Showing posts with label cappuccino. Show all posts
Showing posts with label cappuccino. Show all posts

Jam Tangan (2)

tees.co.id


setelah postingan kemarin tentang fungsi (modus) lain pemakaian jam tangan (1),  beberapa teman ikut urun pendapat pula tentang fungsi dan niatan memakai jam tangan. ada yang menggunakan jam tangan layaknya fungsi kodratinya, 
"jam tangan itu scedhule on. apalagi untuk kita yg multitasking," ungkap diana

iya sih, jam tangan bisa memacu diri untuk menyelesaikan pekerjaan tepat pada waktunya. namun, ada pula yang memakai jam tangan dengan modus lain yang unik, bukan tuntutan style atau berhubungan dengan waktu, tapi 
"biar ga kebanyakan ngelamun kalo ujian dan biar ada yang bisa dilirik kalau kelas ngebosenin. lol." pengin tertawa sekenceng-kencengnya liat komentar ayuara ini. "lha mbok jo kusi ngenes ko kuwi to, nak. sampai benda mati, jam tangan, yang bisa mengalihkan lamunanmu dan jadi objek lirikan." 

anyway...
---

sekitar sebulan aku tak memakai jam tangan. berawal ketika bertugas (liputan salah satu majalah) di salah satu kampus yang dipenuhi taruna-taruni. temenku cewek yang ditugasi meliput bareng ketakutan melihat sosok taruna tegap dan gagah dengan balutan baju ketatnya. "kasar," katanya. sementara aku, terkadang, sekilas melihat taruni baris-berbaris seakan melihat deretan barisan masa depan #tsah.
lupakan paragraf di atas. 

setelah wudlu dilanjut sholat dzuhur usai, entah kenapa ini tubuh rasanya jadi seger dan merasa gagah. badan yang biasanya membungkuk jadi lurus, biasanya jalan merunduk pun jadi tegap, mungkin ini yang dinamakan efek pengaruh lingkungan yang dijelaskan saat pelajaran biologi dulu, atau mungkin berlaku hukum aksi-reaksi, entahlah. berada di lingkungan sosial taruna-taruni, tubuh ini secara psikologis ikut-ikutan. 

naasnya, ini nih, yang membuat terlena. setelah sampai parkiran, baru sadar kalau jam yang biasanya melekat di tangan tak ada di tempat semestinya. ku ingat-ingat, “oh iya, mungkin ketinggal saat ambil air wudlu.” maklum, jam kelas rendahan, tidak tahan air, belum dilatih berenang, harus dilepas saat wudlu. 

ku bergegas menuju masjid yang berada di bagian belakang kompleks kampus itu. lari sambil bayangin ngejar layangan putus nostalgia masa kecil di kampung. “ah, sudah tak ada.” ku hela nafas dan berujar dalam benak “mungkin belum jodoh jadi yang terakhir, mungkin bakal segera ketemu yang lebih baik setelah ini.” ketemu jam tangan yang lebih baik maksudnya, jangan pikiran ke mana-mana kamu. jangan baper juga!
...
dua minggu berselang, setelah gajian ...
“mbak, jam tangan yang itu ya mbak.”
“ini?”
“bukan mbak, sebelahnya, yang warna silver.”
“ini mas, silakan coba dulu.” *sambil nyodorin jam tangan pilihanku*
“wis, beres mbak. cocok lah ini. (cocok di kantong maksudnya). tolong potong 5 ruas ya mbak, kelonggaran ini.”
“tunggu bentar ya mas.”
(duh, dipanggil mas sama mbak-mbak penjaga toko jam, rasanya kayak ada manis-manisnya) astaghfirullah.
...

malam itu, sehabis pulang dari Demak, aku tak bisa tidur. muntah-muntah mulai dari tengah malam hingga pagi hari. entah kenapa, mungkin ini gegara kena gerimis, perut belum makan dari siang, ditambah efek dinginnya AC mobil semalaman. seingatku, sepanjang hidup ini yang kedua kalinya aku tumbang muntah-muntah semaleman sejak tragedi di tempat KKN lima bulan silam. kapan-kapan aku ceritakan padamu, iya kamu.

“langsung ke dokter, kali aja keracunan,” sms dari Simak (red, ibu) sehabis subuh.
entah kenapa pagi itu Simak sms, lalu aku cerita kalo muntah-muntah semalaman. biasanya aku tak cerita apa-apa kalo tumbang kayak gini
“paling cuma kelelahan, istirahat dan makan makanan yang lagi dipengini, besoknya sembuh,” batinku

demi bakti orang ke orang tua, yakni mengikuti perintah dan tidak membuat cemas, aku ikuti nasihat itu. ini merupakan pengalaman pertama aku ke dokter, periksa perihal kesehatan untuk diriku sendiri selama merantau di Semarang. pertama kali pula antri di lobi Rumah Sakit, menahan muntah sambil meladeni orang ngobrol. kebetulan orang itu Bapak dari anak didikku yang paling pintar di kelas saat aku jadi Wali Kelas. "rela aku nahan muntah demi kamu pak. iya, kamu bapak dari anak yang sering mewakili sekolah dalam berbagai ajang perlombaan."
...

seminggu berselang dari pengalaman pertama antri untuk periksa diri sendiri yang berakhir di jarum infus. jam tangan yang saat ku beli, lalu minta potong lima ruas agar pas di tangan dan itu pun masih serasa sesak, kini terasa longgar. bahkan, telunjuk dan jari tengah pun bisa diselipin di dalam sabuk jam tangan saat dipakai. saking longgarnya, ini jam tangan berjalan mondar-mandir melewati sendi pergelangan tangan kala dibawa rukuk-i’tidak-sujud-berdiri lagi saat taraweh. jika diestimasi per rokaat jam tangan mondar-mandir dua kali, berarti taraweh 20 rokaat totalnya 40 kali tulang sendi pergelangan tangan ini dilangkahi oleh jam tangan.

mungkin ini salah satu (lagi) kegunaan jam tangan bagiku. sebagai alat kontrol, melihat seberapa pertambahan lemak dalam badan ini yang diwakili tangan. kalo jam tangan serasa sesak, berarti sudah saatnya untuk .... *tetiba lupa mau nulis apa*
---

pengunjung yang baik adalah yang meninggalkan jejak.

Jam Tangan (1)

http://learnersdictionary.com/definition/wristwatch


Era sekarang lumrah orang memakai jam tangan. Selain sebagai aksesoris penunjang agar penampilan menjadi stylis, jangan sampai terlupa, secara kodrati jam tangan sejatinya berfungsi sebagai penunjuk waktu. Pemakai jam tangan akan terkesan sebagai sosok sangat menghargai waktu. Jadwal keseharian tertata rapi dan tidak boleh melenceng dari perencanaan, serta selalu ontime pastinya (walau tidak sepenuhnya benar).

Pemakai jam tangan yang hanya berniat untuk gaya-gayaan memiliki ciri yang khas. Sebelum melihat jam, dia akan mengangkat tangan ke atas atau bahkan ke samping, ke muka temen di sampingnya. Iya, tak lain agar temannya tahu kalo “Ini loh, aku punya jam tangan. Jam tangan mahal loh, tak perlu baterai, bertenaga nuklir.”

Mengesampingkan niat pemakai akan fungsi kodrati jam tangan tersebut, jika kalian menyadari, ada pula kegunaan lain dari benda antik yang konon hasil revolusi dari jam air dan jam pasir jaman peradaban Islam di Persia sana. Mungkin kamu sering menjumpainya tapi tak menyadarinya, bisa saja.
---

A: “Iya, kemarin sore aku dateng telat. Akhirnya tidak mendapat kupon takjil (berbuka puasa).”

B: “Loh, makanya, sore-sore jangan tidur, rasain gak dapat kupon. Kalo aku sih dah tahu masjid yang tak perlu antri. Dateng akhir tak apa, yang penting pas dateng langsung memposisikan diri di deket tempat keluarnya nasi. Di pintu samping kiri, kan nasinya dari situ jalannya. Dijamin dapet duluan. Haha”

A: “Wah, masjid mana itu? Bolehlah berbagi rahasia sesama pejuang (red, pejuang takjil hunter)” *pasang wajah memelas*

B: “Sik sik, jalan menuju masjid lumayan rumit, butuh banyak waktu untuk jelasin.” *sambil lihat jam tangan*

A: “Ya sudah, kamu kayaknya lagi buru-buru. Liat jam mulu dari tadi. Jelasin besok gak apa deh pas di sehabis UAS”

B: *hehe* “Duluan ya, Assalamualaikum bro.” *sambil ngegas motor*

Nah tuh, beberapa kegunaan jam tangan di luar fungsi kodrati. Dengan melirik jam tangan atau pura-pura menanyakan pukul berapa, seakan-akan memberi isyarat “Aku sibuk ini, setelah ini ada acara. Sudah dulu ya.” Trik ini bisa digunakan untuk memotong pembahasan yang tak kunjung usai, bingung mau mengakhirinya, atau bahkan ingin kabur dari pertanyaan yang sulit dijawab (misal memberikan bocoran tempat takjil istimewa :D).

Namun, ingat, tak semuanya orang yang melirik jam tangan atau menanyakan waktu berniat seperti itu. Jangan prasangka buruk dulu. Kali aja memang dia lagi sibuk. Atau memiliki fungsi lain seperti menghilangkan kebosanan misalnya.

Semoga hamba dan keluarga dihindarkan dari kesombongan dan penyalahgunaan atas penggunaan jam tangan, Ya Tuhan.
---

Pembaca yang baik adalah pengunjung yang meninggalkan jejak. Sila berkomentar. :)

Mahasiswa dan bangun pagi

Melanjutkan tulisanku sebelumnya tentang “Bangun pagi itu, relatif”, sekarang aku akan mengajak kamu, iya kamu, para mahasiswa yang notabene kaum pemikir untuk berfikir dan merenung bersama. Ingat, berfikir dan merenung bersama, tanpa berniat menjudge apapun dan siapapun.

Bangun pagi merupakan momok bagi sebagian besar mahasiswa. Sulit benar untuk bangun pagi secara konsisten (betul? Semoga tidak). Mahasiswa terkadang hanya bangun pagi saat  ada jadwal kuliah jam 7 pagi. Kalo jadwal kuliah jam 12 siang ya ntar lah bangunnya, jam 10 aja masih males-malesan lepas bantal guling.

Padahal kebiasaan bangun tidur pagi sangat bermanfaat. Memang, bagi mahasiswa semester muda 1-4 masih belum terasa efeknya. Namun, bagi mahasiswa yang telah berumur akan terasa dampaknya. Bangun pagi ibarat garis start sebelum melaju balapan, berpacu mengejar target tugas akhir atau skripsi beserta revisian dari dosen yang selalu menyertainya. Semoga segera kelar skripsiku, amin….

Kamu mahasiswa muda belum percaya dengan ceritaku (yang notabene mahasiswa berumur). Oke lah, hak kamu untuk percaya atau tidak. Biarkan waktu yang bicara dan mengadilimu jika kebiasaan bangun siangmu belum diubah, hehe

Begini deh biar gampang ilustrasinya. Di saat kamu menginjak semester 5 atau 6, beberapa jurusan mewajibkan (ada yang mengajurkan, ada yang membebaskan) mahasiswa untuk lakukan Magang/Praktik Kerja Lapangan (PKL). Kegiatan ini bertujuan agar mahasiswa merasakan sedikit tentang manis-pahitnya dunia pekerjaan. Tempat magang biasanya punya aturan sendiri-sendiri yang mengatur jadwal kedatangan pemagang. Aku misalnya, saat magang di instansi pemerintah provinsi diberi kelonggaran untuk datang pukul 8 pagi dengan waktu perjalanan 45 menit tanpa menghitungkan resiko macet pakai angkutan umum. Jadi harus berangkat maksimal 7.15. Beda dengan temenku, walau sama-sama magang di instansi pemerintah, dia harus datang jam 7.00 untuk mengikuti apel pagi wajib. Dengan waktu tempuh 30 menit, dia harus berangkat jam 6.30. Kalo macet, ya telat apel, makanya dia berangkat lebih pagi lagi.

Masa-masa magang selesai, lanjut ke semester berikutnya. Semester 7 dan 8 kamu mulai mengambil makul Kuliah Kerja Nyata (KKN). Nah, makul ini lah yang akan mengadilimu berikutnya. Saat KKN, kamu bukan hanya bersinggungan dengan sesama mahasiswa saja, tapi kamu akan dihadapkan dengan hiruk-pikuk dunia masyarakat secara nyata. Apalagi jika ditenjunkan di pedesaan yang notabene tatanan masyarakat dan kepedulian antarwarga masih terjaga, otomatis, check and control masyarakat terhadap mahasiswa KKN masih kuat pula. Bangun siang dikit, masyarakat akan memperbincangkannya dan menyebar, meluas kabarnya.

“Mas, itu temen-temennya kok enggak ikut sarapan. Belum bangun ya?”
“Sudah kok bu, masih pada antri mandi”
Padahal antrinya sambil tergeletak di kasur. Aku terpaksa harus jawab begitu, demi kebaikan bersama kalo kata Pak RT.

Hmmmm…

Begitulah kira-kira sekilas gambaran tentang manfaat bangun pagi semasa kuliah. Seperti yang ku sampaikan di awal tulisan, mari berfikir dan merenung bersama. Merubah kebiasaan untuk bangun pagi terkadang sulit, tapi harus dimulai demi cita-cita bangun keluarga dan bangun negara. Toh, nantinya kebiasaan baik akan berdampak baik pula, bukan?

Bangun pagi itu, relatif

“Aku bangun pagi kok”
“Ha??? Jam 8 baru melek, kamu sebut bangun pagi?”

Memang, masih terjadi perselisihan pendapat tentang definisi bangun pagi.

“Bangun pagi itu jam berapa? Jam 4 dengan jam 6 pagian mana?”
“Ya jam 4”
“Jam 6 dibanding jam 9 pagian mana?”
“Ya pagi jam 6 lah”
“Kalo jam 9 dibanding jam 11 pagian mana? Pasti jam 9 kan?”
“iya”
sambil tertunduk malu

Nah kan, relativitas waktu ternyata ada (kayak teori Einstein aja). Bukan karena waktunya yang relatif, tetapi karena standar orang berbeda-beda.

Standar bangun pagi sesuai dengan norma, pekerjaan, dan kebiasaan lingkungannya. Norma Agama Islam misalnya, bangun pagi menunjukkan bangun sebelum waktu subuh (sekitar pukul 3.50) atau lebih pagi lagi. Bangun setelah subuh dianggap kesiangan.

Para petani padi harus berangkat ke sawah pagi buta. Mengairi tanaman padi tiap hari terutama saat masa padi baru ditanam. Matahari terbit dia sudah pulang dari sawah sambil membawa rumput dua keranjang untuk makan hewan ternak kambing atau sapi.

Koki restoran (warung makan), warung tegal misalnya, harus menyediakan makanan segar pagi-pagi sebelum pelanggan ramai sarapan ria. Ketika aku datang pukul 3.30 pagi, sayur-mayur dan lauk-pauk di warung tegal langgananku sudah pada matang. Jam segitu bisa makan makanan enak yang masih hangat baru angkat dari kompor. Bisa kamu bayangkan, jam berapa koki itu harus bangun untuk memasak begitu banyak makanan yang tertera di daftar menu.

Pekerja kantoran di kota besar yang rawan macet juga tak boleh bangun siang. Pernah suatu kali aku menginap di satu keluarga kantoran yang terletak di Jakarta Timur. Bapak ibu dan anak berangkat pakai satu mobil pukul 5.30 guna menghindari jebakan macet. Sebelum menuju kantor masing-masing, bapak ibu mengantar anak ke sekolah terlebih dahulu.

Guru, presiden, menteri, duta besar, pegawai pemerintah, karyawan MNC, enterpereneur, penyanyi, penyiar berita, wartawan, loper koran, buruh, abang cilok, dan masih banyak sederetan pekerjaan yang menuntut harus bangun pagi dengan artian sekitar pukul 5.00 atau sebelumnya.

“Tangi awan, rejekine dipatok pitik” (Bangun siang, rejekinya dimakan ayam)


Lalu, duhai para calon pemimpi, pemimpi yang memimpikan pekerjaan ideal dan berpenghasilan tinggi, kamu menginginkan pekerjaan apa besok kelak? Siap bangun pagi kan?

KKN dan Pacar, eh Jodoh

Sebagai pemuda, patut lah mengikuti pesan orang tua, termasuk kami mahasiswa semester tua yang bakal terjun ke masyarakat lakukan KKN.

Viral di media sosial bahkan di koran lokal kabar tentang pesan Rektor kampusku, kepada mahasiswa KKN agar tidak mencari pacar (red: calon jodoh) saat KKN demi menjaga nama baik kampus. Salah satu akun medsos menyebut Rektor berkata “Kalau ada yang dapat pacar saat KKN, saya do’akan supaya putus secepat-cepatnya.”

Walau ikut upacara pelepasan tersebut, jujur aku tak berani mengaransi kebenaran kabar tersebut. Apakah itu pesan beliau (red: Rektor) secara serius atau hanya bercandaan. Maklum, Prof  Y merupakan sosok yang ramah dan sering membumbui pembicaraan dengan guyonan renyah guna mencairkan suasana. Serius atau guyonan tergantung konteks pembicaraan dan gaya bahasa dan gaya tubuh saat mengucapkannya. Sedangkan aku tak memperhatikannya.

Terlepas dari benar atau tidaknya kabar tersebut, justru aku mendapat pesan sebaliknya. Pihak jajaran pemangku kebijakan di kecamatan aku ditempatkan justru mengharap ada pemuda-pemudi yang kecantol dengan Mahasiswa KKN. “Kalian datang sejumlah 127, semoga pulang pun sejumlah segitu, tidak kurang suatu apa dengan sehat semua. Syukur-syukur ada pemuda-pemudi sini yang kecantol dengan mas-mbak KKN. Tahun-tahun sebelumnya juga ada.” ujar salah satu perwakilan Kecamatan dalam sambutannya yang disambut tawa riuh mahasiswa KKN Tim I.
-----

“Ya nek misale oleh wong kana ya ora papa. Daripada oleh wong adoh-adoh, mundak ilang. Apa maning nek bocahe ora gelem manggon nang Jambangan. Simak wis tuwo, ora bisa nek tilik adoh-adoh. Temanggung kan cedak seko Bawang-Batang, bisa lah Simak wira-wiri.”

“Lha nek kulo angsale adoh, benten pulau, nek boten malah luar negeri sekalian?”
“Nek gelem manggon nang kene ya ora papa.”

Percakapan via telpon antara anak bungsu dengan Simaknya saat kasih kabar tentang penempatan tempat KKN. Aku sadar, kamu mungkin bingung dengan maksud percakapan itu. Gini deh, aku terjemahin:

“Ya misal kalo kamu dapet gadis sana ya tak apa. Daripada dapet gadis yang rumahnya jauh, ntar hilang. Apalagi kalo dianya gak mau tinggal di Jambangan (nama desaku). Simak (ibu, mama, bunda) dah tua, gak bisa jenguk anak cucu ntar kalo jauh-jauh. Temanggung kan deket dari Bawang-Batang, bisa lah Simak mondar-mandir ke situ,” petuah seorang ibu ke anaknya.

“Lha kalo aku dapatnya jauh, beda pulau, kalo tidak justru luar negeri sekalian?” godaku.

“Ya kalo mau tinggal di sini ya ndak apa,” jawabnya disambut tawa bersama.

-----

Intinya, mari menata hati, luruskan niat dalam ber-KKN. Lalu, kamu punya niat cari jodoh gak?

Lagu, Tari, dan Musik dalam Satu Seni, Gambang Semarang

Empat penari kian kemari / Jalan berlenggang, aduh… / Langkah gayanya menurut suara / Irama gambang//
Sambil bernyanyi, jongkok berdiri / Kaki melintang, aduh… / Sungguh jenaka tari mereka /
Tari berdendang//
Bersuka ria, gelak tertawa / Semua orang / Kar’na hati tertarik gerak-gerik /
Si tukang gendang//
Empat penari membikin hati / Menjadi senang, aduh… / Itulah dia malam gembira / Gambang Semarang//

Begitulah lirik dari lagu Gambang Semarang “Empat Penari” yang diciptakan oleh Oey Yok Siang tahun 1940. Lagu Gambang Semarang sering dimainkan penari dan penyanyi keturunan Tionghoa. Penari berkebaya encim dengan batik ”semarangan”, diiringi kendang, kecrek, suling, bonang, kempul, dan gong, serta alat musik dari bilah-bilah kayu atau yang disebut gambang.Lagu yang didendangkan sangat menyatu dengan tarian yang dilenggokan dengan gemulai sehingga nampak elok. Kekhasan tariannya terletak pada gerak telapak kaki yang berjungkit-jungkit sesuai irama lagu yang lincah dan dinamis.

Uniknya, tidak hanya alat musik Jawa, alat musik Tionghoa pun juga dipergunakan seperti gesek, konghayan atau tohyan.Gambang Semarang menunjukkan pengaruh Tionghoa yang cukup kuat dalam budaya di Kota Semarang.Ini mencerminkan akulturasi budaya Jawa-Tionghoa.

Alklisah, kesenian Gambang Semarang dibawakan oleh kelompok Gambang Kromong yang berasal dari daerah Kedaung, Bulak, Jakarta Selatan.  Kelompok yang berdiri pada tahun 1930-an ini bernama Putri Kedaung dimana ia diawaki oleh Subardi bersama kakak-kakaknya, Sian, Mpok Neni, Mpok Royom, dan Mpok Ira. Kelompok Putri Kedaung ini kemudian hijrah dari Jakarta. Mereka berpindah-pindah mulai dari Bogor, Bandung, Pekalongan dan Weleri, hingga akhirnya, mereka tiba di Semarang. Di kota inilah, kesenian Gambang dikenal dengan sebutan Gambang Semarang.

Gambang Semarang muncul dan mulai berkembang di Semarang dengan bentuk paguyuban yang anggotanya terdiri dari pribumi dan peranakan Tionghoa. Pementasan kebudayaan ini dilakukan di Gedung pertemuan Bian Hian Tiong, Gang Pinggir. Hingga kini, Gambang Semarang lebih sering nampak dalam perayaan-perayaan tertentu seperti dugderan dan festival seni budaya.

Meski demikian, Gambang Semarang terus mengalami pasang surut hingga akhirnya muncul generasi kedua pada tahun 1957. Saat itu, muncul kelompok baru di bawah pimpinan Lie Tik Boen. Ada hal yang membedakan generasi ini dengan generasi sebelumnya, yakni dalam hal penampilan. Penampilan Gambang Semarang pada generasi ini diwarnai dengan irama music melayu, musik pop, juga lagu Mandarin serta Keroncong.

Pada generasi sekarang, kebanyakan masyarakat Kota Semarang pecinta Gambang Semarang, khususnya anak muda, lagu yang paling diingat adalah Empat Penari. Berbeda dengan generasi tua yang lebih mengenal lagu Malu-Malu Kucing. Hingga kini, salah satu kelompok Gambang Semarang yang masih bertahan adalah Sentra Gambang Semarang. Kelompok ini dipimpin oleh Dimyanto Jayadi dan Putra Subardi.

*oleh: Faiz, Maya, dan Klaudia dimuat dalam Newsletter Universitas Diponegoro edisi Pimnas 27 tahun 2014