Kedelai, Impor, dan Rekayasa

4:30 PM 0 Comments A+ a-

Amerika merupakan salah satu pengekspor komoditas pangan ke pasar internasional. Total ekspor komoditas pertanian AS mulai tahun 2011 hingga tahun 2014 mengalami fluktuasi. Tahun 2011 hingga 2013 mengalami penurunan terus-menerus dari titik 180.586.377 ton pada tahun 2011 menjadi 170.508.976 ton pada tahun 2013. Tetapi mengalami kenaikan yang cukup signifikan pada tahun 2014 mencapai 209.605.457 ton yang menjadi titik paling tinggi sejak empat tahun terakhir.
Tabel 1.1 Ekspor Komoditas Pertanian Amerika Serikat
Sumber: Data diolah dari USDA (Maret 2016)
Walaupun secara kuantitas mengalami penurunan, tetapi secara nilai mengalami kenaikan terus-menerus. Ekspor komoditas pertanian AS ke negara-negara di dunia secara nilai mengalami kenaikan mulai tahun 2011 hingga tahun 2014. Secara beturut-turut total ekspor komoditas AS pada tahun 2011, 2012, dan 2013 sebesar US$136.444.449, US$141.550.211, dan US$144.359.309. Sedangkan posisi tertinggi tahun 2014 mencapai US$150.014.539.
Sebagai contoh konkret rincian data impor pertanian, peneliti mengambil Indonesia dan komoditas kedelai. Guna mencukupi kebutuhan pangan, Indonesia melakukan berbagai upaya seperti menggenjot produksi pangan dalam negeri. Namun, di Indonesia masih ada beberapa komoditas pangan yang tingkat konsumsinya tinggi tapi tingkat produksi rendah. Komoditas yang masih kekurangan tersebut antara lain: gandum, kedelai, gula, dan jagung. Salah satu upaya untuk mengatasi kekurangan tersebut, pemerintah melakukan impor dari negara lain. Menurut data yang dilansir oleh Statistik FAO, impor Indonesia yang paling besar tahun 2011 adalah gandum sebagai bahan pokok tepung terigu sebesar 5.6 juta ton. Diikuti oleh Jagung sebesar 3.2 juta ton, cake of soybeans (2,9 juta ton), gula (2,3 juta ton), dan kedelai sebesar 2 juta ton (lihat tabel 1.2).
Table 1.2 Impor Komoditas Pangan Indonesia Tahun 2011
Sumber: diolah dari http://faostat.fao.org

Salah satu komoditas yang diimpor dari pasar luar negeri hingga saat ini karena tingginya permintaan dalam negeri adalah kedelai. Dari berbagai komoditas tersebut, memang kedelai bukan komoditas yang paling banyak kuantitasnya dan bukan merupakan bahan makanan pokok, tapi kebutuhan akan kedelai di Indonesia terbilang masih besar. Kebutuhan tersebut sebagian besar digunakan untuk mencukupi sumber bahan pangan protein nabati masyarakat seperti bahan baku berbagai makanan khas Indonesia seperti tahu dan tempe. Selain itu, kedelai juga digunakan untuk memenuhi protein nabati peternakan. Sama halnya dengan manusia yang selalu membutuhkan sumber-sumber makanan, ternak, terutama ternak unggas, juga membutuhkan kedelai untuk mencukupi kebutuhan gizinya.[1]

Table 1.3 Volume Impor Kedelai Indonesia 2004-2011
Sumber: diolah dari http://soystats.com
Berdasarkan pada Tabel 1.3 di atas, jumlah kedelai yang masuk ke pasar domestik Indonesia mengalami peningkatan tajam setelah tahun 2007. Kendati turun pada tahun 2008, tahun-tahun berikutnya mengalami peningkatan terus-menerus hingga tahun 2011 mencapai 2.08 juta ton.
Table 1.4 Produsen Kedelai Dunia tahun 2014
No.
Negara
Juta bushel[2]
Juta metrik ton
1.
Amerika Serikat
3.968
108,0
2.
Brasil
3.472
94,5
3.
Argentina
2.058
56,0
4.
Tiongkok
454
12,4
5.
India
386
10,5
6.
Paraguay
312
8,5
7.
Kanada
222
6,1
8.
Lainnya
713
19,4
Total
11.585
315,4
Sumber: diolah dari http://soystats.com
Di dunia, negara-negara yang menjadi produsen kedelai terbesar adalah AS diikuti Brasil, Argentina, Tiongkok dan India. Sedangkan untuk negara yang menguasai pasar kedelai dunia adalah pemain-pemain lama yakni negara-negara seperti AS, Brasil, Argentina, Tiongkok, dan India (http://faostat.fao.org/, 2015). Tahun 2014, AS menjadi negara produsen utama yang dapat mengekspor kedelai ke pasar internasional yang mencapai 41%, yang kemudian diikuti oleh Brasil sebesar 39%, Argentina 7%, Paraguay 4%, Kanada 3%, dan lainnya 6% (http://faostat.fao.org/, 2015). Di sini terlihat pergeseran, Tiongkok yang merupakan lima besar produsen terbesar. Tapi dalam perdagangan internasional tidak menjadi lima besar eksportir kedelai. Ini membuktikan bahwa konsumsi kedelai Tiongkok juga tinggi.
                        Tabel 1.5 Eksportir Kedelai Dunia tahun 2014
Sumber: diolah dari http://soystats.com
Berbeda dengan negara-negara importir tersebut yang bisa mengekspor, Indonesia justru mengimpor kedelai. Pasokan kedelai Indonesia antara lain diperoleh dari beberapa negara seperti AS, Argentina, Brasil, Malaysia, dan India. Pasokan kedelai impor Indonesia paling banyak didominasi oleh kedelai yang berasal dari AS. Negara tersebut menguasai lebih dari setengah dari keseluruhan perdagangan kedelai di Indonesia dengan share sebesar 72%, diikuti oleh Argentina 11%, Brasil 6%, Malaysia 4%, India 1% dan lainnya sebesar 6% (Azky). Bahkan, seperti yang diungkapkan oleh Robert O Blake, duta besar AS untuk Indonesia, tahun 2013, 90% kacang kedelai yang digunakan bahan baku tempe dan tahu Indonesia diimpor dari AS (www.tempo.com, 2014). Pernyataan Blake ini dikuatkan diperkuat dengan data yang dilangsir oleh lembaga statistik khusus kedelai dari AS. Indonesia masuk dalam tiga besar negara tujuan ekspor kedelai AS (http://faostat.fao.org). Indonesia menjadi negara importir kedelai dari AS senilai $ 1 juta dolar US pada tahun 2014.
Table 1.6 Pasar Kedelai AS

Sumber: diolah dari http://soystats.com
Kedelai AS pada dasarnya berbeda dengan kedelai lokal. Dari segi kualitas, keduanya memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Menurut Maman Suparman, salah seorang ahli pertanian, kedelai lokal unggul dari kedelai AS dalam hal bahan baku pembuatan tahu. Rasa tahu lebih lezat, rendemennya (keuntungan) pun lebih tinggi. Selain itu, risiko terhadap kesehatan cukup rendah karena bukan benih transgenik, berbeda dengan kedelai AS. Meski demikian, sebagai bahan baku tahu, kedelai lokal memiliki kelemahan, terutama untuk bahan baku tempe. Penyebabnya, ukuran kecil atau tidak seragam dan kurang bersih. Selain itu, kulit ari kacang sulit terkelupas saat proses pencucian kedelai, dan proses peragiannya pun lebih lama. Setelah berbentuk tempe, proses pengukusan lebih lama empuknya, bahkan bisa kurang empuk. Sejalan dengan Maman Suparman, seorang ahli gizi dan pengamat tempe Indonesia asal Inggris, Jonathan Agranof, menyatakan bahwa secara umum produk kedelai dari Indonesia lebih baik daripada kedelai impor asal AS.
“Keunggulan kedelai Indonesia adalah tidak modifikasi genetik, organik, rasa kedelainya enak, dan air rendaman kedelainya pun jernih. Australia dan negara-negara di Eropa enggan mengimpor kedelai dari AS karena faktor genetik modifikasi (GM), yang mempunyai dampak negatif pada kesehatan.” (Mardiani, 2012)

Dari contoh tersebut, bisa dinyatakan bahwa kedelai dari AS kendati memiliki beberapa kekurangan akan tetapi pasar kedelai impor di Indonesia masih didominasi oleh AS. Ironisnya, AS merupakan salah satu negara yang mengembangkan Genetically Modified Organism (GMO) dalam produksi komoditas pertaniannya. Bukan hanya kedelai, komoditas lainnya seperti jagung dan kapas juga termasuk komoditas pertanian yang paling banyak dikembangkan di AS menggunakan teknologi GMO.
GMO sendiri merupakan efek dari merambahnya teknologi dalam bidang produksi produk pangan (pertanian dan perikanan) seperti genetic modified (rekayasa genetik). Rekayasa genetik ini menghasilkan beberapa produk pertanian dengan varietas unggul, seperti tanaman yang secara alaminya mudah terserang hama menjadi kebal hama, produksi rendah menjadi tinggi, umur panen panjang menjadi tinggi. Jenis produk ini biasa disebut dengan GMO. Oleh karena itu, teknologi dapat meningkatkan produksi produk pangan sehingga dapat mencukupi kebutuhan manusia. Argumen ini yang digunakan oleh AS guna membenarkan penggunaan teknologi rekayasa genetik dalam pengembangan dan produksi komoditas pangan pertanian.
Di lain sisi, jaminan kesehatan akan produk GMO seperti kedelai tersebut masih belum terjamin. Salah seorang ahli dalam bidang rekayasa genetik, Jeffrey M. Smith dalam Seeds of Deception and Genetic Roulette menyebutkan setidaknya ada 65 resiko kesehatan serius akibat mengkonsumsi produk GMO. Setelah Smith melakukan pengujian terhadap tikus, menyimpulkan bahwa ada gangguan yang diderita tikus setelah diberi makan GMO. Tikus merupakan salah satu hewan yang struktur pencernaannya mirip dengan manusia. Jadi tidak menutup kemungkinan jika risiko-risiko tersebut akan terjadi juga pada manusia. Dengan mengkonsumsi makanan hasil rekayasa genetik selama beberapa generasi, kemungkinan mendapatkan efek negatif sangat terbuka lebar. Bahkan, menurut Smith antara tahun 1994-2001 terjadi fenomena yang mengejutkan. Dimana penyakit yang berhubungan dengan makanan mengalami peningkatan dua kali lipat bersamaan dengan produk GMO membanjiri pasar. Produk hasil rekayasa genetik di dunia ini cukup banyak. Apalagi jika berupa produk pangan yang berkaitan langsung dengan kehidupan manusia. Menurut Mae Wan Ho (2005: xiii), tanaman hasil rekayasa genetik bukan saja tidak berguna tetapi juga berbahaya bagi kesehatan dan tidak baik untuk lingkungan.
Beberapa kawasan di dunia ini telah menyatakan sebagai kawasan bebas dari produk rekayasa genetik, terutama di Eropa. 172 kawasan dan provinsi di Eropa telah menyatakan dirinya Zona Bebas Rekayasa Genetik (Genetic Modified Free Zone). Lebih dari 4.500 pemerintah daerah juga meminta pembatasan terhadap penanaman produk hasil rekayasa genetik komersial (Mae Wan Ho, 2005: xii). Namun, masih banyak negara yang kurang perhatian dengan isu ini. Dibuktikan dengan maraknya produk rekayasa genetik di negara-negara berkembang, Indonesia juga.
Isu keamanan pangan termasuk pangan rekayasa genetik menjadi konsen di beberapa negara maju seperti Australia, New Zealand, dan beberapa negara Eropa. Negara mengupayakan semaksimal mungkin guna melindungi warga negaranya untuk meminimalisir dampak dari GMO. Namun, berbeda dengan kondisi di negara berkembang. Negara berkembang memiliki kecenderungan hanya fokus terhadap ketercukupan pangan belum ke keamanan pangan. Dalam artian mementingkan kuantitas dan belum kualitas.
Walaupun negara berkembang belum bisa memastikan keamanan produk pangan yang berupa komoditas pertanian tetapi negara tetap harus menjamin keterbukaan informasi. Dalam kajian ini akan difokuskan komoditas pertanian impor, sehingga keterbukaan informasi dapat dibebankan negara kepada produsen di luar negeri (negera importir).
GMO dari AS menyebar ke berbagai penjuru dunia, termasuk negara-negara berkembang. Oleh karena itu pemerintah negara-negara berkembang harus cermati mengenai teknologi rekayasa genetika untuk produksi pangan yang belum diketahui pasti keamanannya bagi kesehatan manusia dan lingkungan. Namun, selama ini kedelai impor terutama yang berasal dari AS masih beredar di pasar dalam negeri negara-negara berkembang termasuk Indonesia tanpa label. Sehingga konsumen tidak tahu apakah barang yang dikonsumsinya adalah GMO atau tidak.
Lalu, jangan lupa tetap makan tempe dan tahu, baca basmallah dulu ya. :)



[1] Hewan ternak seperti unggas dan sapi juga membutuhkan kedelai untuk memenuhi kebutuhan protein tubuhnya. Akan tetapi kedelai yang digunakan adalah bungkilnya, atau ampas kedelai yang telah diambil lemaknya. Sekitar 40% bahan pakan ternak masih merupakan bahan impor. Karena kedelai memang sulit diproduksi sendiri karena keterbatasan iklim di Indonesia.
[2] Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, bushel atau gantang adalah satuan ukuran isi atau takaran 3,125 kg, biasanya untuk menakar atau menyukat beras, kacang-kacangan, dan sebagainya.

Terima kasih atas komentar anda.