun silam. Teringat tips sederhana yang disampaikan guruku dalam kelas sore itu. “Tips membasmi tikus.”

“Kalau di rumah ada tikus baik sedikit atau sudah banyak dan mulai berkeliaran di rumah asal belum kuasai rumah, ini tips mengusirnya. Tangkap tikus satu saja, tidak perlu banyak-banyak, lalu bunuh. Setelah dipastikan sudah mati, potong ekornya lalu bangkai beserta ekornya kubur di dalam rumah. Niscaya tikus yang lain akan tinggalkan rumah dengan sendirinya.”

Sebagai seorang murid polos, aku hanya memahami tips itu sebagai sekadar tutorial praktis, tak berusaha menangkap makna dan konsep dasar dari tips tersebut. Pagi ini di kala kegabutanku makin menjadi, otak malas ini mulai bertanya-tanya kala mengingat tips itu. Diksi-diksi di dalamnya “rumah, tikus, bunuh satu lalu potong ekor dan kubur dalam rumah” kenapa harus pakai diksi tersebut? Otak liar ini berusaha menafsirkan bebas versi dirinya sendiri.

Rumah. “Di sana tempat lahir beta, dibuai dibesarkan bunda, tempat berlindung di hari tua, sampai akhir menutup mata.” Mungkin petikan lagu itu mewakili penafsiran tentang rumah. Rumah lah yang secara de facto menjadi milik kita bersama keluarga secara turun-temurun. Tempat yang harapannya nyaman dihuni dan tepat dimana impian dan harapan disemai. Dalam rumah pasti berlaku aturan (rules) baik yang disepakati bersama atau dibuat oleh kepala rumah tangga.

Tikus. “Kotor dan rakus” itu kata yang terbesit spontan ketika mendengar istilah tikus. Tikus menyimbolkan aktor yang kotor, perantara datangnya penyakit, dan menjijikkan pastinya (tetiba ingat film RATS :( ). Tikus juga identik dengan rakus dan pencuri barang milik aktor lain, tak sopan pula. Bukan hanya makanan seperti ikan, nasi, tempe goreng, mie instan berbungkus, bahkan sabun mandi pun digerogoti tikus (anak kos paham lah dengan beginian). Mungkin, sosok pelanggar aturan (rules) juga bisa dikategorikan sebagai tikus. Sudahlah, konstruksi sosial yang terbentuk di masyarakat memang seperti itu.

Bunuh lalu potong ekor. Ekor merupakan salah satu bagian penting bagi tikus. Coba kita lihat tikus tanpa ekor, kasian, status ketikusannya diragukan, bukan? Begitu vitalnya ekor ini bahkan sudah mafhum di masyarakat “Eh, itu di belakang lemari ada tikus” padahal yang dilihanya cuma ekor :). Nah, potong ekor di sini bisa ditafsirkan sebagai sebuah hukuman yang berat dan sadis. Selain dibunuh, masih pula dimutilasi untuk menunjukkan kegarangan dan ketegasan.

Setelah mati dikubur dalam rumah. Muncul pertanyaa “Loh, bukannya bangkai tikus itu bau, perantara penyakit pula, kok dikubur dalam rumah, tak di luar rumah saja?” Begini loh, tips itu tidak salah kok. Tanah secara alamiah memiliki kemampuan menetralisir bau dan meminimalisir potensi penyakit yang dimiliki bangkai tikus. Asal menguburnya cukup dalam. “Memang sih, lalu bagaimana rasionalisasinya, kenapa harus dalam rumah menguburnya?” Begini, ketika tikus si korban yang sudah dimutilasi ekornya dengan sadir dan dilucuti status ketikusannya dikubur di dalam rumah, harapannya tuh para tikus lain beserta kroni-kroninya yang masih berdiam dalam rumah bisa mengambil pelajaran. “Kalau aku masih saja bertahan di rumah ini, lalu ketangkap, mungkin nasibku akan seperti dia. Kabur aja ah, pindah rumah sebelah.” Iya sih, ini personifikasi dan konspirasi yang mengada-ada. Tapi tak apa lah, kan penafsiran bebasku. :)

Diksi lain yang menggelitik lainnya adalah, “kenapa hanya satu saja yg dibunuh, kenapa tak dibunuh semua saja, pakai racun misalnya?” Ini lebih ke konsep efisiensi. Efisiensi dalam ekonomi secara sederhana bisa dipahami sebagai upaya menekan biaya dan tenaga sekecil mungkin guna mencapai tujuan tertentu. Konsep efisiensi ini pula dipakai para ahli strategi perang dalam merumuskan taktik yang bakal digunakan untuk menghancurkan pasukan musuh. Sebisa mungkin menggunakan persenjataan sedikit dan secepat mungkin membasmi musuh, entah memakai serangan gabungan berbagai matra ala Nazi, perang gerilya ala tentara Indonesia, perang candu ala Inggris di Tiongkok, jatuhkan bom atom di pusat pertahanan musuh ala AS di Jepang, atau bahkan cukup proxy war melalui media yang terbukti efektif bisa menyapu beberapa rezim di Timur Tengah saat gelombang Arab Spring. Jadi, dengan hanya membunuh satu saja dengan sadis dan dipamerkan ke yang lain, kita telah menerapkan konsep efisiensi. Tak perlu modal racun pula untuk membasmi semua tikus. Intinya, ngirit, cepat, dan tujuan tercapai.
----

Setelah mencoba menangkap makna dibalik tips itu, aku sadar, ternyata banyak juga tindakan orang di sekitar kita yang memakai inti sari dari tips itu. Mulai dari tataran media sosial hingga pergaulan dunia internasional. “Loh kok?” Iya, perlu aku kasih contoh? Okelah.

Dalam grup media sosial biasanya akan berlaku aturan (rules) baik yang dibuat oleh admin maupun yang telah disepakati bersama. Misal, dalam grup Diskusi Karya Tulis tidak boleh posting apapun selain yang berkaitan dengan Karya Tulis, baik politik atau iklan danusan. Ketika suatu saat ada salah satu anggota grup melanggar aturan, pantas dan wajar jika admin akan menelanjangi (red: memarahi) pelanggar itu di forum bahkan sampai menendangnya dari grup. Sebenarnya admin bisa memilih jalur sopan dan bijaksana, lewat chat privat misalnya. Tapi justru tujuan untuk menegaskan dan memberi peringatan ke semua anggota grup tidak tercapai jika tidak dilucuti di forum. Memakan satu korban, pesan tersampaikan ke semua. Anggota lain akan mengingat itu dan berusaha agar tidak diperlakukan sama dengan korban. Tidak akan ada lagi yang posting melanggar aturan lagi, admin cukup melakukan sekali saja. Begitulah, efisiensi.

Ada pula sosok yang menerapkan inti sari dari tips ini, Menteri Kementrian Kelautan dan Perikanan, Susi. Beliau menjadi garda depan untuk membasmi para pencuri ikan dari negara lain. Dengan jumlah pencuri yang banyak dan menyebar seantero lautan Nusantara, tenaga yang dimiliki KKP sulit untuk menangkap semuanya. Nah, di sinilah beliau memutar otak bagaimana caranya agar tujuan pemberantasan pencuri teratasi dengan sumber daya yang dimilikinya, konsep membasmi tikus ini yang diterapkan. Cukup menangkap beberapa kapal, lalu musnahkan dengan sadis. Tidak sadis bagaimana, lha wong pas di awal-awal kebijakan ini diterapkan yang dihancurkan itu hanya kapal kayu nelayan tradisional biasa sedangkan bom yang digunakan untuk menghancurkan mahal harganya, lihat ini. “Kenapa tidak cukup modal solar aja satu jerigen lalu dibakar di daratan. Toh bakal habis juga.” Ya, ini untuk menunjukkan kesadisan intinya. Lalu berita ini disebarkan ke semua penjuru dunia melalui media agar menjadi pengingat bagi pencuri yang masih bersarang di lautan Nusantara.

Dalam tataran dunia internasional juga ada negara yang pernah menerapkan konsep ini, Amerika Serikat. AS (bersama sekutunya) pernah membombardir Afganistan dan Irak dengan dalih memberantas teroris yang melakukan aksi di Gedung Kembar World Trade Center (WTC) 9/11. AS dengan bangga melakukan tindakan sadis tersebut dan memamerkannya ke penjuru dunia. Seakan-akan AS memberikan mengatakan “Hai negara yang melindungi teroris, akan sama nasibnya seperti kedua negara ini.”
---

Coba kita tilik komunitas sekitar kita, mulai dari lingkup terkecil hingga menyeluruh, baik dunia maya, organisasi, pejabat publik, maupun kebijakan rezim internasional. Mungkin bakal menemukan penerapan konsep membasmi tikus ini. Ketika menjumpai aktor yang menerapkan konsep ini, jangan buru-buru menjudge “Wah, galak amat, sadir, tidak bijaksana” Ini demi penegakan aturan, keberlangsungan komunitas, dan kebaikan bersama, bukan? Monggo bagi pemangku kebijakan bisa juga sekali-kali coba memakai konsep membasmi tikus ini.

Namun, masih ada yang mengganjal di benakku gegara perkataan Gus Dur “Kalau lumbung sudah dikuasai tikus, mending kita bakar aja lumbungnya...”
Bentar-bentar, jangan buru-buru. Perlu selidiki dulu, penanganan korupsi di Indonesia tepatnya pakai konsep membasmi tikus ala guruku atau membakar lumbung ala Gus Dur?

Sekian.
---

Pengunjung yang baik adalah yang meninggalkan jejak.