Showing posts with label kopi lelet. Show all posts
Showing posts with label kopi lelet. Show all posts

Kedelai, Impor, dan Rekayasa

Amerika merupakan salah satu pengekspor komoditas pangan ke pasar internasional. Total ekspor komoditas pertanian AS mulai tahun 2011 hingga tahun 2014 mengalami fluktuasi. Tahun 2011 hingga 2013 mengalami penurunan terus-menerus dari titik 180.586.377 ton pada tahun 2011 menjadi 170.508.976 ton pada tahun 2013. Tetapi mengalami kenaikan yang cukup signifikan pada tahun 2014 mencapai 209.605.457 ton yang menjadi titik paling tinggi sejak empat tahun terakhir.
Tabel 1.1 Ekspor Komoditas Pertanian Amerika Serikat
Sumber: Data diolah dari USDA (Maret 2016)
Walaupun secara kuantitas mengalami penurunan, tetapi secara nilai mengalami kenaikan terus-menerus. Ekspor komoditas pertanian AS ke negara-negara di dunia secara nilai mengalami kenaikan mulai tahun 2011 hingga tahun 2014. Secara beturut-turut total ekspor komoditas AS pada tahun 2011, 2012, dan 2013 sebesar US$136.444.449, US$141.550.211, dan US$144.359.309. Sedangkan posisi tertinggi tahun 2014 mencapai US$150.014.539.
Sebagai contoh konkret rincian data impor pertanian, peneliti mengambil Indonesia dan komoditas kedelai. Guna mencukupi kebutuhan pangan, Indonesia melakukan berbagai upaya seperti menggenjot produksi pangan dalam negeri. Namun, di Indonesia masih ada beberapa komoditas pangan yang tingkat konsumsinya tinggi tapi tingkat produksi rendah. Komoditas yang masih kekurangan tersebut antara lain: gandum, kedelai, gula, dan jagung. Salah satu upaya untuk mengatasi kekurangan tersebut, pemerintah melakukan impor dari negara lain. Menurut data yang dilansir oleh Statistik FAO, impor Indonesia yang paling besar tahun 2011 adalah gandum sebagai bahan pokok tepung terigu sebesar 5.6 juta ton. Diikuti oleh Jagung sebesar 3.2 juta ton, cake of soybeans (2,9 juta ton), gula (2,3 juta ton), dan kedelai sebesar 2 juta ton (lihat tabel 1.2).
Table 1.2 Impor Komoditas Pangan Indonesia Tahun 2011
Sumber: diolah dari http://faostat.fao.org

Salah satu komoditas yang diimpor dari pasar luar negeri hingga saat ini karena tingginya permintaan dalam negeri adalah kedelai. Dari berbagai komoditas tersebut, memang kedelai bukan komoditas yang paling banyak kuantitasnya dan bukan merupakan bahan makanan pokok, tapi kebutuhan akan kedelai di Indonesia terbilang masih besar. Kebutuhan tersebut sebagian besar digunakan untuk mencukupi sumber bahan pangan protein nabati masyarakat seperti bahan baku berbagai makanan khas Indonesia seperti tahu dan tempe. Selain itu, kedelai juga digunakan untuk memenuhi protein nabati peternakan. Sama halnya dengan manusia yang selalu membutuhkan sumber-sumber makanan, ternak, terutama ternak unggas, juga membutuhkan kedelai untuk mencukupi kebutuhan gizinya.[1]

Table 1.3 Volume Impor Kedelai Indonesia 2004-2011
Sumber: diolah dari http://soystats.com
Berdasarkan pada Tabel 1.3 di atas, jumlah kedelai yang masuk ke pasar domestik Indonesia mengalami peningkatan tajam setelah tahun 2007. Kendati turun pada tahun 2008, tahun-tahun berikutnya mengalami peningkatan terus-menerus hingga tahun 2011 mencapai 2.08 juta ton.
Table 1.4 Produsen Kedelai Dunia tahun 2014
No.
Negara
Juta bushel[2]
Juta metrik ton
1.
Amerika Serikat
3.968
108,0
2.
Brasil
3.472
94,5
3.
Argentina
2.058
56,0
4.
Tiongkok
454
12,4
5.
India
386
10,5
6.
Paraguay
312
8,5
7.
Kanada
222
6,1
8.
Lainnya
713
19,4
Total
11.585
315,4
Sumber: diolah dari http://soystats.com
Di dunia, negara-negara yang menjadi produsen kedelai terbesar adalah AS diikuti Brasil, Argentina, Tiongkok dan India. Sedangkan untuk negara yang menguasai pasar kedelai dunia adalah pemain-pemain lama yakni negara-negara seperti AS, Brasil, Argentina, Tiongkok, dan India (http://faostat.fao.org/, 2015). Tahun 2014, AS menjadi negara produsen utama yang dapat mengekspor kedelai ke pasar internasional yang mencapai 41%, yang kemudian diikuti oleh Brasil sebesar 39%, Argentina 7%, Paraguay 4%, Kanada 3%, dan lainnya 6% (http://faostat.fao.org/, 2015). Di sini terlihat pergeseran, Tiongkok yang merupakan lima besar produsen terbesar. Tapi dalam perdagangan internasional tidak menjadi lima besar eksportir kedelai. Ini membuktikan bahwa konsumsi kedelai Tiongkok juga tinggi.
                        Tabel 1.5 Eksportir Kedelai Dunia tahun 2014
Sumber: diolah dari http://soystats.com
Berbeda dengan negara-negara importir tersebut yang bisa mengekspor, Indonesia justru mengimpor kedelai. Pasokan kedelai Indonesia antara lain diperoleh dari beberapa negara seperti AS, Argentina, Brasil, Malaysia, dan India. Pasokan kedelai impor Indonesia paling banyak didominasi oleh kedelai yang berasal dari AS. Negara tersebut menguasai lebih dari setengah dari keseluruhan perdagangan kedelai di Indonesia dengan share sebesar 72%, diikuti oleh Argentina 11%, Brasil 6%, Malaysia 4%, India 1% dan lainnya sebesar 6% (Azky). Bahkan, seperti yang diungkapkan oleh Robert O Blake, duta besar AS untuk Indonesia, tahun 2013, 90% kacang kedelai yang digunakan bahan baku tempe dan tahu Indonesia diimpor dari AS (www.tempo.com, 2014). Pernyataan Blake ini dikuatkan diperkuat dengan data yang dilangsir oleh lembaga statistik khusus kedelai dari AS. Indonesia masuk dalam tiga besar negara tujuan ekspor kedelai AS (http://faostat.fao.org). Indonesia menjadi negara importir kedelai dari AS senilai $ 1 juta dolar US pada tahun 2014.
Table 1.6 Pasar Kedelai AS

Sumber: diolah dari http://soystats.com
Kedelai AS pada dasarnya berbeda dengan kedelai lokal. Dari segi kualitas, keduanya memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Menurut Maman Suparman, salah seorang ahli pertanian, kedelai lokal unggul dari kedelai AS dalam hal bahan baku pembuatan tahu. Rasa tahu lebih lezat, rendemennya (keuntungan) pun lebih tinggi. Selain itu, risiko terhadap kesehatan cukup rendah karena bukan benih transgenik, berbeda dengan kedelai AS. Meski demikian, sebagai bahan baku tahu, kedelai lokal memiliki kelemahan, terutama untuk bahan baku tempe. Penyebabnya, ukuran kecil atau tidak seragam dan kurang bersih. Selain itu, kulit ari kacang sulit terkelupas saat proses pencucian kedelai, dan proses peragiannya pun lebih lama. Setelah berbentuk tempe, proses pengukusan lebih lama empuknya, bahkan bisa kurang empuk. Sejalan dengan Maman Suparman, seorang ahli gizi dan pengamat tempe Indonesia asal Inggris, Jonathan Agranof, menyatakan bahwa secara umum produk kedelai dari Indonesia lebih baik daripada kedelai impor asal AS.
“Keunggulan kedelai Indonesia adalah tidak modifikasi genetik, organik, rasa kedelainya enak, dan air rendaman kedelainya pun jernih. Australia dan negara-negara di Eropa enggan mengimpor kedelai dari AS karena faktor genetik modifikasi (GM), yang mempunyai dampak negatif pada kesehatan.” (Mardiani, 2012)

Dari contoh tersebut, bisa dinyatakan bahwa kedelai dari AS kendati memiliki beberapa kekurangan akan tetapi pasar kedelai impor di Indonesia masih didominasi oleh AS. Ironisnya, AS merupakan salah satu negara yang mengembangkan Genetically Modified Organism (GMO) dalam produksi komoditas pertaniannya. Bukan hanya kedelai, komoditas lainnya seperti jagung dan kapas juga termasuk komoditas pertanian yang paling banyak dikembangkan di AS menggunakan teknologi GMO.
GMO sendiri merupakan efek dari merambahnya teknologi dalam bidang produksi produk pangan (pertanian dan perikanan) seperti genetic modified (rekayasa genetik). Rekayasa genetik ini menghasilkan beberapa produk pertanian dengan varietas unggul, seperti tanaman yang secara alaminya mudah terserang hama menjadi kebal hama, produksi rendah menjadi tinggi, umur panen panjang menjadi tinggi. Jenis produk ini biasa disebut dengan GMO. Oleh karena itu, teknologi dapat meningkatkan produksi produk pangan sehingga dapat mencukupi kebutuhan manusia. Argumen ini yang digunakan oleh AS guna membenarkan penggunaan teknologi rekayasa genetik dalam pengembangan dan produksi komoditas pangan pertanian.
Di lain sisi, jaminan kesehatan akan produk GMO seperti kedelai tersebut masih belum terjamin. Salah seorang ahli dalam bidang rekayasa genetik, Jeffrey M. Smith dalam Seeds of Deception and Genetic Roulette menyebutkan setidaknya ada 65 resiko kesehatan serius akibat mengkonsumsi produk GMO. Setelah Smith melakukan pengujian terhadap tikus, menyimpulkan bahwa ada gangguan yang diderita tikus setelah diberi makan GMO. Tikus merupakan salah satu hewan yang struktur pencernaannya mirip dengan manusia. Jadi tidak menutup kemungkinan jika risiko-risiko tersebut akan terjadi juga pada manusia. Dengan mengkonsumsi makanan hasil rekayasa genetik selama beberapa generasi, kemungkinan mendapatkan efek negatif sangat terbuka lebar. Bahkan, menurut Smith antara tahun 1994-2001 terjadi fenomena yang mengejutkan. Dimana penyakit yang berhubungan dengan makanan mengalami peningkatan dua kali lipat bersamaan dengan produk GMO membanjiri pasar. Produk hasil rekayasa genetik di dunia ini cukup banyak. Apalagi jika berupa produk pangan yang berkaitan langsung dengan kehidupan manusia. Menurut Mae Wan Ho (2005: xiii), tanaman hasil rekayasa genetik bukan saja tidak berguna tetapi juga berbahaya bagi kesehatan dan tidak baik untuk lingkungan.
Beberapa kawasan di dunia ini telah menyatakan sebagai kawasan bebas dari produk rekayasa genetik, terutama di Eropa. 172 kawasan dan provinsi di Eropa telah menyatakan dirinya Zona Bebas Rekayasa Genetik (Genetic Modified Free Zone). Lebih dari 4.500 pemerintah daerah juga meminta pembatasan terhadap penanaman produk hasil rekayasa genetik komersial (Mae Wan Ho, 2005: xii). Namun, masih banyak negara yang kurang perhatian dengan isu ini. Dibuktikan dengan maraknya produk rekayasa genetik di negara-negara berkembang, Indonesia juga.
Isu keamanan pangan termasuk pangan rekayasa genetik menjadi konsen di beberapa negara maju seperti Australia, New Zealand, dan beberapa negara Eropa. Negara mengupayakan semaksimal mungkin guna melindungi warga negaranya untuk meminimalisir dampak dari GMO. Namun, berbeda dengan kondisi di negara berkembang. Negara berkembang memiliki kecenderungan hanya fokus terhadap ketercukupan pangan belum ke keamanan pangan. Dalam artian mementingkan kuantitas dan belum kualitas.
Walaupun negara berkembang belum bisa memastikan keamanan produk pangan yang berupa komoditas pertanian tetapi negara tetap harus menjamin keterbukaan informasi. Dalam kajian ini akan difokuskan komoditas pertanian impor, sehingga keterbukaan informasi dapat dibebankan negara kepada produsen di luar negeri (negera importir).
GMO dari AS menyebar ke berbagai penjuru dunia, termasuk negara-negara berkembang. Oleh karena itu pemerintah negara-negara berkembang harus cermati mengenai teknologi rekayasa genetika untuk produksi pangan yang belum diketahui pasti keamanannya bagi kesehatan manusia dan lingkungan. Namun, selama ini kedelai impor terutama yang berasal dari AS masih beredar di pasar dalam negeri negara-negara berkembang termasuk Indonesia tanpa label. Sehingga konsumen tidak tahu apakah barang yang dikonsumsinya adalah GMO atau tidak.
Lalu, jangan lupa tetap makan tempe dan tahu, baca basmallah dulu ya. :)



[1] Hewan ternak seperti unggas dan sapi juga membutuhkan kedelai untuk memenuhi kebutuhan protein tubuhnya. Akan tetapi kedelai yang digunakan adalah bungkilnya, atau ampas kedelai yang telah diambil lemaknya. Sekitar 40% bahan pakan ternak masih merupakan bahan impor. Karena kedelai memang sulit diproduksi sendiri karena keterbatasan iklim di Indonesia.
[2] Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, bushel atau gantang adalah satuan ukuran isi atau takaran 3,125 kg, biasanya untuk menakar atau menyukat beras, kacang-kacangan, dan sebagainya.

Membasmi Tikus

Sejenak, memoriku melayang menuju lima tahun silam. Teringat tips sederhana yang disampaikan guruku dalam kelas sore itu. “Tips membasmi tikus.”

“Kalau di rumah ada tikus baik sedikit atau sudah banyak dan mulai berkeliaran di rumah asal belum kuasai rumah, ini tips mengusirnya. Tangkap tikus satu saja, tidak perlu banyak-banyak, lalu bunuh. Setelah dipastikan sudah mati, potong ekornya lalu bangkai beserta ekornya kubur di dalam rumah. Niscaya tikus yang lain akan tinggalkan rumah dengan sendirinya.”

Sebagai seorang murid polos, aku hanya memahami tips itu sebagai sekadar tutorial praktis, tak berusaha menangkap makna dan konsep dasar dari tips tersebut. Pagi ini di kala kegabutanku makin menjadi, otak malas ini mulai bertanya-tanya kala mengingat tips itu. Diksi-diksi di dalamnya “rumah, tikus, bunuh satu lalu potong ekor dan kubur dalam rumah” kenapa harus pakai diksi tersebut? Otak liar ini berusaha menafsirkan bebas versi dirinya sendiri.

Rumah. “Di sana tempat lahir beta, dibuai dibesarkan bunda, tempat berlindung di hari tua, sampai akhir menutup mata.” Mungkin petikan lagu itu mewakili penafsiran tentang rumah. Rumah lah yang secara de facto menjadi milik kita bersama keluarga secara turun-temurun. Tempat yang harapannya nyaman dihuni dan tepat dimana impian dan harapan disemai. Dalam rumah pasti berlaku aturan (rules) baik yang disepakati bersama atau dibuat oleh kepala rumah tangga.

Tikus. “Kotor dan rakus” itu kata yang terbesit spontan ketika mendengar istilah tikus. Tikus menyimbolkan aktor yang kotor, perantara datangnya penyakit, dan menjijikkan pastinya (tetiba ingat film RATS :( ). Tikus juga identik dengan rakus dan pencuri barang milik aktor lain, tak sopan pula. Bukan hanya makanan seperti ikan, nasi, tempe goreng, mie instan berbungkus, bahkan sabun mandi pun digerogoti tikus (anak kos paham lah dengan beginian). Mungkin, sosok pelanggar aturan (rules) juga bisa dikategorikan sebagai tikus. Sudahlah, konstruksi sosial yang terbentuk di masyarakat memang seperti itu.

Bunuh lalu potong ekor. Ekor merupakan salah satu bagian penting bagi tikus. Coba kita lihat tikus tanpa ekor, kasian, status ketikusannya diragukan, bukan? Begitu vitalnya ekor ini bahkan sudah mafhum di masyarakat “Eh, itu di belakang lemari ada tikus” padahal yang dilihanya cuma ekor :). Nah, potong ekor di sini bisa ditafsirkan sebagai sebuah hukuman yang berat dan sadis. Selain dibunuh, masih pula dimutilasi untuk menunjukkan kegarangan dan ketegasan.

Setelah mati dikubur dalam rumah. Muncul pertanyaa “Loh, bukannya bangkai tikus itu bau, perantara penyakit pula, kok dikubur dalam rumah, tak di luar rumah saja?” Begini loh, tips itu tidak salah kok. Tanah secara alamiah memiliki kemampuan menetralisir bau dan meminimalisir potensi penyakit yang dimiliki bangkai tikus. Asal menguburnya cukup dalam. “Memang sih, lalu bagaimana rasionalisasinya, kenapa harus dalam rumah menguburnya?” Begini, ketika tikus si korban yang sudah dimutilasi ekornya dengan sadir dan dilucuti status ketikusannya dikubur di dalam rumah, harapannya tuh para tikus lain beserta kroni-kroninya yang masih berdiam dalam rumah bisa mengambil pelajaran. “Kalau aku masih saja bertahan di rumah ini, lalu ketangkap, mungkin nasibku akan seperti dia. Kabur aja ah, pindah rumah sebelah.” Iya sih, ini personifikasi dan konspirasi yang mengada-ada. Tapi tak apa lah, kan penafsiran bebasku. :)

Diksi lain yang menggelitik lainnya adalah, “kenapa hanya satu saja yg dibunuh, kenapa tak dibunuh semua saja, pakai racun misalnya?” Ini lebih ke konsep efisiensi. Efisiensi dalam ekonomi secara sederhana bisa dipahami sebagai upaya menekan biaya dan tenaga sekecil mungkin guna mencapai tujuan tertentu. Konsep efisiensi ini pula dipakai para ahli strategi perang dalam merumuskan taktik yang bakal digunakan untuk menghancurkan pasukan musuh. Sebisa mungkin menggunakan persenjataan sedikit dan secepat mungkin membasmi musuh, entah memakai serangan gabungan berbagai matra ala Nazi, perang gerilya ala tentara Indonesia, perang candu ala Inggris di Tiongkok, jatuhkan bom atom di pusat pertahanan musuh ala AS di Jepang, atau bahkan cukup proxy war melalui media yang terbukti efektif bisa menyapu beberapa rezim di Timur Tengah saat gelombang Arab Spring. Jadi, dengan hanya membunuh satu saja dengan sadis dan dipamerkan ke yang lain, kita telah menerapkan konsep efisiensi. Tak perlu modal racun pula untuk membasmi semua tikus. Intinya, ngirit, cepat, dan tujuan tercapai.
----

Setelah mencoba menangkap makna dibalik tips itu, aku sadar, ternyata banyak juga tindakan orang di sekitar kita yang memakai inti sari dari tips itu. Mulai dari tataran media sosial hingga pergaulan dunia internasional. “Loh kok?” Iya, perlu aku kasih contoh? Okelah.

Dalam grup media sosial biasanya akan berlaku aturan (rules) baik yang dibuat oleh admin maupun yang telah disepakati bersama. Misal, dalam grup Diskusi Karya Tulis tidak boleh posting apapun selain yang berkaitan dengan Karya Tulis, baik politik atau iklan danusan. Ketika suatu saat ada salah satu anggota grup melanggar aturan, pantas dan wajar jika admin akan menelanjangi (red: memarahi) pelanggar itu di forum bahkan sampai menendangnya dari grup. Sebenarnya admin bisa memilih jalur sopan dan bijaksana, lewat chat privat misalnya. Tapi justru tujuan untuk menegaskan dan memberi peringatan ke semua anggota grup tidak tercapai jika tidak dilucuti di forum. Memakan satu korban, pesan tersampaikan ke semua. Anggota lain akan mengingat itu dan berusaha agar tidak diperlakukan sama dengan korban. Tidak akan ada lagi yang posting melanggar aturan lagi, admin cukup melakukan sekali saja. Begitulah, efisiensi.

Ada pula sosok yang menerapkan inti sari dari tips ini, Menteri Kementrian Kelautan dan Perikanan, Susi. Beliau menjadi garda depan untuk membasmi para pencuri ikan dari negara lain. Dengan jumlah pencuri yang banyak dan menyebar seantero lautan Nusantara, tenaga yang dimiliki KKP sulit untuk menangkap semuanya. Nah, di sinilah beliau memutar otak bagaimana caranya agar tujuan pemberantasan pencuri teratasi dengan sumber daya yang dimilikinya, konsep membasmi tikus ini yang diterapkan. Cukup menangkap beberapa kapal, lalu musnahkan dengan sadis. Tidak sadis bagaimana, lha wong pas di awal-awal kebijakan ini diterapkan yang dihancurkan itu hanya kapal kayu nelayan tradisional biasa sedangkan bom yang digunakan untuk menghancurkan mahal harganya, lihat ini. “Kenapa tidak cukup modal solar aja satu jerigen lalu dibakar di daratan. Toh bakal habis juga.” Ya, ini untuk menunjukkan kesadisan intinya. Lalu berita ini disebarkan ke semua penjuru dunia melalui media agar menjadi pengingat bagi pencuri yang masih bersarang di lautan Nusantara.

Dalam tataran dunia internasional juga ada negara yang pernah menerapkan konsep ini, Amerika Serikat. AS (bersama sekutunya) pernah membombardir Afganistan dan Irak dengan dalih memberantas teroris yang melakukan aksi di Gedung Kembar World Trade Center (WTC) 9/11. AS dengan bangga melakukan tindakan sadis tersebut dan memamerkannya ke penjuru dunia. Seakan-akan AS memberikan mengatakan “Hai negara yang melindungi teroris, akan sama nasibnya seperti kedua negara ini.”
---

Coba kita tilik komunitas sekitar kita, mulai dari lingkup terkecil hingga menyeluruh, baik dunia maya, organisasi, pejabat publik, maupun kebijakan rezim internasional. Mungkin bakal menemukan penerapan konsep membasmi tikus ini. Ketika menjumpai aktor yang menerapkan konsep ini, jangan buru-buru menjudge “Wah, galak amat, sadir, tidak bijaksana” Ini demi penegakan aturan, keberlangsungan komunitas, dan kebaikan bersama, bukan? Monggo bagi pemangku kebijakan bisa juga sekali-kali coba memakai konsep membasmi tikus ini.

Namun, masih ada yang mengganjal di benakku gegara perkataan Gus Dur “Kalau lumbung sudah dikuasai tikus, mending kita bakar aja lumbungnya...”
Bentar-bentar, jangan buru-buru. Perlu selidiki dulu, penanganan korupsi di Indonesia tepatnya pakai konsep membasmi tikus ala guruku atau membakar lumbung ala Gus Dur?

Sekian.
---

Pengunjung yang baik adalah yang meninggalkan jejak.

Aku 'aktivis', tak sepertimu

Masih aja seperti ini, dimana sebagian mahasiswa (yg mengaku sebagai) para aktivis 'mengajak, memaksa' sebagian mahasiswa yg lain untuk ikut berjuang bersama dalam menentang (indikasi) penindasan penguasa melalui aksi-aksi ala aktivis pergerakan.

Terburu-buru melabeli mahasiswa yg tak ikut mau aksi sebagai 'tak acuh, pura-pura tuli' dg isu di sekitar. Dianggap tak mau berjuang.

Padahal, jika kau mau perhatikan sejenak. Mereka sebetulnya bukannya tak acuh, mereka punya jalan lain untuk berjuang.

Sebagian sibuk riset dan menulis lalu ikut lomba di kampus sebelah bahkan negara sebelah. Ada pula yg sibuk membersihkan noda crayon di almamaternya akibat keaktivan anak-anak panti saat belajar mewarnai. Ada pula yg sibuk mengatur waktu agar bisa kuliah sambil kerja part-time (atau berwirausaha) karena niat tak mau bebankan orang tua, atau bahkan karena terpaksa keadaan orang tua sudah tidak ada.

*Yg sibuk garap revisian dan antri nunggu dosen juga banyak. :)

Singkat kata, aku dan mereka aktivis, tapi maaf, mungkin tak sepertimu. Kampus memang satu, tapi jalan perjuangan kita berbeda. Hormati jalan kami.

Bakar Daun Basah

Ucapan Sang Juragan masih terpatri dalam benak,

"Lihat saja, perkumpulanmu tak akan bertahan lama. Mereka masih kolot, tak haus akan ilmu. Seminar Nasional dan diskusi ilmiah datang sekadar isi daftar kehadiran. Kalau gak diwajibin, mana mungkin datang?" Apalagi perjuangkan forum diskusi dan kelas menulis.

Si Cebol coba lawan dalam benak,

"Kalau kita tak memulai merintisnya, lalu kapan akan berubah budaya (yg menurut Juragan) kolot ini? Mohon doanya Gan"

"Untuk apa doa, tak mempan!. Dunia keras, harus dipaksa. Harus ada kemauan," bentak Juragan.

Layaknya menyulut api guna bakar semak daun basah. Entah sampai kapan.

"Ah.."

"Tapi, mungkin sekali terbakar, api akan semakin membara. Lalap apa saja di sekitarnya. Asap akan membumbung tinggi ke angkasa. Terbawa angin hingga belahan dunia sana, tunjukkan keperkasaannya."

"Ya, asap akan memenuhi forum-forum nasional bahkan internasional. Dibicarakan, pengaruhi iklim dunia," tutup Juragan.
----------

Terima Kasih Tuan Kompeni

Tuan Niccolo Moreno sibuk dalam kamarku: meriasku. Selama merias tak hentinya ia bicara dalam Belanda. Menurut ceritanya: ia sering merias para bupati, para raja di Jawa. Pakaian pasukan pengawal para raja di Jawa ia juga yang merencanakan.

Kemudian ia kenakan padaku kain batik dengan ikat pinggang perak. Sehingga muncul watak ke-Jawa Timur-annya yang gagah. Sebuah blangko, kreasi Niccolo Moreno sendiri. Menyusul sebilah keris bertatahkan permata.

Jelas aku keturunan satria Jawa maka sendiri seorang satria Jawa juga. Hanya mengapa justru bukan orang Jawa yang membikin aku jadi begini gagah? Dan ganteng? Mengapa orang eropa? Mungkin Italia? Mungkin tak pernah mengenakan sendiri? Sudah sejak Amangkurat I pakaian raja-raja jawa dibikin dan direncanakan oleh orang eropa.

Dandananku Jawa tulen, melupakan semua unsur Eropa pada kemeja-dada, Gombak, dasi, malah lupa pada lasting dan beledru yang semua bikinan Inggris. (Disarikan dari “Bumi Manusia”, Pram Ananta Toer, 2005, hlm: 196-198)
---

Eksportir-importir sibuk di negeri ini: melayani, memenuhi perut kami. Mereka berbahasa non-Indonesia. Merekalah yang selama ini (mungkin bersusah payah) memenuhi kebutuhan pangan rakyat Indonesia. Baik, bukan?

Mereka mendatangkan bahan makanan dari luar negri. Kedelai, gandum, jagung, daging, dan padi mengalir deras ke negri ini, negri yang ‘katanya’ negara agraris, tanah surga, subur loh jinawi. Bahkan negara dengan garis pantai terpanjang ke-2 ini pun masih perlu datangkan garam dari negara luar.

Jelas aku orang Indonesia. Hanya mengapa justru bukan orang Indonesia sendiri yang memenuhi pangan dalam negri? Mencukupi pangan sendiri, kedaulatan pangan (food sovereignity), pastikan makanan yg aman (food safety), menjaga keamanan pangan (food security). Mengapa negara lain? Mungkin AS, Tiongkok, atau bahkan Vietnam? Mungkin tak makan kedelai dan beras produksi mereka ‘tipe’ ini (tipe: Genetically Modified Organism). Sudah sejak kran impor dibuka, perdagangan bebas membuat impor pangan makin deras.

Di belahan dunia sana, diaspora orang Indonesia dengan bangga promosikan tahu dan tempe sebagai kuliner Indonesia. Makan tahu tempe dapat sedikit obati rasa kangen dengan tanah asal, Indonesia. Malah lupa, tahu dan tempe yang diklaim jadi makanan khas dan mayoritas penduduk Indonesia makan ini bahan bakunya impor, tahun 2013 hampir 90% kedelai impor dari AS (tempo, 2014). (Mengikuti alur pemikiran Pram Ananta Toer dalam Bumi Manusia)

Komunitas dan Raja Kecil

Menurut pandangan saya, (beberapa) manusia (mahasiswa di kampus saya) memang rakus dan mengejar kekuasaan. Manusia ini saya sebut sebagai "oknum". Oknum cenderung lebih suka membentuk "komunitas baru" daripada menapaki jenjang karir dari bawah di komunitas lama. Walaupun kedua (atau lebih) komunitas tersebut sejatinya punya ide, tujuan, dan landasan yg (hampir sama, bahkan bisa dikatakan) sama. Dengan membuat komunitas baru, oknum akan lebih mudah menempati posisi strategis (kekuasaan). Memang menapaki jenjang karir di komunitas lama akan lebih sulit karena berhadapan dg orang-orang lama (yg mungkin lebih pengalaman).

Pada akhirnya, antar komunitas akan saling menarik massa dalam "pasar yg sama". Jika sudah sampai titik ini, defisit kader adalah masalah selanjutnya. Komunitas-komunitas tersebut akan lemah dan terlihat hidup segan mati tak mau. Mungkin masih ada yg membantah prediksi ini dengan menunjukkan besarnya gaung dan ramainya komunitas baru. Saya tantang, buktikan seberapa lama gaung itu bertahan. Jangan hanya "anget-anget tai ayam".

Di akhir tulisan ini, saya ingin mengutip (memakai bahasa saya pribadi) pesan dari Prof. M. Nasir, Menristek Kabinet Kerja, yg ditemui penulis saat masih menjabat sebagai Dekan Fakultas Ekonomika dan Bisnis Univ. Diponegoro awal tahun 2014. Dan pesan dari Habib Umar Al Mutohar Semarang.

"Janganlah berkeinginan jadi Raja Kecil. Raja di komunitas masing-masing. Komunitas yg sejatinya punya ide, tujuan, dan landasan yg sama. Ojo do iris-irisan (jangan saling mengiris)"

Semoga semakin jaya semua. Niat kita sama-sama baik, mari bersatu, mari berangkulan, jalan beriringan dan saling menguatkan. Tidak harus pakai identitas yg beda.

*Semoga pandangan dan apa yg saya prasangkakan seperti di tulisan ini salah.
---

Semarang, 1 Maret 2015 11:39 WIB.

Di sela-sela Rapat Kerja LPM Manunggal Undip 2015. Walau yg saya bahas bukan tentang Komunitas Pers sih :D