Hubungan Transnational Organized Crime dan Konflik (Studi Kasus : ISIS di Irak)

7:45 AM 1 Comments A+ a-


Pendahuluan

Transnational Organized Crime (TOC) is a global challenge posing serious threats to our collective peace and security. But in conflict-affected and fragile states the threats of transnational organized crime present particular and insidious challenges requiring new and innovative responses. Not only does TOC undermine the strength of the state, it further affects the critical and often contested relationship between the state and society. In fragile and conflict-affected states it is precisely the degraded nature of this relationship that often prevents progress toward greater peace and prosperity. While there is now an established correlation between conflict and state fragility, much less is understood about the relationship between transnational organized crime, conflict, and fragility. This report examines the dynamics between conflict, state fragility, and TOC, demonstrating how the three fit together in an uneasy triumvirate, and it presents ideas for a more effective response.[1] (Locke, Rachel 2012, Organized Crime, Conflict and Fraglity : A New Approach. New York : IPI, page 1)

Dalam buku tersebut, Locke menyatakan bahwa Kejahatan Terorganisasi Transnasional (TOC) merupakan sebuah tantangan global dan ancaman serius bagi perdamaian dan keamanan dunia.  Dimana organisasi ini akan membuat memicu terjadinya konflik. Jika Negara tersebut sudah memiliki konflik yang belum usai, TOC akan memperkeruh sehingga konflik lama menjadi semakin pelik dan tidak kunjung selesai bahkan akan cenderung memunculkan konflik baru. Sehingga Negara akan penuh dengan konflik yang kompleks dan tambah sulit untuk dipecahkan.

reportingproject.net

Negara yang sedang dilanda konflik terutama konflik internal dalam Negara tersebut seperti perang saudara, perang etnis, suku dan perang berbasis agama cenderung akan memiliki kekuatan (power) yang lemah, bisa dikatakan Negara akan menjadi rapuh tidak sekuat negara yang tidak memiliki konflik. Hal ini bisa dijelaskan dengan analogi tubuh yang sedang terkena penyakit malah ditambah diberi racun dari luar. Tubuh yang rapuh akan semakin rapuh dan akan lebih sulit untuk diselamatkan.

Sebenarnya kerapuhan suatu Negara akibat konflik ini lah yang juga menjadi pemicu Negara tersebut mudah untuk dimasuki TOC atau bahkan memicu munculnya TOC dari Negara tersebut. Ketika kondisi sosial, ekonomi dan politik Negara sedang lemah, Negara akan sulit mengendalikan elemen yang ada di dalam Negara tersebut seperti kelompok pelaku ekonomi, kelompok ras suku, kelompok agama, maupun kelompok kepentingan atau politik. Pada sisi lain, masyarakat (rakyat) tetap harus dipenuhi kebutuhannya seperti kebutuhan ekonomi. Ketika Negara tidak mampu mencukupi kebutuhan masyarakat maka organized-crime lah yang kemudian muncul guna memenuhi kebutuhan masyarakat tersebut melalui perdagangan gelap.[2] Seperti yang dikemukakan oleh Kelly, yang dikutip Olii (2005)[3]:

“…As some scholars have pointed out, until some mobile and newly-formed social groups will not be allowed to have access to the legitimate economic arena and the legitimate structure of the society, through social and economic improvements aimed at reconnecting them to their communities, organized criminality will persist...”

{terjemahan bebas: seperti yang dikemukakan oleh beberapa ahli, hingga terdapat kelompok sosial bentukan baru dan mampu berpindah tidak dibiarkan memiliki akses pada arena ekonomi yang sah dan struktur sah dari masyarakat mencoba menyatukan kelompok tersebut kembali kepada masyarakat melalui perbaikan ekonomi dan sosial, organized criminality akan tetap hidup.}

Finckenauer menjelaskan bahwa penyebab terjadinya kejahatan transnasional adalah adanya ketimpangan kondisi sosial ekonomi. Ketimpangan ini memicu terjadinya migrasi yang nantinya berkembang menjadi human trafficking. Begitu juga ketika terjadi keinginan untuk memenuhi kebutuhan barang tetapi penyedia barang tersebut berasal dari Negara lain atau sebaliknya pengguna barang ada di Negara lain, maka akan mendorong terjadinya kejahatan lintas Negara (Transnational Crime).[4]

Hal ini diperkuat oleh Locke (2012), sekitar setengah dari semua transaksi terlarang di dunia berlangsung di negara-negara yang mengalami berbagai mekanisme penegakan hukum yang lemah, rendahnya tingkat kesejahteraan ekonomi, kapasitas pemerintah yang tidak memadai, dan perpecahan sosial yang signifikan. Jaringan TOC selanjutnya mengikis legitimasi negara dengan memicu peningkatan terjadi korupsi dan bersaing dengan negara dalam penyediaan layanan kepada rakyatnya.[5]

Kelly menunjukkan bahwa kondisi ekonomi suatu Negara merupakan salah satu faktor pemicu munculnya atau berkembangnya Organisasi Kejahatan. Pada awalnya mungkin organisasi tersebut cakupannya (scope) hanya dalam suatu wilayah Negara saja. Namun, ketika kebutuhan akan pemenuhan ekonomi memerlukan adanya pasokan dari Negara lain, maka perdagangan antar-negara akan sangat mungkin terjadi. Kegiatan perdagangan maupun bisnis yang mereka lakukan bisa berupa kegiatan legal maupun ilegal. Nah, hal ini lah yang lambat-laun akan berkembang menjadi Transnational Organized Crime.

Jika melihat fenomena di atas, akan terlihat begitu eratnya hubungan (korelasi) antara kejahatan yang dilakukan oleh TOC maupun keberadaan TOC itu sendiri, konflik di suatu negara dan kerapuhan yang terjadi di suatu negara. Ketiganya saling mempengaruhi dan sulit untuk dipisahkan. Akan sulit menyelesaikan konflik di Negara tersebut jika TOC masih mempunyai kekuatan besar sedangkan Negara mempunyai kekuatan yang lemah. Hal ini lah yang menuntut adanya resolusi konflik yang lebih tepat dan efektif agar dapat menyelesaikan konflik di Negara tersebut. Resolusi konflik yang dilakukan tanpa menimbulkan bibit perpecahan baru yang akan menjadi bom waktu yang suatu saat dapat meledak dan timbul konflik lagi yang mungkin akan lebih besar dan luas.

Studi kasus ISIS (Spesifik di Irak)

a. Sekilas tentang Islamic State of Iraq and Syiria (ISIS)[6]

ISIS lahir dalam proses Perang Suriah. Secara umum, upaya penggulingan Presiden Suriah, Bashar Assad, dilakukan oleh dua faksi. Pertama, faksi sekuler yang mengusung narasi demokratisasi. Namun narasi ini tidak berhasil. Demo-demo anti Assad tidak pernah mencapai klimaks seperti terjadi di Tunisia atau Mesir. Akhirnya, kelompok-kelompok bersenjata pun turun ke lapangan, diinisiasi oleh jaringan jihad Al Qaida Irak yang membentuk Jabhah Al Nusra di Suriah. Selain Al Nusra, ada puluhan kelompok jihad lainnya yang ikut bertempur dengan cara-cara khas Al Qaida, meledakkan bom di kerumunan sipil, bom bunuh diri, dan pembantaian massal dengan cara-cara non-militer, misalnya dengan menggorok leher. Meski terdiri dari banyak kelompok, para jihadis itu membawa narasi yang sama: penegakan khilafah dan penggulingan Rezim “Syiah” Assad.

ramalanintelijen.net

Problem utama muncul di titik ini: mereka menggunakan informasi palsu yang sangat masif untuk membuktikan dosa Assad. Misalnya, foto korban pembantaian tentara AS di Irak, atau video kekerasan di Jordan, disebut sebagai korban kekejaman Assad. Media-media berlabel Islam bergandengan tangan dengan media mainstream menyebarluaskan foto-foto palsu mengerikan yang menimbulkan histeria kaum Sunni yang mengira saudara seakidah mereka dibantai oleh kaum Syiah. Narasi anti-Syiah ini berhasil membuat puluhan hingga ratusan ribu Muslim dari berbagai penjuru dunia berbondong-bondong datang ke Suriah untuk ‘berjihad’.

Bulan April 2013 menjadi titik balik dari Perang Suriah. Saat itu, dua kelompok bersenjata yang sama-sama lahir dari rahim Al Qaeda, mulai berseteru. Abu Bakr al-Baghdadi (pemimpin Al Qaida Irak) menyatukan ‘perjuangan’ di Irak dengan Suriah, dengan membentuk Negara Islam Irak-Suriah (ISIS). Deklarasi ini ditentang oleh kelompok Jabhah Al Nusra pimpinan Al Julani. Lalu, dimulailah pertikaian di antara kedua kubu, mereka mengafirkan dan saling bantai dengan cara-cara mengerikan: menggorok leher atau membakar kepala terpenggal.

Dan inilah ideologi dasar kelompok-kelompok jihad Suriah dan Irak itu: takfirisme. Mereka merasa sah berperang dan membunuh siapa saja yang dianggap kafir. Definisi kafir menjadi semakin bias: bahkan sesama Muslim pun bisa didefinisikan kafir. Sayangnya, ini pula ideologi yang dimiliki oleh ormas-ormas (dan partai tertentu) di Indonesia yang sejak awal Perang Suriah terang-terangan menyatakan dukungan kepada para ‘mujahidin’. Satu-satunya alasan dukungan mereka adalah ‘kekafiran’ Rezim Assad.

Mereka dulu menolak melihat konflik dari sudut pandang yang lebih luas. Misalnya, aspek geopolitik dan sikap frontal Suriah terhadap Israel. Sebagaimana terdokumentasi dengan jelas, Suriah selama ini justru pendukung utama perjuangan Hamas. Khaled Mashal selama bertahun-tahun berkantor di Damaskus dan mendapatkan perlindungan keamanan penuh. Oleh UNHCR, Suriah pun tercatat sebagai negara pemberi pelayanan terbaik kepada pengungsi Palestina.

b. Analisis Kasus

Pasca invasi AS, Negara Irak mengalami berbagai macam perubahan, baik perubahan sosial, ekonomi, dan politik sebagai akibat dari perang antara AS dengan Irak.[7] Setelah rezim Saddam Hussein tumbang, muncul perubahan sosial yang drastis sehingga mengarah ke perang saudara antar rakyat Irak itu sendiri, yakni antara para pendukung Saddam Hussein dan pihak yang kontra terhadap Saddam. Suasana semakin panas dengan adanya pertikaian antara kelompok Sunni dan kelompok Syiah, serta ditampah pelik dengan keberadaan suku Kurdi yang merasa berhak terhadap tampuk pemerintahan Irak. Jadi bisa disimpulkan bahwa aktor (elements of conflict) yang berperan dalam konflik tersebut adalah rakyat Irak pro-Saddam Hussein, rakyat kontra-Saddam Hussein, Suku Kurdi, dan etnis Sunni-Syiah serta campur tangan pihak AS yang ingin menguasai minyak di Irak.

Melihat kondisi tersebut, seperti yang dinyatakan oleh Wallensteen (2004), conflict is a social situation in which minimum of two actors strike to acquire at the same moment in time an available set of scare resources, pasca invasi AS, Irak bisa dikatakan bahwa Irak sedang mengalami konflik. Terdapat lebih dari dua aktor dalam konflik di Irak dalam waktu bersamaan dan merebutkan sumber daya yang sama yakni kekuasaan atas politik dan ekonomi, serta sosial-agama.

AS menambah pelik konflik di Irak. Dalam bidang ekonomi, AS berkeinginan untuk menguasai lading minyak di Irak. AS berusaha memasukkan perusahaan-perusahaan swasta miliknya dalam program rekonstruksi infrastuktur minyak di Irak. Dan di bidang politik secara umum, serangan AS yang bertujuan untuk  menegakkan demokrasi di Irak telah berhasil menggulingkan rezim Saddam Hussein yang dianggap otoriter oleh AS. Namun, seperti yang sudah diungkapkan di atas, invasi tersebut memunculkan konflik baru.

Ketika AS invasi Irak, rezim Saddam Hussein tumbang.  AS ikut campur dalam pembentukan pemerintahan yang baru sedangkan rakyat Irak sendiri menginginkan untuk mandiri dan membangun Negaranya sendiri tanpa campur tangan Negara lain termasuk AS.[8]

Dalam pernyataanya Dr. Lubna Naji, seorang pengamat, menyatakan bahwa keberadaan AS di Irak membawa permasalahan dan kekacauan di negara tersebut:

“Everyone is to blame when it comes to Iraq. Everyone has harmed this country really bad. The occupation made a mess, and as for our politicians, we know how they are, they just don’t stop getting it wrong. And don’t forget the Iraqi people themselves. They ate the bait, they fell into the trap.”[9]

Kekuatan (power) pemerintah baru terlihat lemah. Kekuatan pemerintah baru untuk mengelola sumber daya ekonomi pun semakin berkurang. Diperparah dengan hancurnya infrastruktur dan fasilitas umum pasca perang. Kerusakan tersebut menghambat perekonomian Irak, padahal masyarakat tetap butuh akan pemenuhan kebutuhan ekonominya. Hal ini memicu terjadinya bisnis-bisnis dari pihak non-pemerintah Irak baik dari swasta dalam negri maupun swasta yang dibawa oleh AS.

Dipicu dengan faktor –faktor tersebut muncullah aktor baru. Di daerah Irak Utara yang didominasi oleh Suku Kurdi yang beraliran Islam Sunni muncul gerakan baru yang tertulari oleh gerakan yang ada di Syiria untuk menumbangkan Rezim Assad. Gerakan tersebut merupakan perluasan wilayah dari ISIS yang pada awalnya berasal dari Syiria.

news.atjehcyber.net

ISIS sebagai salah satu aktor dalam konflik ini memperparah konflik di Irak. ISIS termasuk TOC, sebuah organisasi kejahatan transnasional yang terorganisir. Guna tetap melakukan perlawanan, ISIS mau tidak mau harus memiliki kekuatan ekonomi yang kuat pula. ISIS disinyalir merupakan kelompok teroris terkaya di seluruh dunia. [10] Untuk memperoleh penguasaan ekonomi tersebut, ISIS menjarah uang dan emas batangan yang disimpan di bank di kota Mosul sebesar 500 miliar dinar Irak atau lebih dari Rp50,2 triliun. Selain itu, ISIS mengendalikan beberapa ladang minyak di Najma, Qayara, Himreen, Ajeel, Balad, Ain Zalah dan Batma serta sejumlah besar gudang penyimpangan gandum di Irak. Minyak tersebut dijual di pasar Internasional dengan harga di bawah harga pasar.[11] ISIS juga menguasai bendungan terbesar Irak yang dikenal sebagai Bendungan Mosul di Sungai Tigris yang digunakan sebagai pembangkit listrik setelah mengalahkan pasukan Kurdi.[12] Selain itu, ISIS juga berhasil merampas tank-tank buatan Amerika Serikat, helikopter Blackhawk, kendaraan Humvee, pesawat kargo dan persenjataan lainnya.

Jika dianalisis menggunakan Rational Calculation, ISIS melakukan konflik karena mereka berfikir akan mendapatkan keuntungan dengan adanya konflik tersebut. Dengan berkonflik, maka ISIS akan mendapat sorotan dunia sehingga dapat menarik simpati dari orang-orang yang mempunyai keinginan sama dengannya, yakni penegakan Negara Islam (Khilafah). Keinginan ISIS ini terbukti dengan membanjirnya bantuan dana dari perseorangan dan datangnya ribuan warga asing di luar Irak dan Syiria yang ingin ikut berjuang (jihad) di wilayah Irak dan Syiria, termasuk dari Indonesia.

Jika dianalisis memakai Basic need, ISIS melakukan konflik karena mereka merasa kaum yang tidak terakomodir hasrat politiknya dan merasa terabaikan di pemerintah sebelumnya. Namun, aktor yang paling tepat untuk dianalisis memakai analisis ini adalah Suku Kurdi yang berada di Irak Bagian Utara dan kelompok kontra-Saddam Hussein. Sudah dijelaskan di atas, pasca invasi AS, Irak mengalami kemerosotan ekonomi yang parah. Infrastruktur dan fasilitas umum rusak. Masyarakat mengalami Deprivasi, selanjutnya frustasi dengan ketidak tercukupinya kemakmuran. Pada titik tertentu, frustasi tidak dapat dibendung lagi dan akhirnya muncullah agresi yang berujung pada konflik.

www.telegraph.co.uk

Hingga tulisan ini diselesaikan, konflik di Irak belum juga usai. Jika digambarkan melalui Conflict Dynamics, konflik di Irak belum mengalami de-escalation. Latent conflik seperti konflik agama dan etnis merupakan cikal bakal konflik, diperparah dengan adanya TOC berupa ISIS. Resolusi konflik yang dijalankan PBB belum juga menuai hasil. Jika mengacu pada analisis-analisis ini, ada beberapa langkah yang seharusnya diambil oleh PBB untuk melemahkan aktor-aktor tersebut, yakni (1) mengurangi bantuan kepada semua aktor yang berkonflik, (2) membatasi perdagangan dan investasi terutama dengan pihak ISIS yang mempunyai minyak sangat melimpah, (3) dan kerahkan Intervensi Militer (Military Intervention). Setelah pihak-pihak yang bertikai itu kehabisan sumber daya maka secara otomatis konflik akan mereda.

Kesimpulan

Kejahatan Terorganisasi Transnasional (TOC) merupakan sebuah tantangan global dan ancaman serius bagi perdamaian dan keamanan dunia.  Jika suatu Negara memiliki konflik internal seperti konflik etnis, agama, atau perang saudara yang belum usai, TOC akan memperkeruh sehingga konflik lama menjadi semakin pelik dan tidak kunjung selesai bahkan akan cenderung memunculkan konflik baru. Penyebab terjadinya kejahatan transnasional adalah adanya ketimpangan kondisi sosial ekonomi, mekanisme penegakan hukum yang lemah, rendahnya tingkat kesejahteraan ekonomi, kapasitas pemerintah yang tidak memadai, dan perpecahan sosial yang signifikan.

Terdapat hubungan (korelasi) yang erat antara TOC, konflik di suatu negara dan kerapuhan yang terjadi di suatu negara. Ketiganya saling mempengaruhi dan sulit untuk dipisahkan. Akan sulit menyelesaikan konflik di Negara tersebut jika TOC masih mempunyai kekuatan besar sedangkan Negara mempunyai kekuatan yang lemah. Hal ini lah yang menuntut adanya resolusi konflik yang lebih tepat dan efektif agar dapat menyelesaikan konflik di Negara tersebut. Misal Irak yang dimasuki oleh ISIS.

Langkah-langkah yang seharusnya diambil oleh PBB untuk melemahkan aktor-aktor tersebut, yakni (1) mengurangi bantuan kepada semua aktor yang berkonflik, (2) membatasi perdagangan dan investasi terutama dengan pihak ISIS yang mempunyai minyak sangat melimpah, (3) dan kerahkan Intervensi Militer (Military Intervention). Setelah pihak-pihak yang bertikai itu kehabisan sumber daya maka secara otomatis konflik akan mereda. Tapi pertanyaan yang muncul selanjutnya, apakah kita harus menunggu konflik tersebut hingga usai dan memakan lebih banyak korban lagi?


Endnote

[1] (Locke, Rachel 2012, Organized Crime, Conflict and Fraglity : A New Approach. New York : IPI, page 1)

[2] Olii, Mohammad Irvan (2005). Sempitnya Dunia, Luasnya Kejahatan? Sebuah Telaah Ringkas tentang Transnational Crime, mengutip Massari dari Beare, M. (2000), ‘Structures, Strategies and Tactics of transnational Criminal Organizations: Critical issues for Enforcement”, Jurnal Kriminologi Indonesia Vol. 4 No. I September 2005 : 14 - 27

[3] Ibid.

[4] Olii, Mohammad Irvan (2005). Sempitnya Dunia, Luasnya Kejahatan? Sebuah Telaah Ringkas tentang Transnational Crime, mengutip James O. Finckenauer, “Meeting the Challenge of Transnational Crime”, National Institute of Justice Journal, July 2000.

[5] Locke, Rachel. (2012). Organized Crime, Conflict and Fraglity : A New Approach. New York : IPI. Page 1

[6] Dina Y. Sulaeman ,ISIS dan Sejarah Panjang Ideologi Kebencian dimuat dalam Harian Pikiran Rakyat, 26 Agustus 2014

[7] Diana Puspita, Irak Pasca Invasi Amerika Serikat. Skripsi Universitas Lampung (http://digilib.unila.ac.id) diakses pada 6 November 2014

[8] Sumargono (2010). Irak Setelah Jatuhnya Rezim Saddam Hussein Tahun 2003-2005. Skripsi. FKIP Universitas Sebelas Maret Surakarta (digilib.uns.ac.id) diakses pada 6 November 2014

[9] Chohan, Aneka. Future Of Iraq. (2012). http://blogs.thenews.com.pk/blogs/2012/01/thefuture-

of-iraq/ Skripsi. Universitas Gajah Mada.

[10] Kuasai Kota Irak, ISIS Jadi Teroris Terkaya di Dunia. dunia.news.viva.co.id/news/read/512619-kuasai-kota-irak--isis-jadi-teroris-terkaya-di-dunia diakses pada 6 November 2014

[11] ISIS Kuasai 7 Ladang Minyak Irak. www.republika.co.id/berita/internasional/timur-tengah/14/08/14/naaskt-isis-kuasai-7-ladang-minyak-irak diakses pada 6 November 2014
[12] ISIS Kuasai Bendungan Terbesar dan Ladang Minyak Irak

Senin, 4 Agustus 2014 | 10:00 WIB http://internasional.kompas.com/read/2014/08/04/10002901/ISIS.Kuasai.Bendungan.Terbesar.dan.Ladang.Minyak.Irak diakses pada 6 November 2014


Referensi


Chohan, Aneka. Future Of Iraq. (2012). http://blogs.thenews.com.pk/blogs/2012/01/thefuture-of-iraq/ Skripsi. Universitas Gajah Mada.

Diana Puspita, Irak Pasca Invasi Amerika Serikat. Skripsi Universitas Lampung (http://digilib.unila.ac.id) diakses pada 6 November 2014

Dina Y. Sulaeman ,ISIS dan Sejarah Panjang Ideologi Kebencian dimuat dalam Harian Pikiran Rakyat, 26 Agustus 2014

Locke, Rachel 2012, Organized Crime, Conflict and Fraglity : A New Approach. New York : IPI.

Olii, Mohammad Irvan (2005). Sempitnya Dunia, Luasnya Kejahatan? Sebuah Telaah Ringkas tentang Transnational Crime,

Sumargono (2010). Irak Setelah Jatuhnya Rezim Saddam Hussein Tahun 2003-2005. Skripsi. FKIP Universitas Sebelas Maret Surakarta (digilib.uns.ac.id) diakses pada 6 November 2014

http//dunia.news.viva.co.id/news/read/512619-kuasai-kota-irak--isis-jadi-teroris-terkaya-di-dunia. Kuasai Kota Irak, ISIS Jadi Teroris Terkaya di Dunia. diakses pada 6 November 2014

http://internasional.kompas.com/read/2014/08/04/10002901/ISIS.Kuasai.Bendungan.Terbesar.dan.Ladang.Minyak.Irak diakses pada 6 November 2014

http//www.republika.co.id/berita/internasional/timur-tengah/14/08/14/naaskt-isis-kuasai-7-ladang-minyak-irak. Kuasai Kota Irak, ISIS Jadi Teroris Terkaya di Dunia. diakses pada 6 November 2014

1 comments:

Write comments
Faiz Marwan
AUTHOR
Monday, 22 June, 2015 delete

http://print.kompas.com/baca/2015/06/21/AS-Terorisme-Melonjak

Reply
avatar

Terima kasih atas komentar anda.