Bakar Daun Basah

10:17 AM 0 Comments A+ a-

Ucapan Sang Juragan masih terpatri dalam benak,

"Lihat saja, perkumpulanmu tak akan bertahan lama. Mereka masih kolot, tak haus akan ilmu. Seminar Nasional dan diskusi ilmiah datang sekadar isi daftar kehadiran. Kalau gak diwajibin, mana mungkin datang?" Apalagi perjuangkan forum diskusi dan kelas menulis.

Si Cebol coba lawan dalam benak,

"Kalau kita tak memulai merintisnya, lalu kapan akan berubah budaya (yg menurut Juragan) kolot ini? Mohon doanya Gan"

"Untuk apa doa, tak mempan!. Dunia keras, harus dipaksa. Harus ada kemauan," bentak Juragan.

Layaknya menyulut api guna bakar semak daun basah. Entah sampai kapan.

"Ah.."

"Tapi, mungkin sekali terbakar, api akan semakin membara. Lalap apa saja di sekitarnya. Asap akan membumbung tinggi ke angkasa. Terbawa angin hingga belahan dunia sana, tunjukkan keperkasaannya."

"Ya, asap akan memenuhi forum-forum nasional bahkan internasional. Dibicarakan, pengaruhi iklim dunia," tutup Juragan.
----------

Terima Kasih Tuan Kompeni

8:48 AM 0 Comments A+ a-

Tuan Niccolo Moreno sibuk dalam kamarku: meriasku. Selama merias tak hentinya ia bicara dalam Belanda. Menurut ceritanya: ia sering merias para bupati, para raja di Jawa. Pakaian pasukan pengawal para raja di Jawa ia juga yang merencanakan.

Kemudian ia kenakan padaku kain batik dengan ikat pinggang perak. Sehingga muncul watak ke-Jawa Timur-annya yang gagah. Sebuah blangko, kreasi Niccolo Moreno sendiri. Menyusul sebilah keris bertatahkan permata.

Jelas aku keturunan satria Jawa maka sendiri seorang satria Jawa juga. Hanya mengapa justru bukan orang Jawa yang membikin aku jadi begini gagah? Dan ganteng? Mengapa orang eropa? Mungkin Italia? Mungkin tak pernah mengenakan sendiri? Sudah sejak Amangkurat I pakaian raja-raja jawa dibikin dan direncanakan oleh orang eropa.

Dandananku Jawa tulen, melupakan semua unsur Eropa pada kemeja-dada, Gombak, dasi, malah lupa pada lasting dan beledru yang semua bikinan Inggris. (Disarikan dari “Bumi Manusia”, Pram Ananta Toer, 2005, hlm: 196-198)
---

Eksportir-importir sibuk di negeri ini: melayani, memenuhi perut kami. Mereka berbahasa non-Indonesia. Merekalah yang selama ini (mungkin bersusah payah) memenuhi kebutuhan pangan rakyat Indonesia. Baik, bukan?

Mereka mendatangkan bahan makanan dari luar negri. Kedelai, gandum, jagung, daging, dan padi mengalir deras ke negri ini, negri yang ‘katanya’ negara agraris, tanah surga, subur loh jinawi. Bahkan negara dengan garis pantai terpanjang ke-2 ini pun masih perlu datangkan garam dari negara luar.

Jelas aku orang Indonesia. Hanya mengapa justru bukan orang Indonesia sendiri yang memenuhi pangan dalam negri? Mencukupi pangan sendiri, kedaulatan pangan (food sovereignity), pastikan makanan yg aman (food safety), menjaga keamanan pangan (food security). Mengapa negara lain? Mungkin AS, Tiongkok, atau bahkan Vietnam? Mungkin tak makan kedelai dan beras produksi mereka ‘tipe’ ini (tipe: Genetically Modified Organism). Sudah sejak kran impor dibuka, perdagangan bebas membuat impor pangan makin deras.

Di belahan dunia sana, diaspora orang Indonesia dengan bangga promosikan tahu dan tempe sebagai kuliner Indonesia. Makan tahu tempe dapat sedikit obati rasa kangen dengan tanah asal, Indonesia. Malah lupa, tahu dan tempe yang diklaim jadi makanan khas dan mayoritas penduduk Indonesia makan ini bahan bakunya impor, tahun 2013 hampir 90% kedelai impor dari AS (tempo, 2014). (Mengikuti alur pemikiran Pram Ananta Toer dalam Bumi Manusia)

Mengapa Ganjar menang?

7:46 PM 0 Comments A+ a-

Kemenangan Ganjar Pranowo dalam Pemilihan Gubernur Jawa Tengah merupakan hal yang unik. Patut diamati. Walaupun jika dilihat dari prosentase penguasaan di DPRD, PDI-P sebagai pengusung Ganjar Pranowo- Heru Sudjatmiko (Gagah) (23 %) kalah dibanding calon yang lain. Selain itu, hasil survey beberapa Lembaga survey awal april (dua bulan sebelum pilkada) melihat bahwa Ganjar kalah popular dibanding calon yang lain terutama calon incumbent, Bibit Waluyo. Namun, ternyata saat pemilu Ganjar bisa menang telak dibanding calon yang lain.

Jika dianalisis dengan menggunakan pandangan teoritis tentang perilaku politik dan perilaku memilih, Ada beberapa hal yang bisa menjelaskan kenapa ganjar bisa menang di Jateng. Seperti figure kandidat, identifikasi kepartaian, kelas social, umur dan gender, rational choice dan lainnya.

Pertama, masyarakat Jawa Tengah melihat Ganjar Pranowo sebagai tokoh yang bersih dari korupsi, pintar dan berwawasan luas mudah diterima oleh masyarakat dan bisa membawa perubahan ke arah lebih baik bagi Jawa Tengah. Sementara calon incumbent Bibit Waluyo yang dalam pilkada sebelumnya didukung PDIP dengan semua prestasinya, ternyata tidak berhasil meyakinkan publik Jawa Tengah. Ia tidak bisa meyakinkan masyarakat, jika terpilih lagi akan membuat Jawa Tengah menjadi lebih baik lagi.

Figur Ganjar Pranowo merupakan calon muda, gagah, dan enerjik. Selain itu, Ganjar lebih karismatik dan lebih muda disbanding calon yang lain. Ini cukup memikat para pemilih pemula terutama wanita.

Kedua, Ganjar Pranowo, mendapat dukungan yang solid dari Partai Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Itu dapat dilihat dari instruksi Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri. Mega mengatakan daerah lain boleh kalah, tapi Jawa Tengah adalah bumi Marhaenisme dan harus menang. PDIP mampu memobilisasi pendukung-pendukungnya untuk memenangkan salah satu calonnya

Sementara calon incumbent Bibit Waluyo yang dalam pilkada sebelumnya didukung PDIP dengan semua prestasinya, ternyata tidak berhasil meyakinkan publik Jawa Tengah. Ia tidak bisa meyakinkan masyarakat, jika terpilih lagi akan membuat Jawa Tengah menjadi lebih baik lagi.

Selain itu, identifikasi kepartaian para pendukung PDI-P juga berperan. PDI-P merupakan partai yang solid. Mereka mampu memobilisasi pendukung-pendukungnya untuk memenangkan salah satu calonnya. Walaupun pada awalnya hampir terjadi perpecahan karena Rustriningsih yang mempunyai basis massa pendukung yang cukup kuat di beberapa kabupaten/ kota di Jateng belum menentukan dukungannnya, tapi pada akhirnya menentukan dukungannya ke Ganjar. Oleh sebab itu, selain figur mesin politik PDIP di Jateng nampaknya juga menjadi penentu kemenangan mutlak Ganjar-Heru.

Hal ini juga sekaligus membuktikan, bahwa massa pendukung PDIP di Jateng, masih sangat loyal terhadap partainya. Massa pendukung PDIP juga nampaknya tidak mau tercerai-berai, disebabkan persoalan Rustriningsih yang tidak jadi calon Gubernur.

Sikap ini juga sekaligus menunjukkan pilihan rasionil dari para pendukung PDIP di Jateng, dengan pertimbangan, jika tidak mendukung pilihan DPP PDIP, maka tidak akan mendapatkan apa-apa juga. Apalagi diantara ketiga pasangan ini, ada kader PDIP (Don Murdono) dan mantan dukungan PDIP di 2008 (Bibit Waluyo), yang jelas sudah berseberangan.

Terbuktilah, pada ‘injure time’, penentuan sikap untuk satu pilihan yang diusung PDIP, akhirnya menjadi dukungan total massa pendukungnya. Dan hal ini juga sekaligus membuktikan, bahwa provinsi Jateng, masih sebagai basis massa PDIP, yang belum tergoyahkan.

Jadi, bisa disimpulkan bahwa kemenangan ganjar di pilkada jateng tahun 2013 tidak disebabkan salah satu faktor saja, tapi didukung beberapa factor/variabel yang berjalan bersama-sama seperti figur ganjar yang gagah, kharismatik dan  bersih, mesin partai yang solid tidak ada perpecahan, pilihan rasional pemilih yang menginginkan calon pemimpin yang bisa membawa jateng ke arah yang lebih baik, dan kedekatan partai pendukungnya.

Emas dan Perak Sebagai Mata Uang Internasional, Yakin?

11:29 PM 0 Comments A+ a-

Gilpin, seorang pakar ekonomi politik internasional menjelaskan tentang sistem perdagangan internasional yang bebas. Dalam buku Global Political Economy, Gilpin mendefinisikan Perdagangan Bebas sebagai upaya meniadakan campur tangan pemerintah dalam sistem perdagangan, dimana perdagangan (ekspor-impor) akan diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar baik pasar regional seperti AFTA maupun pasar global.

Dengan adanya perdagangan bebas ini, pemerintah dituntut untuk menghilangkan hambatan-hambatan dalam perdagangan seperti tarif, kuota, bahkan subsidi baik subsidi ekpor maupun subsidi produksi. Selain tuntutan kepada system masing-masing negara, perdagangan bebas juga menuntut adanya strukturisasi mekanisme ekonomi global seperti finansial dan  moneter. Salah satu hal yang perlu disepakati adalah penggunaan mata uang bersama sebagai mata uang internasional yang dapat digunakan dalam transaksi perdagangan internasional, dan itu sudah disepakati yakni Dolar Amerika Serikat (USD).

Sejarah Mata Uang Internasional

Awalnya telah disepakati penggunaan emas sebagai standar global nilai mata uang melalui perjanjian Bretton Woods. Setelah Perang Dunia II usai negara-negara dunia lumpuh kecuali AS. AS cukup memiliki kekuatan politik dan ekonomi yang besar kala itu. AS memberikan pinjaman ke berbagai negara. Pinjaman ini diberikan dalam bentuk Dollar Amerika. Sebagai jaminan, Amerika menerima emas yang dimiliki negara-negara ini. Hasilnya, Amerika otomatis menguasai seluruh emas di dunia dan jadinya hanya Dollar Amerika yang nilainya disokong oleh emas. Secara praktis, ini berarti Dollar Amerika telah menggantikan emas sebagai sumber likuiditas perekonomian dunia dan menjadi basis sistem keuangan dunia. Implikasinya, setiap negara membangun cadangan devisa dalam bentuk Dollar Amerika; cadangan Dollar diperlukan agar mata uang negara yang bersangkutan dapat ditukarkan dengan Dollar atau emas. Ini merupakan titik di mana mata uang Amerika menjadi mata uang internasional.[1]

Sebelum tahun 1971, setiap dollar yang dicetak dijamin dengan emas dan dijadikan cadangan devisa US untuk tiap Negara yang bertransaksi dengan US. Setiap pencetakan USD 35 equal dengan satu ons emas sebagai back up. Namun, makin lama  US semakin kehilangan cadangan emas karena parner menukar cadangan US$ dengan emas. Secara sepihak, US keluar dari kesepakatan yang dibuatnya sendiri. Dunia terkejut bukan kepalang, namun dollar terlanjur mengglobal bahkan menjadi standar cadangan devisa negara. Akibatnya, uang kertas dollar tersebut dicetak tanpa jaminan.

Penggunaan mata uang USD dalam perdagangan Internasional merupakan salah satu hal yang belum bisa saya terima. Bukankah hal itu membuat persaingan tidak fair dimana AS sebagai pemilik mata uang tersebut selalu diuntungkan karena uangnya bisa diterima semua negara. Bahkan perdagangan bilateral antara negara yang tidak ada sangkutpautnya dengan AS pun memakai USD. Padahal AS sendiri bebas mencetak mata uangnya sendiri sesuka mereka. Asal trust terhadap mata uang mereka tetap baik, maka negara-negara seluruh dunia akan secara suka rela menerimanya. Negara-negara yang punya sumber daya alam melimpah berupa minyak dan gas, produk tambang, produk perikanan dan pertanian akan mudah ditarik ke AS dan ditukar dengan USD. [2] Ini salah satu letak ketidak-fair-annya.

Alternatif dan Stabilitas Nilai

Salah satu solusi yang ditawarkan oleh pengamat ekonomi dunia saat ini adalah kembalinya penggunaan emas dan perang sebagai standar alat tukar internasional, seperti yang disuarakan oleh ekonom islam. Emas dan perak pernah dibuat dan berlaku di Indonesia sebagai mata uang resmi sejak abad ke-14 berupa Dinar dan Dirham. Emas dan perak pernah mendominasi pasar-pasar di sebagian besar Nusantara, antara lain di Pasai, Malaka, Banten, Cirebon, Demak, Tuban, Gresik, Gowa, dan Kepulauan Maluku. Dinar adalah koin emas berkadar 22 karat (91,70%) dengan berat 4,25 gram. Sedangkan Dirham perak adalah koin perak murni (99.95%) dengan berat 2,975 gram.

Emas dan perak merupakan alat tukar paling stabil yang pernah dikenal oleh dunia. Sejak awal sejarah Islam sampai saat ini, nilai dari mata uang Islam yang didasari oleh mata uang bimetal ini secara mengejutkan sangat stabil jika dihubungkan dengan bahan makanan pokok, dahulu harga seekor ayam pada tahun 680’an adalah satu Dirham emas, dan saat ini, 1.400 tahun kemudian, harga seekor ayam tetaplah satu Dirham emas. Selama 1.400 tahun nilai inflasinya adalah nol. Hal ini sulit ditemukan fenomena yang sama terhadap Dollar atau mata uang lainnya.[3] Bisa dikatakan bahwa penggunaan emas dan perak memberikan keuntungan karena bebas inflasi. Mungkin hanya biaya produksi lah yang dapat pengarui harga barang terhadap mata uang emas dan perak.

Jika melihat dari sisi ini, memang penggunaan mata uang emas dan perak sebagai alat tukar atau mata uang internasional merupakan hal yang logis dan rasional. Emas dan perak memberikan harapan baru terhadap kondisi perekonomian dunia yang kian tak menentu, rawan inflasi, dan menurut anggapan beberapa pengamat tidak fair. Pilihan ini bukan sekadar alasan kembali ke jalan yang telah ditetapkan suatu agama tertentu. Tapi ini merupakan upaya alternatif untuk memperbaiki kondisi perekonomian dunia saat ini.

Namun tak bisa dipungkiri, penggunaan emas dan perak menggantikan USD tak semudah membalikkan telapak tangan. Ini dikarenakan telah mencokolnya USD secara ekonomi dan pengaruh kuat AS sebagai negara adidaya secara politik. Selain itu, semenjak AS memberikan pinjaman ke banyak negara berupa USD dan menarik emas dari negara-negara peminjam ke AS, rasanya niatan penerapan sistem ini makin rumit. Kecuali ada negara atau komunitas negara berpengaruh secara ekonomi yang bersepakat untuk penggunaan emas dan perak sebagai alat tukar dalam perdagangan internasionalnya. Negara-negara tersebut mensyaratkan penggunaan emas dan perak dalam setiap transaksi yang dilakukannya, baik dengan intra maupun ekstra komunitas. Lalu, kira-kira negara mana saja yang memiliki komitmen tersebut dan memiliki sumber daya alam besar guna ditukar dengan gunungan emas yang telah ditimbun AS guna menarik emasnya kembali dan akhirnya mampu memaksa dunia kembali menggunakan emas? :)

[1] Ridawati, Mujiatun. 2012. Dollar sebagai Uang International.

[2] Ready Advancer. 2014. Siapa Menguasai Emas, dia Menguasai Dunia. Kompasiana.com

[3] Azifah, Nur. 2012. Dinar Dirham dan Lintas Perkembangannya di Indonesia. Gunadarma University.

The Study of International Political Economy

11:16 PM 0 Comments A+ a-

Pendahuluan

Menurut Gilpin, kajian tentang Ekonomi Politik Internasional (International Political Economy-IPE) merupakan kebutuhan yang sangat bergantung pada teori dan wawasan neoklasik ekonomi. IPE sangat tertarik dalam distribusi keuntungan dari aktivitas pasar. Meskipun, setidaknya dalam jangka panjang, setiap masyarakat keuntungan benar-benar dari fungsi efisien dari pasar internasional, keuntungan jarang didistribusikan secara merata di antara semua pelaku ekonomi. Sedangkan ekonom menganggap pasar sebagai mekanisme mengatur diri sendiri yang terisolasi dari urusan politik, spesialis dalam IPE tertarik pada fakta bahwa ekonomi dunia memiliki dampak yang besar terhadap kekuasaan, nilai-nilai, dan otonomi politik nasional masyarakat. Negara memiliki insentif yang kuat untuk mengambil tindakan yang melindungi mereka sendiri nilai-nilai dan kepentingan, terutama mereka kekuatan dan kebebasan dari tindakan, dan mereka juga berusaha untuk memanipulasi kekuatan pasar untuk meningkatkan kekuatan mereka dan pengaruh atas saingannya atau untuk mendukung negara-negara yang ramah.


Aktivitas Ekonomi dan Pemerintahan Ekonomi Global

Ilmu ekonomi menekankan alokasi sumber daya yang efisien langka dan keuntungan mutlak dinikmati oleh semua orang dari kegiatan ekonomi, sarjana negara-sentris ekonomi politik internasional menekankan konsekuensi distributif kegiatan ekonomi. Menurut ekonomi, pertukaran terjadi karena saling menguntungkan. Di sisi lain, berpendapat bahwa pelaku ekonomi yang penuh perhatian tidak hanya untuk mutlak tetapi juga untuk keuntungan relatif dari hubungan ekonomi; yaitu, tidak hanya untuk keuntungan mutlak untuk diri mereka sendiri, tetapi juga untuk ukuran keuntungan mereka sendiri untuk keuntungan relatif dari aktor-aktor lain. Pemerintah prihatin tentang hal perdagangan, distribusi keuntungan ekonomi dari investasi asing, dan, khususnya, tingkat relatif pertumbuhan ekonomi antara ekonomi nasional. Memang, isu keuntungan relatif jarang jauh dari pikiran para pemimpin politik.

Pentingnya keuntungan relatif untuk perilaku ekonomi dan dalam perhitungan negara-bangsa diakui setidaknya pada awal tulisan ekonomi filsuf politik abad kedelapan belas David Hume (1711-1776). Sezaman merkantilis Hume berpendapat bahwa bangsa harus mencari surplus perdagangan dan pembayaran, mendasarkan argumen mereka pada asumsi bahwa itu hanya keuntungan relatif yang benar-benar penting. Dalam bahasa sekarang ini teori permainan, perdagangan internasional selama era merkantilis itu dianggap sebagai zero-sum game dimana keuntungan untuk salah satu pihak tentu berarti kerugian yang lain.

Selanjutnya, formulasi oleh David Ricardo (1772-1823) dari hukum atau prinsip keunggulan komparatif mengungkapkan bahwa setiap bangsa bisa mendapatkan secara absolut dari perdagangan bebas dan dari pembagian kerja internasional berdasarkan spesialisasi teritorial. Modifikasi berikutnya dari teori Ricardo menyarankan bahwa negara juga tertarik pada keuntungan relatif dari perdagangan.

Ketika sebuah negara memiliki berat absolut dibandingkan keuntungan relatif, kekuatan militer adalah jauh pertimbangan yang paling penting; negara yang luar biasa enggan, misalnya, untuk perdagangan keamanan militer untuk keuntungan ekonomi. Negara-bangsa modern (seperti merkantilis abad kedelapan belas) sangat prihatin tentang konsekuensi dari kegiatan ekonomi internasional untuk distribusi keuntungan ekonomi. Seiring waktu, distribusi yang tidak merata dari keuntungan ini pasti akan mengubah keseimbangan kekuatan internasional ekonomi dan militer, dan dengan demikian akan mempengaruhi keamanan nasional. Untuk alasan ini, negara selalu sangat sensitif terhadap efek ekonomi internasional pada tingkat relatif pertumbuhan ekonomi. Pada awal abad kedua puluh satu, perhatian difokuskan pada distribusi kekuatan industri, terutama di industri-industri teknologi tinggi sangat penting untuk posisi kekuasaan relatif dari masing-masing negara. Distribusi wilayah industri dan kemampuan teknologi adalah masalah keprihatinan besar bagi setiap negara dan isu utama dalam ekonomi politik internasional.

Penciptaan rezim internasional yang efektif dan solusi untuk masalah kepatuhan membutuhkan kedua kepemimpinan internasional yang kuat dan struktur pemerintahan internasional yang efektif. Rezim dalam diri mereka sendiri tidak dapat memberikan struktur pemerintahan karena mereka tidak memiliki komponen yang paling penting dari tata-kekuatan untuk menegakkan kepatuhan. Rezim harus beristirahat bukan atas dasar politik yang mapan melalui kepemimpinan dan kerja sama. Meskipun banyak sarjana liberal mempertimbangkan konsep hegemoni dan rezim tidak sesuai atau bahkan bertentangan satu sama lain, rezim yang mengatur urusan ekonomi tidak dapat berfungsi tanpa pemimpin yang kuat atau hegemon. Teori stabilitas hegemonik berpendapat bahwa pemimpin atau hegemon memfasilitasi kerjasama internasional dan mencegah pembelotan dari aturan rezim melalui penggunaan pembayaran sisi (suap), sanksi, dan / atau cara lain tapi jarang dapat, jika pernah, memaksa negara enggan untuk mematuhi aturan tata ekonomi internasional liberal.

Hegemon Amerika memang memainkan peran penting dalam membangun dan mengelola ekonomi dunia setelah Perang Dunia II; dukungan yang kuat dan kerjasama yang diberikan oleh sekutu Perang Dingin Amerika Serikat. Selain itu, sebagai Downs dan Rocke menunjukkan, kepatuhan rezim akhirnya tergantung pada dukungan domestik. Rezim pasca-Perang Dunia II beristirahat pada apa yang John Ruggie disebut "kompromi tertanam liberalisme," di mana pemerintah dapat dan jangan campur tangan dalam perekonomian domestik mereka untuk mempromosikan kesempatan kerja penuh, tetapi juga harus sesuai dengan yang telah disepakati aturan internasional. Liberalisasi perdagangan pascaperang secara politis dapat diterima karena pemerintah mengejar kebijakan untuk menjamin kesempatan kerja penuh dan untuk mengkompensasi mereka yang terluka oleh pembukaan pasar nasional dalam perdagangan internasional. Solusi dari masalah pemerintahan itu, selama beberapa dekade, dicapai melalui kepemimpinan, kerja sama internasional, dan konsensus domestik.

Kesimpulan

Meskipun ilmu ekonomi adalah dasar yang diperlukan untuk pemahaman ekonomi politik internasional, tulisan ini memfokuskan perhatian pada interaksi pasar dan aktor-aktor politik. Ekonomi sendiri adalah alat akurat dan cukup untuk analisis isu-isu penting seperti distribusi internasional kekayaan dan kegiatan ekonomi, dampak ekonomi dunia pada kepentingan nasional, dan efektivitas rezim internasional. Penulis ini menolak gagasan populer yang hukum ekonomi universal dan kekuatan ekonomi yang kuat sekarang memerintah ekonomi global. Meskipun meningkatnya globalisasi ekonomi dan integrasi antara ekonomi nasional, masih perlu untuk membedakan antara ekonomi nasional dan internasional. Batas-batas politik yang dan akan membagi ekonomi dan kebijakan ekonomi satu bangsa dari orang-orang lain; pertimbangan politik juga berpengaruh signifikan terhadap dan membedakan kegiatan ekonomi di satu negara dari depan. Negara, dan pelaku lainnya juga, menggunakan kekuasaan mereka untuk mempengaruhi kegiatan ekonomi untuk memaksimalkan kepentingan ekonomi dan politik mereka sendiri.

The Study of International Political Economy dalam Global Political Economy (Chapter 4) Robert Gilpin

Lagu, Tari, dan Musik dalam Satu Seni, Gambang Semarang

9:46 AM 0 Comments A+ a-

Empat penari kian kemari / Jalan berlenggang, aduh… / Langkah gayanya menurut suara / Irama gambang//
Sambil bernyanyi, jongkok berdiri / Kaki melintang, aduh… / Sungguh jenaka tari mereka /
Tari berdendang//
Bersuka ria, gelak tertawa / Semua orang / Kar’na hati tertarik gerak-gerik /
Si tukang gendang//
Empat penari membikin hati / Menjadi senang, aduh… / Itulah dia malam gembira / Gambang Semarang//

Begitulah lirik dari lagu Gambang Semarang “Empat Penari” yang diciptakan oleh Oey Yok Siang tahun 1940. Lagu Gambang Semarang sering dimainkan penari dan penyanyi keturunan Tionghoa. Penari berkebaya encim dengan batik ”semarangan”, diiringi kendang, kecrek, suling, bonang, kempul, dan gong, serta alat musik dari bilah-bilah kayu atau yang disebut gambang.Lagu yang didendangkan sangat menyatu dengan tarian yang dilenggokan dengan gemulai sehingga nampak elok. Kekhasan tariannya terletak pada gerak telapak kaki yang berjungkit-jungkit sesuai irama lagu yang lincah dan dinamis.

Uniknya, tidak hanya alat musik Jawa, alat musik Tionghoa pun juga dipergunakan seperti gesek, konghayan atau tohyan.Gambang Semarang menunjukkan pengaruh Tionghoa yang cukup kuat dalam budaya di Kota Semarang.Ini mencerminkan akulturasi budaya Jawa-Tionghoa.

Alklisah, kesenian Gambang Semarang dibawakan oleh kelompok Gambang Kromong yang berasal dari daerah Kedaung, Bulak, Jakarta Selatan.  Kelompok yang berdiri pada tahun 1930-an ini bernama Putri Kedaung dimana ia diawaki oleh Subardi bersama kakak-kakaknya, Sian, Mpok Neni, Mpok Royom, dan Mpok Ira. Kelompok Putri Kedaung ini kemudian hijrah dari Jakarta. Mereka berpindah-pindah mulai dari Bogor, Bandung, Pekalongan dan Weleri, hingga akhirnya, mereka tiba di Semarang. Di kota inilah, kesenian Gambang dikenal dengan sebutan Gambang Semarang.

Gambang Semarang muncul dan mulai berkembang di Semarang dengan bentuk paguyuban yang anggotanya terdiri dari pribumi dan peranakan Tionghoa. Pementasan kebudayaan ini dilakukan di Gedung pertemuan Bian Hian Tiong, Gang Pinggir. Hingga kini, Gambang Semarang lebih sering nampak dalam perayaan-perayaan tertentu seperti dugderan dan festival seni budaya.

Meski demikian, Gambang Semarang terus mengalami pasang surut hingga akhirnya muncul generasi kedua pada tahun 1957. Saat itu, muncul kelompok baru di bawah pimpinan Lie Tik Boen. Ada hal yang membedakan generasi ini dengan generasi sebelumnya, yakni dalam hal penampilan. Penampilan Gambang Semarang pada generasi ini diwarnai dengan irama music melayu, musik pop, juga lagu Mandarin serta Keroncong.

Pada generasi sekarang, kebanyakan masyarakat Kota Semarang pecinta Gambang Semarang, khususnya anak muda, lagu yang paling diingat adalah Empat Penari. Berbeda dengan generasi tua yang lebih mengenal lagu Malu-Malu Kucing. Hingga kini, salah satu kelompok Gambang Semarang yang masih bertahan adalah Sentra Gambang Semarang. Kelompok ini dipimpin oleh Dimyanto Jayadi dan Putra Subardi.

*oleh: Faiz, Maya, dan Klaudia dimuat dalam Newsletter Universitas Diponegoro edisi Pimnas 27 tahun 2014

Undip Lestarikan Pemikiran Gus Dur

7:14 AM 0 Comments A+ a-

Semarang– Komunitas Gusdurian Universitas Diponegoro (Undip) berupaya lestarikan pemikiran Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dengan menggelar kegiatan “Kelas Pemikiran Gus Dur (KPG)” di Kampus Fakultas Ilmu Budaya Undip Semarang, Sabtu-Ahad (13-14/6). Kegiatan ini merupakan kerjasama antara Komunitas Gusdurian Undip dengan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Ilmu Budaya Undip.
KPG merupakan upaya untuk melestarikan, menghidupkan, dan melanjutkan pemikiran Gus Dur. Perlu jembatan untuk memahami gagasan Gus Dur yang begitu kompleks yakni dengan cara memberikan pemikiran Gus Dur yang lebih general sebagai pembuka pintu gerbang terhadap pemikiran Gus Dur yang lebih spesifik dan mendalam,” ujar Muhammad Subhan, Koordinator Gusdurian Undip. Harapan dengan diadakan acara ini, peserta dapat memahami pemikiran Gus Dur yang pernah menjadi Ketua PBNU dan Presiden Indonesia. Terutama Sembilan nilai utama Gus Dur yang meliputi ketauhidan, kemanusiaan, keadilan, kesetaraan, pembebasan, kesederhanaan, persaudaraan, keksatriaan, dan kearifan lokal. “Sehingga pemikiran Gus Dur dapat tetap dilestarikan dan diaplikasikan oleh orang-orang yang selama ini mengikuti pemikiran Gusdur.”
Diskusi tentang pemikiran Gus Dur dari sisi keagamaan dan kebangsaan ini dihadiri oleh putri Gus Dur, Alissa Wahid, yang sekaligus merupakan Koordinator Sekretariat Nasional (Seknas) Gusdurian. KPG terdiri dari enam sesi diskusi yang diikuti oleh 25 peserta dari berbagai daerah seperti Semarang, Tegal, Yogyakarta, Rembang, bahkan Malang. “Peserta yang mayoritas mahasiswa ini sengaja kami batasi, agar kegiatan lebih efektif,” terang Subhan.
“Lewat Kelas Pemikiran Gus Dur ini, saya yakin akan mampu menyebarkan benih-benih toleransi dan pluralisme,” kata Agung Saeputro, peserta KPG asal Semarang. Peserta diajak menuju pemahaman yang lebih luas tentang agama dan bangsa. Sehingga dapat menghadapi kehidupan modern yang dinamis dan mengikis berbagai tendensi dan ketegangan kehidupan majemuk terutama di Indonesia.




*dimuat di Majalah Aula Agustus 2015 edisi khusus Muktamar Nahdlatul Ulama ke-33.
Segera dapatkan di toko majalah atau agen terdekat Kota Anda.



Demokrasi dan Terorisme, Berkaitan (?)

11:11 PM 0 Comments A+ a-

Tentara Chad bersorak-sorak saat berhenti dalam perjalanan mereka menuju Mali, Rabu (30/1/2013). Pasukan ini akan menjadi bagian dari pasukan International Support Mission to Mali (AFISMA) yang terdiri atas pasukan dari berbagai negara Afrika yang akan membantu Mali memerangi pasukan pemberontak terkait Al Qaeda. (JIBI/SOLOPOS/Reuters) Sumber: solopos.com
Dalam tulisan ini, penulis akan menyoroti dua negara yang sama-sama demokrasi tapi terdapat fenomena yang berbeda. Dimana negara pertama mempunyai masalah terorisme yang serius, sedangkan negara kedua jarang memiliki masalah dengan terorisme.
Sebelum membahas hubungan antara demokrasi dan terorisme, sebaiknya pembaca dan penulis menyelaraskan persepsi melalui definisi dulu. Karena kemungkinan beda pendapat pasti ada dan jika persepsinya saja berbeda, kemungkinan celah perdebatan akan semakin lebar.
Demokrasi yang dimaksud dalam tulisan ini adalah sistem pemerintahan yang dianut suatu negara dimana kekuasaan tertinggi ada di tangan rakyat. Aspirasi rakyat dan kebebasan berpendapat diakomodir dengan baik oleh negara serta hak asasi manusia setiap warga negara dijamin. Sedangkan definisi terorisme yang digunakan dalam tulisan ini adalah terorisme sebagai suatu sikap (attitude) bukan sebagai pemahaman (political phyloshopy) seperti yang telah terkonstruksi pada jaman sekarang ini seperti terorisme atas nama agama. Secara harfiyah (bahasa), terorisme berasal dari Terrere (red:latin) dan isme yang berarti sikap yang menyebabkan terror atau gemetar karena rasa takut. Dalam pengertian ini, terorisme bisa digambarkan dengan sikap yang berujung pada tindakan-tindakan separatis dan menentang pemerintah.
Merujuk pada definisi di atas, di negara demokrasi, dimana negara (dalam hal ini pemerintah) melayani rakyat dengan mengakui kebebebasan pendapat dan menyerap aspirasi dari rakyatnya, ini akan menjadi pisau bermata dua. Satu sisi, rakyat akan merasa puas dengan negaranya dan akan loyal pada negaranya. Rakyat akan bahu-membahu berkontribusi membantu pemerintah membangun dan menjaga kekondusivan negara. Namun di lain sisi, ada kemungkinan negara akan kewalahan (Red: Javanese) dalam menuruti apa yang diminta rakyatnya dan bahkan tidak bisa memenuhi permintaan. Akhirnya, rakyat akan semakin marah dan tiba pada akhirnya gerakan separatis akan semakin meluas dan kekuatan (power) negara akan melemah. Jika ini terjadi, sikap antipasti terhadap pemerintah akan memicu tindakan-tindakan menentang pemerintah berupa terror-teror kepada negara.
Negara yang dipilih penulis dalam tulisan ini adalah Republik Mali dan Indonesia. Kedua negara tersebut merupakan sama-sama negara yang menerapkan sistem demokrasi dan sama-sama negara berkembang secara ekonomi dan politik. Republik Mali pernah dianggap sebagai negara paling demokratis di Afrika. Semenjak bebas dari jajahan Perancis, dalam beberapa puluh tahun saja Mali berkembang menjadi negara demokrasi, lengkap dengan konstitusi, parlemen dan pemilihan multi partai.[1] Namun sekarang, tak banyak yang tersisa dari demokrasi itu. Pada tahun Maret 2012, kudeta militer yang menggulingkan Presiden Amadou Toumani Touré yang dipilih secara demokratis (Peter: 2012).[2] Alasannya: Touré tak mampu mengatasi krisis dan pemberontakan kaum Tuareg di utara negeri.
Kami tidak akan membahas Republik Mali pasca kudeta, karena (menurut penulis) bukan demokrasi -murni- lagi namanya. Mali sebelum kudeta, terdapat kaum Tuareg, Jaringan Al-Qaeda di Islam Maghribi (AQIM) dan Kelompok Ansar Dine yang bisa dikatakan teroris sesuai definisi di atas. Hampir sama dengan kondisi Indonesia. Di Indonesia pernah muncul beberapa gerakan separatisme seperti Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Republik Maluku Selatan (RMS), Organisasi Pupua Merdeka (OPM), dan lain sebagianya. Namun bedanya pemberontakan di Republik Mali berhasil mengacaukan negara sedangkan pemberontakan di Indonesia tidak bisa (atau belum) mengacaukan Indonesia.
Jika melihat fenomena ini, ada salah kunci penting yang menyebabkan perbedaan ini, yakni opini publik atau kepercayaan warga negara terhadap negara atau pemerintah. Dalam kasus di Republik Mali, rakyat tidak yakin terhadap apa yang dilakukan pemerintah dalam menghadapi gerakan separatis ini. Bahkan ketidakpercayaan ini juga merambah pada kesatuan militer dan membuat kesatuan militer terpecah-belah.[3] Ini membuat upaya yang dilakukan pemerintah (dalam hal ini presiden) menjadi tidak efektif dan gagal.
Sedangkan di Indonesia, opini publik yang dibantu oleh media massa menyatakan sikap percaya kepada tindakan pemerintah. Sedangkan pemerintah melakukan upaya penanganan dengan pendekatan damai. Muncul dan berkembangnya bibit separatisme tidak terlepas dari masalah ketidakadilan dan kesenjangan kesejahteraan. Sehingga untuk mengatasi hal tersebut pemerintah Indonesia mengambil kebijakan untuk mengakomodir aspirasi warganya tersebut. Pendekatan terhadap masalah separatisme tidak lagi hanya menggunakan kekuatan militer, tetapi menggunakan prioritas utama untuk melakukan langkah persuasif dengan pendekatan perdamaian dan dialog dan peningkatan kesejahteraan melalui pemerataan pembangunan. Namun tidak bisa dipungkiri, pemerintah Indonesia pernah menerjunkan pasukan militer dalam mengatasi masalah ini. Papua dan Aceh pernah menjadi Daerah Operasi Militer (DOM) sebagai langkah terakhir dan diambil karena permasalahan tidak dapat diselesaikan melalui dialog.
Jadi intinya, perlu adanya keyakinan dan kepercayaan rakyat melalui opini publik dalam menangani masalah terorisme terutama gerakan yang menginginkan lepas dari negara. Jika rakyat tidak percaya dengan pemerintahnya, maka kekuatan pemerintah dalam menangani terorisme akan lemah. Sebaliknya, jika rakyat mendukung penuh dan bahu-membahu membantu pemerintah, maka pemerintah akan kuat dan masalah akan segera selesai. Menurut saya, ini tidak hanya berlaku terhadap terorisme separatis saja, tapi terorisme berorientasi agamapun akan bisa ditangani jika rakyat percaya dan mendukung pemerintah, Negara Islam Irak Syria (ISIS) misalnya. Lalu, sudahkah kita husnudzon pada pemimpin negara ini?


Endnote:
[2] Peter Heine, mantan Professor di Universitas Humboldt, Berlin.
[3] Charlotte Heyl dari GIGA-Institut yang dikutip DW

Sawa'un, Kembalian Receh

9:23 PM 0 Comments A+ a-

Bakso sudah lenyap saat tetesan terakhir kuah ku telan. Sendok dijilat sampai benar-benar kering.

"Sampun bu, bade bayar. Bakso lengkap+krupuk setunggal, teh anget" (sudah bu, mau bayar. Bakso lengkap+krupuk satu, teh hangat)
"Wolungewu limangatus" (delapan ribu lima ratus)
"Injih, niki bu" (iya, ini bu) sambil sodorkan uang 10 ribuan
Buka laci berisi uang lalu "recehe wonten Nang?" (recehnya ada Nang?-Nang~>panggilan untuk anak laki-laki yang ganteng)
"Niki wonten gangsal atus" (ini ada lima ratus) dengan harapan nanti kembalian jadi genap, 10.000+500-8.500=2.000.
"Oalah, SAWA'UN, niki ya boten wonten ewon" (oalah, Sama saja, ini juga tidak ada uang ribuan)
Kembalian 2.000 + dua receh 500 disodorkan. -_-
"suwun bu" (terima kasih bu)
Nenteng tas, ambil helm, pergi sambil mikir......
~> Kalimat terakhir, ibunya pakai Bahasa Arab. Maklum penjual bakso pinggir jalan Kota Santri, Kaliwungu-Kendal, lumrah lah campur-campur Bahasa Arab. Mungkin dikira aku santri salah satu pesantren di kompleks agamis ini.Serasa beli bakso di Timur Tengah. :D

Teras Masjid Agung Kaliwungu-Kendal sambil kedinginan (Jum'at Agung, 3 April 2015: 20.55 WIB, Showers 25° C)

Kejahatan Perang

11:24 PM 0 Comments A+ a-



Dalam Hukum Humaniter Internasional, ada beberapa jenis hukum yang termasuk di dalam istilah hukum humaniter internasional (HHI). Antara lain adalah Hukum Perang (Law of War), Hukum SB (Law of the Armed Conflict), Hukum Humaniter (Humanitarian Law), HHI (International Humanitarian Law), Hukum Jenewa (Law of the Geneva), Hukum Den Haag (Law of the Haque), Hukum Perikemanusiaan (PMI).
Dunia ini mengenal konsep perang atau konflik sudah sejak lama, bahkan ada yang menyebutkan bahwa perang atau konflik sudah melekat dalam diri manusia sejak manusia pertama diciptakan. Budaya perang ini kemudian menghasilkan deklarasi perang, deklarasi kemanusiaan, dll. Sedangkan dalam Hukum Perang (Law of War) sendiri, pembagian mengenai hukum perang dibagi menjadi dua yakni Jus ad Bellum serta Jus in Bello. Selain dalam hukum perang, upaya untuk menekan dan membatasi peperangan paling sedikit telah dibahas dalam tiga karya, yakni antara lain adalah dalam preambule LBB, Kellog Briand Pact 1928, dan Pasal 2 ayat (4) Piagam PBB. Semakin berjalannya waktu, istilah hukum perang (Law of War) berubah menjadi hukum SB (Law of the Armed Conflict). Hal ini terjadi karena beberapa factor yakni antara lain adalah traumatic dampak PD I dan PD II, sulit dihapuskannya perang meskipun telah dibentuk LBB dan Kellog Briand Pact 1928, untuk menata ulang instrument dalam hukum, mempertimbangkan aspek kemanusiaan yang diusung oleh JH Dunnant, dll.
Setelah muncul istilah hukum perang dan hukum SB (Law of the Armed Conflict), muncullah hukum humaniter Internasional (HHI), HHI ini adalah produk hukum internasional yang bisa diaplikasikan ke dalam konflik bersenjata. Menurut Haryo Mataram, HHI adalah hukum internasional yang berisi dan mengatur mengenai cara & alat berperang (produk dari hukum Den Haag), dan mengenai perlindungan terhadap korban perang (produk dari hukum Jenewa). Sedangkan menurut Mochtar KA, HHI mengatur mengenai Jus ad Bellum, dan Jus in Bello (keduanya merupakan produk hukum Den Haag, dan hukum Jenewa).
Sejarah perang sendiri setua dengan sejarah umat manusia. Bangsa Romawi, Mesir Kuno, India telah mengenal perang. Diberbagai agama didunia, juga mengajarkan perang. Islam, Kristen, Hindu, Budha, memiliki ajaran perang dalam kitab-kitabnya. Tahapan perang bahkan dimulai ketika bumi belum dihuni manusia. Dimulai oleh perang antar binatang, kemudian perang oleh manusia primitif, perang antara manusia dengan senjata, dan perang antarmanusia dengan menggunakan teknologi modern seperti saat ini.
Perang sendiri memiliki enam unsur. Pertama, perang dilakukan oleh dua/lebih kekuatan bersenjata. Kedua, memiliki tujuan mengalahkan lawan. Ketiga, cara penyelesaian sengketa terdiri dari dua, yaitu Peaceful Settlement of Dispute dan Settlement of Dispute by Coercive Mens. Keempat, perang/sengketa berada di wilayah tertentu. Kelima, terorganisir; dan dan keenam, Animus Belligerency.
Ruang lingkup Hukum Humaniter Internasional (HHI) sendiri ada tiga. Dalam arti luas, perang diatur dalam Hukum Jenewa, Hukum Den Haag, dan HAM. Dalam arti sempit, diatur dalam Hukum Jenewa. Dan dalam arti menengah, perang diatur dalam Hukum Den Haag dan Hukum Jenewa. HHI juga berdasarkan tiga asas. Yaitu Military Necessity Principle, Humanity Principle, dan Chivalry Principle.
Tujuan Hukum Humaniter Internasional (HHI) adalah memanusiawikan perang, perlindungan terhadap kombatan & Penduduk Sipil, jamin HAM, mencegah kekejaman (kemanusiaan), dan membatasi dalam penggunaan senjata.
Menurut Sejarah, Hukum Humaniter Internasional (HHI) melalui beberapa fase perkembangan. Zaman kuno, zaman pertengahan, dan zaman modern.
Hukum Humaniter Internasional (HHI) pada Zaman Kuno seperti Danmil perintahkan perlakuan POW secara manusiawi, dibuat Declaration of war,gencatan senjata, dan sumbangan lain dari peradaban-peradaban maju era kuno seperti Bangsa Sumeria, Mesir Kuno, India. Sumbangan ini berupa konsep Perang merupakan lembaga terorganisir, Deklarasi perang, Arbitrase, Kekebalan utusan/diplomat musuh, Perjanjian perdamaian, Penghormatan POW (makan, minum, perawatan, penguburan), dan penggunaan Senjata beracun.
Zaman Pertengahan yang dipengaruhi ajaran agama berkontribusi dalam HHI antara lain prinsip kesatria dalam perang, , konsep perang adil yang tidak boleh curang, Perang suci/jihat, Deklarasi perang, dan larangan penggunaan senjata tertentu.
Zaman Modern menyumbang dalam pembentukan Organisasi kemanusiaan (International Committee of the Red Cross-ICRC) beserta penggunaan lambang Palang Merah dan Bulan Sabit Merah, dan beberapa konvensi seperti Konvensi Den Haag, Jenewa, dan Protokol Tambahan.

*oleh:  Faiz Balya Marwan, Hafizh Armaghani, Muhammad Subhan