Showing posts with label project. Show all posts
Showing posts with label project. Show all posts

Edukasi Asik, Tanpa Meninggalkan Sisi Historis

Mbiloro atau Kambilloro, begitu pengucapan nama yang familiar di lidah warga lokal untuk menyebut kawasan yang kini jadi Camp Bell 2 Educational Park yang dibuka untuk umum pada 25 Oktober 2018.

Pengembangan kawasan baru dituntut untuk menyesuaikan kondisi zaman. Penyesuaian tersebut selain diaplikasikan dalam penyusunan konsep dan konten wisata yang asik dan kekinian, juga bisa diaplikasikan dalam nama dan ikon suatu kawasan wisata. Campbell 2 Edupark salah satunya.
Konsep dan konten wisata di Campbell 2 Edupark memuat unsur-unsur local wisdom (budaya lokal) yang ada di masyarakat. Pencaharian penduduk lokal yang terdiri dari petani dan peternak diwujudkan dengan adanya wahana edukasi pertanian padi dan peternakan sapi perah. Wajah desa yang sangat mendukung dengan penghijauan kawasan disimbolkan dengan kawasan yang asri dan rimbun pepohonn. Desa yang konsen terhadap pengelolaan sampah, diwujudkan dengan adanya edukasi pengolahan sampah terpadu. Budaya gotong royong dan kekompakan masyarakat serta permainan tradisional yang masih lestari menjadi formulasi untuk menyusun wisata outbound dan dolanan anak.

Selain itu, penentuan nama Campbell 2 Edupark juga tidak lepas dari local wisdom yang ada. Campbell 2 Edupark disarikan dari nama Mbilloro atau Kambilloro, sebuah nama yang pengucapannya mirip. Nama tersebut merupakan nama yang dilafalkan oleh warga lokal secara turun-temurun untuk menyebut kawasan yang sekarang menjadi kawasan Campbell 2 Edupark. Nama Mbilloro atau Kambilloro berasal dari bahasa jawa yang bermakna kelapa dua. Menurut penuturan warga lokal, zaman dulu di kawasan tersebut terdapat dua pohon kelapa kembar yang menjulang kelihatan dari jalan raya. Mafhum dalam tradisi jawa menyebut nama suatu wilayah dengan kondisi yang terlihat oleh mata dan mudah diingat serta lekat dalam benak masyarakat.

Dalam penyusunan ikon Cambell 2 Edupark juga tidak lepas dari upaya mengakomodir local wisdom. Ikon berupa dua pohon kelapa yang berlatar belakang siluet dua gunung yakni Gunung Merapi dan Sindoro serta sebuah gazebo merupakan pemandangan yang benar-benar dapat dinikmati saat berkunjung di Campbell 2 Edupark.

Pertamina dan masyarakat lokal membuktikan, pembangunan kawasan wisata asik dan kekinian tidak harus meninggalkan unsur-unsur local wisdom yang ada. Bahkan dapat memunculkan budaya-budaya tersebut menjadi suatu ciri khas tersendiri. Kawasan wisata di suatu desa wisata dapat menjadi miniatur yang dapat merepresentasikan keseluruhan wajah desa. Dengan begitu, budaya lokal tidak akan sirna tergerus dengan arus modernisasi, melainkan bertransformasi. Budaya Tetap Lestari!.

Penasaran dengan tampaknya kini? Kunjungi laman instagramnya di @dolan.tawangsari

Bukan Sekadar Tempat Piknik, Melainkan Gudang Informasi

"Kawasan ini tidak hanya sebagai tempat piknik, tapi lebih dari itu. Kawasan ini menyuguhkan segudang informasi yang dapat menambah pengetahuan bagi masyarakat." 
-General Manager MOR 4 Yanuar Budi Hartanto.

Dibangun sejak 2016, Pertamina Terminal BBM Boyolali memberdayakan kawasan yang semula berupa lahan kritis menjadi sumber penghasilan bagi desa dan warga sekitarnya. Lahan kritis yang semula tidak dapat ditanami sayur dan padi karena krisis air, kini dapat dialiri air berkat inovasi Pertamina yang menghadirkan Kincir Pompa Hidrolik (KiPolik) untuk memompa air dengan tenaga hidrolik. Pompa yang mampu mendorong air hingga debit 960 liter/jam ini digunakan untuk memenuhi kebutuhan air bersih terutama untuk mengisi kolam-kolam sebagai sarana outbound di kawasan Edu Park.

Inovasi lainnya adalah pengunjung kawasan ini dapat melihat edukasi peternakan sapi yang mampu mengolah produk olahan susu dan mengubah limbah kotoran sapi menjadi energi terbarukan yaitu biogas. Biogas ini kemudian menjadi sumber energi untuk penerangan kawasan edupark dan untuk memasak beragam produk susu dari peternakan. Hingga saat ini produk olahan susu di Kawasan ini telah dipasarkan di berbagai instansi di Kab. Boyolali dan menghasilkan omset hingga 3,2 juta per bulan.

Untuk menghijaukan Kawasan Edupark, Pertamina bersama warga juga menanam Tanaman Buah Naga yang kemudian buahnya diolah menjadi Produk Karaks tanpa Boraks yang dapat dinikmati oleh para pengunjung di lokasi.

Wahana Edukasi lainnya yang dapat dikunjungi adalah lokasi Pengolahan Sampah Terpadu Organik dan Anorganik untuk mengolah sampah organik menjadi kompos dan sampah anorganik menjadi Bahan Bakar Alternatif (BBA). Khusus sampah plastic/anorganik, sampah-sampah ini diolah menggunakan mesin Petik Jami (Pengubah Plastik Jadi BBA). Sesuai dengan misi kawasan ini yaitu "zero waste", BBA yang dihasilkan mesin Petik Jami akan menjadi sumber energi untuk mesin pencacah sampah organik.

Sebagai informasi, Petik Jami hingga saat ini telah berhasil mengubah 3,6 ton sampah plastik menjadi 1800 liter BBA/tahun. 24 ton sampah organik pun juga telah terolah dan termanfaatkan hingga menghasilkan Potensi sebesar Rp 48 juta/tahun. Program tersebut sangat mendorong pertumbuhan ekonomi di Desa Tawangsari, Kecamatan Teras, Kabupaten Boyolali.

Bupati Boyolali, Seno Samudro mengapresiasi langkah pertamina Terminal BBM Boyolali yang merangkul warga untuk mengembangkan potensi desa dan menciptakan kemandirian bagi warga desa. "Kami harapkan desa wisata ini dapat menjadi contoh bagi desa desa lainnya untuk berdaya dan bangkit," jelas Seno.

Penasaran dengan tampaknya kini? Kunjungi laman instagramnya di @dolan.tawangsari

Sulap Lahan Kritis Jadi Destinasi Kekinian

“Sejak saya nikah dan pindah ke sini, lahan 2 ha ini ya sudah semak belukar begini. Sejak 33 tahun silam menjadi lahan tidak produktif.” 
- Yayuk Supriyanti (57 th), Kepala Desa Tawangsari. 

Kini, masyarakat Boyolali bisa berbangga diri karena telah terdapat destinasi wisata keluarga yakni, Kawasan Camp Bell 2 Edupark. Kawasan wisata ini diinisiasi PT Pertamina (Persero) Terminal BBM Boyolali. Dimana, Kawasan Wisata Camp Bell 2 berada di Desa Tawangsari di Kecamatan Teras Kab Boyolali yang telah diresmikan Bupati Boyolali dan General Manager Marketing Operation Region IV Jateng DIY tanggal 28 Oktober 2018.

Kawasan wisata berbasis edukasi lingkungan ini tidak serta merta ada dengan sendirinya. Kawasan ini merupakan hasil dari komitmen Pertamina dan semangat masyarakat desa untuk mengubah lahan kritis tidak produktif dan angker menjadi suatu ikon desa yang memiliki manfaat bagi masyarakat secara luas.

Kondisi saat ini beda dengan 3 tahun silam. Lahan kritis seluas 2 hektar (ha) ini, dulu, terkenal sebagai kawasan yang angker (menyeramkan). Beberapa masyarakat menyatakan tidak berani melewati jalan raya yang melintasi kawasan tersebut setelah pukul 21.00 yang notabene belum termasuk larut malam. Menurut penuturan masyarakat, kendaraan roda dua sering mogor saat melintas jalan menanjak di kawasan tersebut. “Serem kalau lewat situ, mending milih jalan berputar,” ujar Rajiman (41 th) salah satu warga sekitar kawasan tersebut. Kondisi tersebut menyulitkan masyarakat yang memiliki kebiasaan pulang kerja larut malam.

Tidak hanya berhenti di situ. Kondisi persepsi masyarakat yang menganggap kawasan tersebut angker membuat kawasan tersebut sepi dari lalu-lalang masyarakat desa di malam hari. Justru kondisi tersebut dimanfaatkan oleh para pemuda baik yang berasal dari Desa Tawangsari maupun luar Tawangsari sebagai tempat untuk mabuk-mabukan dan mesum. Perangkat Desa yang berpatroli di malam hari sering mendapati muda-mudi pada malam hari. Ironis.

Kini, kawasan tersebut sudah tidak angker seperti sediakala. Kawasan ini memiliki banyak fasilitas seperti outbound dan beragam wahana edukasi lainnya seperti wahana pengolahan air KiPolik (Kincir Pompa Hidrolik), wahana Edukasi Ternak Sapi Perah dan Biogas, serta wahana Edukasi Pengolahan Sampah Organik dan Petik Jami (Pengubah Plastik Menjadi Minyak).

Pagi hari banyak pengunjung melakukan selfie (swafoto) dengan latar bunga matahari maupun matahari terbit. Siang banyak pengunjung berkelompok melalukan outbound. Sore pengunjung belajar memerah susu dan menikmati susu segar hasil perahannya sendiri. Sedangkan malam hari, para pemuda dan orang dewasa sudah siap sedia untuk lomba mancing hingga esok pagi hari berikutnya. Ramai 24 jam.

Penasaran dengan tampaknya kini? Kunjungi laman instagramnya di @dolan.tawangsari

*tulisan ini juga diterbitkan dalam Buku CSR Pertamina Terminal BBM Boyolali 2019

Anak Muda: Pertanian, Antara Kebutuhan atau Harga Diri


Apakah pernah mendengar sebuah quote dari ilmuan besar, Albert Enstein mengenai “Perut kosong bukanlah penasihat politik yang baik?" Jika belum, biar penulis jelaskan sejenak. Arti dari petuah tersebut sebenarnya sangat jelas tersurat bahwa manusia atau apapun makhluk yang dianggap hidup secara pasti dan terencana akan membutuhkan asupan makanan secara periodik guna menopang kebutuhan biologis sifat seorang makhluk.

Di masa sekarang ini, faktor penting dari makanan sudah tidak dapat dibantahkan lagi, terkhusus bagi bangsa Indonesia dengan jumlah penduduk lebih kurang 250 juta penduduk. Sebagai Negara dengan populasi terbesar keempat di dunia, Indonesia memiliki sebuah pekerjaan rumah yang sangat besar dalam menjamin ketercukupan pangan. Memang bukan sebuah isu lagi bahwa negara ini membutuhkan solusi, meski tidak cepat, paling tidak terencana, untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dengan sumber daya dalam negeri pula.

Pernah penulis bertanya kepada beberapa kumpulan anak muda, mengenai apa yang sekiranya akan dilakukan apabila kondisi persawahan yang kita miliki semakin berkurang? Secara cepat -tanpa pikir panjang- beberapa dari mereka menjawab bahwa negara kita punya uang untuk meng-impor besar dan lain-lain!. Sesaat penulis setuju dengan jawaban tersebut, namun jauh di dalam pikiran, itu hanya tindakan untuk terbebas dari keterdesakan pasokan pangan secara sementara. 

Tentu, kita –yang katanya negara agraris- tidak bisa menggantungkan diri dalam keterbelengguan impor produk-produk pertanian secara massive dan terus menerus. Jika kembali mengingat sejarah, kita pernah melakukan ekspor besar ke beberapa negara karena supply kita yang besar. Terlebih dengan politik “Revolusi Hijau” yang dicetuskan pemerintahan pada masa orde baru, dengan mampu mengekspornya Indonesia yakni sebesar 1,5 juta ton beras per tahun dalam kurun waktu 1968-1984, produksi beras meningkat rata-rata 5% per tahun (Esje, Gudon dan Daniel, 1998). Meski tidak semuanya praktik kebijakan revolusi hijau berjalan sesuai rencana, tapi dibalik itu semua, kita dapat melihat adanya gairah untuk menjaga keterjaminan supply pangan untuk masyarakat.

Di era teknologi informasi sekarang ini, sudah tidak dapat dipungkiri bahwa sektor pertanian menjadi bidang usaha kesekian yang patut dipertimbangkan oleh anak-anak muda Indonesia, padahal sumbangsih sektor pertanian terhadap kondisi Produk Domestik Bruto (PDB) nasional menjadi yang ketiga terbesar setelah PDB industri pengolahan dan perdagangan, hotel, dan restoran. 

Meski masih dalam lingkup kontribusi yang besar, sejatinya sektor pertanian Indonesia dibayangi “Bom Waktu” yang dapat meledak kapanpun. Seiring dengan kesempatan kerja yang terbuka luas untuk sektor non-pertanian, sektor pertanian mulai ditinggalkan dengan dalih return of capital yang diterima tidaklah sesuai dengan yang diharapkan. Berdasarkan sensus pertanian 2013, jumlah petani secara keseluruhan menurun dari 31,23 juta pada tahun 2003 menjadi 26,14 pada tahun 2013, sedangkan untuk petani usia muda (15-24 tahun) menurun dari 5,95 juta menjadi 5,02 juta (BPS, 2013; LIPI.go.id, 2014). Meski dikatakan bahwa penurunan ini memberikan efek positif melalui berkurangnya jumlah petani gurem dan bertambahnya area lahan yang dikelola per petani, namun tetap saja dampak berantai yang ditimbulkan lebih besar terkait dengan ketahanan pangan dan kepastian bahwa anak muda sudah sangat sulit melihat pertanian sebagai sektor yang menjanjikan.

Perubahan Mindset! Upaya Holistik Pemerintah dan Masyarakat Pegiat Pertanian
Era informasi dan perkembangan teknologi lebih kurang telah memberikan dampak terhadap mindset masyarakat muda, karena banyak di antara mereka lebih memilih bekerja di bidang lain yang mencerminkan tingkat sosial lebih tinggi dan lebih memiliki keterjaminan pendapatan. Pemikiran seperti itu sebenarnya tidaklah salah, karena anak muda hanyalah orang yang berusaha mempertahankan eksistensinya untuk hidup berkecukupan. Sehingga, yang menjadi pekerjaan rumah adalah bagaimana mengubah mindset generasi muda untuk tertarik di dunia pertanian. Tentu ini membutuhkan upaya holistik yang menyeluruh dari semua komponen, tidak hanya pemerintah sebagai tumpuan utama, melainkan juga dari para pegiat pertanian untuk menarik pandangan anak muda Indonesia di bidang pertanian.

Membandingkan kondisi pertanian Indonesia dengan negara-negara maju lainnya seperti Jepang, Belgia, atau bahkan Amerika Serikat itu adalah suatu tindakan yang tidak adil. Mereka mempunyai segalanya yang secara berkesinambungan mendukung pertanian mereka untuk maju. SDM berkualifikasi tinggi, teknologi, dana penelitian dan pengembangan serta perhatian yang besar dari pemerintah dengan tata kelola yang logis, dan mindset untuk berkembang. Dari semua faktor tersebut, ada satu faktor penting yang dapat di-copy oleh Indonesia, yaitu mindset untuk berkembang. Ini adalah faktor dasar untuk mengembangkan dunia pertanian, karena sejatinya banyak dari petani kita yang kurang mau berkembang dan hanya melakukan pekerjaan sampai pada apa yang biasa mereka lakukan, contohnya petani biasanya hanya menanam, memupuk, dan terakhir memanen, tanpa ada pengembangan lainnya di sektor off-farm. Padahal, off-farm adalah sektor dengan profit margin yang paling besar. Bayangkan saja ketika petani Indonesia dapat secara holistik menanam, memanen, hingga pasca panen, entah itu hanya distribusi atau bahkan sampai ke pengolahan produk pertanian, mereka akan mendapatkan keuntungan di atas pendapatan normal yang didapatkan pada tiap musim panen.

Kendala terbesar untuk melakukan keberlangsungan pertanian off-farm dan pengolahan pasca panen adalah skill dan daya inisiatif petani. Hal ini dimaklumi karena kebanyakan petani Indonesia adalah petani yang sudah memasuki masa tua, bukan generasi muda dengan segara ekspektasi tinggi dan ide-ide baru yang terkadang militan.

Memaksa generasi muda untuk terjun di dunia pertanian bukanlah solusi terbaik. Toh ketika itu dilakukan, mereka hanya akan bertahan satu sampai dua tahun. Hal yang dibutuhkan adalah keberlangsungan, bukan hanya sekadar “nyemplung” sesaat. 

Solusi utama atas masalah ini adalah bagaimana cara untuk menarik minat generasi muda di dunia pertanian. Penulis saat ini pun masih berpikir terkait hal tersebut, namun beberapa hal yang dapat dilakukan segera adalah dengan memberikan edukasi kepada generasi muda awal atau biasa disebut dengan anak-anak sebuah edukasi dan pengenalan bidang pertanian. Paling tidak, dimulai dari keluarga dekat kita, atau dapat pula membentuk suatu wadah forum penggiat pertanian untuk saling bahu membahu melakukan gerakan pertanian, baik melalui sosialisasi ataupun acting menjadi pebisnis olah pangan pertanian. Sehingga, dengan menjadi pebisnis olah pangan yang sukses, itu akan dapat menjadi bukti nyata kepada anak-anak muda Indonesia, bahwa pertanian itu tidak hanya berakhir pada “Pemanenan” melainkan juga terdapat tahapan lain dengan profit margin yang lebih menguntungkan.

Hal tersebut tentu membutuhkan daya dukung dari pemerintah untuk membangun pertanian yang holistik, bukan hanya berfokus pada hal-hal fisik seperti teknologi, subsidi pupuk, ataupun stabilitas harga, namun juga membenahi segi mental seperti mindset dan ketertarikan generasi muda, karena hanya mereka tulang punggung pertanian Indonesia di masa mendatang.

Oleh: Bayu R. Pratama, Lulusan Pendidikan Ekonomi Akuntansi, Universitas Negeri Semarang. Saat ini penulis dan beberapa pihak sedang dalam tahap pembentukan TaniKids untuk edukasi pertanian anak-anak. 
Mari bersama membangun bangsa!

Sumber gambar: kfk.kompas.com