Politik Luar Negeri China

11:53 PM 0 Comments A+ a-

Perang Candu
Istilah Perang Candu dikenal orang, tatkala timbul pertempuran sengit di Cina melawan penjajah di negerinya. Ya, banyak literatur mengatakan bahwa Perang Candu I (1839-1842) adalah peperangan antara Cina versus Britania Raya atau Inggris. Penyulut konflik ialah maraknya opium yang dibawa pedagang Inggris ke Cina, sementara di bawah kekuasaan Dinasti Qing, ia tengah keras menerapkan aturan tentang obat-obatan. Sedangkan Perang Candu II (1856-1860) tak hanya bertempur melawan Inggris tapi Prancis pun terlibat. Menurut beberapa catatan, substansi kedua perang di atas sesungguhnya bukan menjadikan Cina sebagai jajahan, akan tetapi lebih kepada kepentingan perdagangan Barat sekaligus melemahkan daya juang rakyat.
Konon awal abad ke-19, opium dibawa oleh para pedagang Inggris ke Tiongkok sebagai pengimbang ekspor teh Cina ke Inggris. Di bawah kekuasaan Dinasti Yung Cheng, opium begitu populer karena selain komoditi dagang juga dihisap menggunakan pipa khas dari tanah liat serta diminum dengan arak. Sebenarnya warga dan penduduk memanfaatkan candu untuk pengobatan tradisional, tetapi sebagian menyalahgunakan sekedar mabuk-mabukan.
Zaman Kaisar Ming dan Ching berkuasa, ada kebijakan menutup jalur perniagaan dengan Barat karena anggapan selain mampu memenuhi keperluan rakyatnya sendiri, ia juga tak mau bergantung kepada asing. Sebuah sikap kemandirian yang dahsyat dari Ming, akan tetapi justru inilah embrio konflik. Ya, kebijakan Ming jelas merugikan Inggris, karena hasil produk dan barang-barang Cina semacam sutera, rempah, tembikar serta teh yang dimonopoli Inggris diminati berbagai kalangan di Eropa. Hubungan kedua pihak menegang. Setelah lewat liku-liku perundingan, akhirnya perdagangan dibuka kembali dengan syarat Inggris boleh dagang hanya di Guangzhou (Canton) saja.
Pada masa Kekasiaran Tao Kwang era 1839-an, diambil suatu langkah tegas guna mengatasi kecanduan dan peredarannya di masyarakat. Adalah Komisaris Lin Tse-Hsu diperintah oleh Kaisar guna memusnahkan candu ilegal di Guangzhou. Sepintas tentang Lin adalah pejabat jujur, ahli kaligrafi, filsuf, sekaligus seorang penyair. Ia terkenal karena konsistensi serta komitmen dalam menentang peredaran opium di Tiongkok. Salah satu inti dan substansi statement Lin yang dijadikan acuan dalam Perang Panah ialah “bahwa konsumsi opium selain akan menghabiskan kekayaan negara, juga membuat tak satupun lelaki mampu bertempur di medan perang!”.
Sudah barang tentu tindakan Lin membuat kemarahan Inggris, kemudian meletuslah Perang Cina-Anglo I (1839-1842). Ya, perang selama tiga tahun itu dimenangkan Inggris. Ada 30.000-an rakyat menjadi korban dan memaksa Cina menandatangani Treaty of Nanjing (1842) dan The British Supplementary Treaty of the Bogue (1843). Inti Treaty of Nanjing atau Perjanjian Nanjing ialah kewajiban Cina membayar upeti 21 juta kepada Inggris sebagai ganti rugi peperangan, membuka kembali perniagaan dengan Barat via pelabuhan-pelabuhan Guangzhou, Jinmen, Fuzhou, Ningbo serta Shanghai, dan Inggris meminta Hong Kong menjadi tanah jajahan.
Sebagaimana diurai sekilas tadi, Perang Candu II terjadi antara Inggris, Prancis, dan Cina. Sebagai pemicu ialah pencarian kapal The Arrow milik Inggris oleh Cina secara ilegal di Guangzhou. Hal ini membuat geram Inggris dan kembali mengobarkan perang. Lagi-lagi konflik tersebut dimenangkan oleh Barat dan Guangzhou diduduki oleh pasukan Inggris-Prancis. Apa boleh buat, Cina kembali menandatangai Treaty of Nanjing (1858) dimana Prancis, Rusia dan Amerika telah ikut ambil bagian. Isi perjanjian: Cina membuka sebelas pelabuhan, diizinkan pendirian kedutaan negara luar, melegalkan impor candu dan memberi ruang pada aktivitas misionaris Kristen.  
Dekade 1859-an ---setahun pasca Perjanjian Nanjing--- perang meletus lagi akibat Cina menghalangi masuknya para diplomat asing ke Beijing, sementara dari pihak Inggris ingin memaksakan beberapa pasal baru di perjanjian. Tatkala Inggris dengan bantuan Perancis berhasil menguasai Beijing, ia dipaksa mematuhi kembali pointers dalam Treaty of Nanjing serta beberapa pasal tambahan, salah satunya ialah Taiwan menjadi milik Barat.
Lompatan Jauh ke Depan
Lompatan Jauh ke Depan atau Great Leap Forward adalah sebuah program yang disusun oleh Partai Komunis Cina di Republik Rakyat Cina, yang berlangsung dari tahun 1958 hingga 1960 dengan tujuan membangkitkan ekonomi Cina melalui industrialisasi secara besar-besaran dan memanfaatkan jumlah tenaga kerja murah. Sepanjang tahun 1950-an, Cina telah melakukan program redistribusi tanah bagi penduduk Cina dibarengi dengan industrialisasi di bawah sistem kepemilikan negara. Proses ini dilakukan dengan bantuan teknis dari Uni Soviet.

Masalah timbul ketika pemimpin Soviet pasca-Stalin, yaitu Nikita Khruschev dalam Kongres ke dua puluh Partai Komunis Uni Soviet, mencanangkan langkah untuk "mengejar dan menyusul" Barat, sehingga ekonomi Soviet tidak lagi tertinggal. Oleh Mao Zedong hal ini dirasakan sebagai ancaman, karena kemajuan ekonomi Uni Soviet akan berarti semakin tergantungnya Cina pada kekuatan. Lompatan Jauh ke Depan menjiplak sistem yang telah dilakukan Uni Soviet, sambil memasukkan unsur tradisional Cina. Pelaksanaan program ini dilakukan melalui dua jalur, yaitu pada peningkatan produksi baja sebagai bahan baku, pendirian industri ringan serta konstruksi.

Sejarah Revolusi Kebudayaan
Revolusi Kebudayaan adalah revolusi besar yang terjadi di Cina antara tahun 1966 dan 1969. revolusi Kebudayaan merupakan revolusi di segala bidang untuk mengembalikan Cina kepada ajaran Maoisme yang dirasakan semakin lama semakin luntur karena digerogoti anasir-anasir Barat. Revolusi ini digerakkan oleh Mao Tse Tung sebagai puncak perseteruannya dengan pejabat Presiden Liu Shaoqi dan kelompoknya yang dituduh beraliran kanan, mendukung intelektualisme dan kaapitalisme. Revolusi ini ditandai dengan dibentuknya Pengawal Merah, sebuah unit paramiliter yang mayoritas anggotanya adalah mahasiswa-mahasiswa yang mendukung Mao dan ajaran-ajaranya.
Revolusi Kebudayaan sesungguhnya merupakan reaksi atas kegagalan pelaksanaan kebijakan Lompat Jauh ke Depan, yang dicanangkan Mao Tse Tung pada awal 1958. Setelah kegagalan ekonomi yang dramatis tersebut, Mao mundur dari jabatannya sebagai Presiden Cina. Kongres Rakyat Nasional melantik Liu Shaoqi sebagai pengganti Mao. Mao tetap menjadi Ketua Partai Komunis, namun dilepas dari tugas ekonomi sehari-hari yang dikontrol dengan lebih lunak oleh Liu Shaoqi, Deng Xiaoping dan lainnya yang memulai reformasi keuangan. Liu Shaoqi sebagai Presiden Cina, diberikan tugas untuk melakukan pemulihan dan penyesuaian kembali keadaan perekonomian negara dari krisis besar dan kekacauan parah yang menimpa Cina akibat gerakan Lompat Jauh ke Depan. Liu mendapat tugas menstabilkan lagi perekonomian, setidaknya seperti keadaan Pelita I dijalankan, sehingga upaya untuk mewujudkan pembangunan Cina ke arah yang lebih baik dapat segera dilaksanakan.

Pemerintah menyatakan bahwa sektor pertanian perlu dijadikan basis untuk menggerakan program industrialisasi di masa yang akan datang. Sedangkan sektor industri diarahkan secara umum untuk membantu pembangunan sektor pertanian. Perencanaan disusun atas dasar tahunan, dimana terdapat desentralisasi administrasi perekonomian yang cukup besar pada tingkat propinsi dan lokal. Sementara kegiatan swasta kecil-kecilan sebagai cerminan dari daya kreatifitas anggota masyarakat yang dalam Pelita I telah memperlihatkan perkembangan positif dalam pertumbuhan ekonomi negara akan diperkenankan kembali. Pada masa Pemulihan dan Penyesuaian Kembali (1961-1965) ini, Liu Shaoqi berusaha menanamkan aliran liberalisme dalam perencanaan-perencanaan pembangunan demi perbaikan sistem ekonomi sosialis Cina. Oleh karena itu di daerah pedesaan diberikan kelonggaran terhadap pelaksanaan sistem kolektifitas dan sistem ekonomi tanpa pasar yang autokratis. Gagasan tersebut diperluas dan dikembangkan dengan sistem pertanian dalam skala kecil; penggarapan tanah-tanah milik individu; perdagangan dalm pasar bebas, walaupun dalam skala kecil yang terbatas dan berbeda dengan di negara-negara kapitalis; serta pemberian kesempatan kepada perusahaan-perusahaan kecil yang berbasis pada rumah tangga perseorangan, termasuk dalam hal menanggung untung-rugi. Selain itu, Liu juga mempropagandakan kebebasan untuk menerapkan sistem kredit bunga, mempekerjakan kaum buruh, menjual tanah dan menyelenggarakan perusahaan perseorangan.

Menurut Mao, pendirian ideoloi dan prestasi politik rakyat harus diperbaiki, untuk mecegah matinya semangat revolusioner dan hidup kembalinya kapitalisme akibat diadakanya Program Pemulihan dan Penyesuaian Kembali ekonomi Cina pasca Lompat Jauh ke Depan. Perbaikan ini juga perlu megingat semakin besarnya kesangsian massa terhadap kesetiaan kader-kader partai terhadap mereka. Oleh karena itu, bagi Mao organisasi-organisasi tingkat bawah, terutama massa itu sendiri perlu diberikan wewenang untuk mengawasi partai. Mao Tse Tung meresmikan suatu tim Revolusi Kebudayaan dengan Cheng Bo da sebagai ketuanya. Pada awal Agustus 1966 Komite sentral PKC mengadakan sidang untuk merumuskan garis kebijakan dalam mengendalikan Revolusi Kebudayaan. Rumusan tersebut terdiri dari 18 pasal, sebagai berikut:
  1. Revolusi sosialis yang telah mencapai suatu tahapan baru itu telah menegakan Orde Baru yang mengembangkan gagasan dan kebudayaan baru.
  2. Keberanian untuk melangkah maju telah berhasil menumbangkan mereka yang menganut jalan kapitalis.
  3. Keberanian harus dilimpahkan kepada rakyat massa, sehingga dapat membongkar pengkhianatan terhadap pikiran Mao Tse Tung.
  4. Rakyat massa dipersilahkan mendidik diri dalam mengobarkan revolusi Kebudayaan.
  5. ”Poster Berhuruf Besar” supaya dimanfaatkan sebanyak-banyaknya agar dapat diperbaiki kesalahan-kesalahan serta membeberkan pandangan-pandangan yang keliru”
  6. Diserukan agar ditegaskan siapa kawan dan siapa lawan.
  7. Sasaran pokok dari Revolusi Kebudayaan adalah menumbangkan unsur-unsur dalam Partai Komunis yang menganut paham kapitalis.
  8. Metodenya adalah :
    1. mengemukakan fakta-fakta
    2. mengadakan ajakan untuk memperbincangkan fakta-fakta tersebut
    3. menghindari tindakan kekerasan
  9. Mencegah terjadinya tuduhan keliru terhadap rakyat revolusioner.
  10. Mengadakan perbedaan antara :
    1. Yang baik
    2. Yang sedang
    3. Yang berbuat salah, tetapi tidak anti-Partai dan tidak anti-sosialisme
  11. Organisasi yang telah ada supaya dianggap sebagai alat kekuasaan dari Revolusi Kebudayaan.
  12. Sistem dan prinsip-prinsip, dan cara mengajar yang lama harus diganti dengan sistem pengajaran yang mengabdi pada politik proletar, dalam kaitanya dengan kerja produktif.
  13. Kritik dengan menyebut nama, baru dapat dijalankan setelah diperbincangkan oleh Komite Partai setempat, dan setelah mendapat persetujuan dari tingkat atasan.
  14. Kritik terhadap para sarjana dan teknisi yang tidak anti-Partai / anti-Sosialisme dan tidak berhubungan gelap dengan negara asing, harus dijalankan atas dasar ”Persatuan kritik persatuan”.
  15. Sasaran pokoknya adalah; satuan-satuan kultural, pendidikan, dan pemerintah di kota-kota besar dan kota-kota sedang.
  16. Tujuan dari Revolusi Kebudayaan adalah merevolusionerkan ideologi rakyat, dan menambah produksi serta mutunya.
  17. Di lingkungan Angkatan Bersenjata, edukasi sosial dan Revolusi Kebudayaan harus sesuai dengan instruksi dari Komisi.
  18. Pikiran Mao Tse Tung menjadi pedoman dari seluruh kegiatan.

Demikian sekilas tentang rentetan sejarah dari Negara yang sekarang cukup diperhitungkan dalam kancah Dunia Internasional. Semoga kita bisa mengambil suatu pelajaran dari materi ini. Harapannya pelajaran yang kita peroleh dapat menjadikan salah satu pertimbangan kita dalam menentukan langkah dan mengambil kebijakan ketika kita berhubungan dengan Negara lain. Sekian dan terima kasih.

Terima kasih atas komentar anda.